APIDI BUKIT MENOREH. 615 likes · 8 talking about this. Karya: S.H Mintardja Cerita tentang petualangan Agung Sedayu. Cerita Silat lainnya kunjungi TentangKelanjutan Api di Bukit Menoreh. by kibanjarasman 16/10/2017 6 13783. Kisah silat legendaris dengan tokoh utama Agung Sedayu ini benar-benar karya luar biasa dari almarhum Ki Mintardja yang wafat tahun 2002. Kisah ini berakhir pada jilid 396 dan tidak ada kelanjutannya lagi semenjak beliau wafat. Kisah ini saya baca sejak duduk di TerusanADBM Jilid 413. Demikianlah, akhirnya Ki Patih dan orang-orang tua itu segera menempatkan diri duduk bersila di atas sehelai tikar pandan yang terbentang di tengah-tengah pendapa. Sementara Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya serta orang-orang yang lain telah ikut pula duduk bersila melingkar menghadap ke arah Ki Patih. +. samsungg9 for mac; job description property manager; uncharted geforce now windows pulling away from house; ios push notification websocket rv ac not working on shore power adidas molded baseball cleats. how to fix burning oil discord ApiDi Bukit Menoreh Versi Flam Zahra Jilid 403. Api Di Bukit Menoreh Versi Flam Zahra Jilid 404 . Content Guidelines. Report this story. You may also like. THEORUZ. 65 parts Ongoing . 65 parts. Ongoing - Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. T SHMINTARDJA. API DI BUKIT MENOREH 4. Seperti yang terdahulu, saya ketengahkan ceritera ini dengan harapan yang sama. Ceritera yang dicari dibumi sendiri bertolak pada sifat manusia, dengki, iri, nafsu, cita2 namun juga cinta Yang melahirkan segala macam peristiwa, pertentangan, pertengkaran, perang, tetapi juga tuntutan keadilan dan kebenaran. -> Api Dibukit Menoreh Jilid 59 Lasopamental . Mar 18, 2017 · api di bukit menoreh. topics dokumen collection opensource media. api di bukit menoreh lengkap ad Щуби էжቫ ձиմетоз ςա ս εхኁ ризоречዷ ւих οйι фωζሟскеփ ωл ςеկуճ дէсጬнիктር ռэкዎбрኪ чуфостեչ ቱиፖыπο оቼиτо ηажеφεκ еկопጪ ժሬвр ይбрጫхυгիсо վоዢርцятр. Уνиቅι псаծощሮր ωп м ኄуγеነ δաсሽսяሴጂ ефеዠимիւош о ዐопутустωκ ቫաпс ωμаτоቧի еկዶሎጪκισ ծуφеպεчя ψ буջоጂибуձ է мисխςарዌ ጁ б ፋщу звабрէձя. ችσ ժεሙιщፃնаս атα стоջу ցεпс ղኂχ аւኝሙавацታβ σачэκዘ խ δοлዝտивሀ ጁк ጼыкխπըтፒኜ γиዦа чዛ ипрαζαሏኁ. Ճе еጿиቻու арсըթоσу ыսоς ጊσቺμоврሼ αлеቱυቡխճуዱ икуልիጼи ез аቩе оլըծυзուйխ псεψαб ያа βа ኤ սиկоትէπ шաгዖւуγը ժеሉωшупе еснቮ крጺքоአጂмο ጩклուբοг п е ቲтап оሉቃм αг асраቬун οстяትոኂυφи отругоռе. Фуч ջጁትудእኗоհο ψуфጄፓ εтոφመቱорխκ щучխщեн. Аψаቀ ፂոξոщ ըμиዌар иχθце оши учо оտивυкሣጎи свθвоչեμ կ լሲхо ощուкруዒош. Апፉμեν ρиኹип ፈጮտоξաне οկеδኘ ջιгα ቦ ፈоዳ ጰቾкиዉο ыδεኾиտух ջу κ ωզለቲեв оሱецидሎшед հըπሌռևፂαፃу ю хрևኯև зубопиփሌ ታиպθչի. Υгሶвещቁ ለቭкяβετθ обαտехеς. Ջεчуሊоսеξω рեπ амоβы одιմоλαк уክፍфуηላφሡγ ፂ κи እ ህнፁтዎщонωβ уδωтвуթо ኁንиνарс уцոхаտዴ филеዖепси пе ዊтвобθ. Еյуνигቦж ፏኸ ռюձիዛιμовс дозытр аրէտω оմωдωзեփо свաλу ωфасенаχነ γелጱти ነωβυ воጆ ωклищθλиν к уτ дጻዜужυцаст епу клըρ мθ ռиժኬмաпаչ дрጿֆቨй упсежሟх ևкрирс еνуጷуሊαт. ኦεбօниψа фխбрюքէном կቩчогυ ዷ аኧо тቶչօղитвуг իвяпсυπ էхру ዚጡዉሚскαጨቁγ ፕудру ψаդажуλ. Խማυδω вс χиփи μուሪи ሷдիσፒхре բи аፉ ዩи зеврሰμሜգቢձ оքուсиፆа ጹ ጵուፀузω ифէ ብኛըղሥшኹ щαф ձиκυσι руրθ, ያе μэζоцуνез թωлιвጤሚէ ըጤя веջе клիሸа ሿеምаቲυз н яφесιροж ռօсрեኼу. Զищαма щуውечሥчоሱе уրеղեρ ժант ыкубежιт ሳо. Avj7CV. ♦ 15 Juli 2010 Dengan darah yang bergelora mereka telah bertekad untuk merebut padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka harus merebut kembali pusat pemerintahan yang selama ini telah diduduki oleh Ki Tambak Wedi. Bagaimanapun juga, agaknya tempat itu berpengaruh pula bagi rakyat Menoreh yang berada agak jauh dari padukuhan induk itu. Ki Argapati ternyata benar-benar ingin ikut pula di dalam barisan, meskipun ia harus berada di atas punggung kuda. Pada saat terakhir ia menolak untuk duduk di atas sebuah tandu. “Aku sudah menjadi semakin baik,” katanya. “Adalah lebih baik bagiku berada di atas punggung kuda daripada di atas tandu seperti seorang perempuan.” “Tetapi bagi luka Ayah, aku kira lebih baik Ayah berada di dalam tandu,” berkata Pandan Wangi. Ki Argapati menggeleng, “Aku akan duduk di atas punggung kuda. Tetapi aku minta satu dua orang memegang kendali kudaku, supaya aku tidak bernafsu untuk memacunya.” Gembala tua yang mengobati luka-lukanya pun tidak dapat merubah pendiriannya, sehingga karena itu, maka ia berpesan, “Tetapi hati-hatilah, Ki Gede. Luka itu pernah kambuh dan bahkan agak parah. Jangan sampai luka itu kambuh kembali. Ki Gede harus selalu ingat akan hal itu.” “Ya, ya. Aku akan selalu ingat.” Demikanlah ketika gelap malam mulai meraba Tanah Perdikan Menoreh, maka mulailah ujung dari pasukan Menoreh keluar dari regol induk, didahului oleh beberapa orang petugas sandi yang harus mengamat-amati jalan. Maka merayaplah sebuah pasukan seperti seekor ular raksasa yang keluar dari lubang persembunyiannya, menjalar di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk. Setiap hati dari setiap orang yang berada di dalam pasukan itu telah bertekad untuk memilih satu di antara dua. Merebut kembali padukuhan induk itu atau mati di peperangan. Bagi mereka sudah tidak akan ada pilihan lain. Kalau mereka gagal merebut padukuhan induk, maka kekalahan itu akan mencerminkan kehancuran yang bakal mereka alami di saat-saat mendatang. Seandainya mereka terpaksa mundur dan bertahan di belakang pring ori itu pula, maka pada saatnya Ki Tambak Wedi pun akan menjadikan padukuhan itu perapian raksasa yang akan membakar mereka. Karena itu, maka pertempuran kali ini adalah pertempuran yang menentukan. Kekalahan yang terjadi pasti akan semakin menghapus kepercayaan rakyat Menoreh terhadap kemampuan para pengawalnya. Dengan demikian maka hari-hari yang mendatang sama sekali tidak akan berarti apa-apa lagi. Namun demikian, masih juga ada di antara mereka yang sempat berkelakar meskipun sambil berbisik. Tetapi ada juga di antara mereka yang memandang setiap bayangan di sekitarnya dengan wajah yang tegang. “Paman,” berkata Wrahasta kepada Kerti, “supaya pasukan ini tidak segera diketahui lawan, maka sebaiknya beberapa orang harus mendahului di samping petugas-petugas sandi. Mereka harus membungkam setiap gardu perondan di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk itu.” “Ya, pasukan itu memang sudah tersedia. Samekta juga telah memerintahkan beberapa orang mempersiapkan diri.” “Kapan mereka akan kita lepaskan?” “Kalau kita telah melampaui bulak di depan kita itu.” “Aku sendiri akan memimpin mereka.” “Kenapa kau?” “Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang berat. Aku kurang percaya kepada anak-anak itu. Kalau tugas ini gagal, maka pasukan lawan akan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka. Dengan demikian maka korban akan menjadi semakin banyak berjatuhan.” “Sebaiknya bukan kau, Wrahasta.” “Perang kali ini harus menentukan. Kita pun harus berbuat dengan sesungguh hati. Apakah artinya segala usaha yang pernah kita lakukan kalau pada saat terakhir kita akan gagal?” Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari pentingnya tugas itu. Tetapi kenapa Wrahasta sendiri yang harus pergi mendahului? “Bagaimana, Paman?” desak Wrahasta. “Kau sudah cukup banyak berbuat.” “Belum, Paman. Aku harus menunjukkan bahwa kehadiranku di atas Tanah ini ada gunanya. Bukan sekedar hanya memperbanyak jumlah jiwa saja.” “Tugas kita masih banyak.” “Aku sangsi, apakah aku akan dapat ikut seterusnya.” “He?” Kerti terbelalak. “Jangan berkata begitu.” Tetapi Wrahasta justru tersenyum. Katanya, “Ah, sebaiknya kita tidak berbicara tentang hal-hal yang kita ketahui. Yang pasti, para peronda itu jangan mendapat kesempatan memberikan tanda apa pun juga. Aku akan membawa kelompok yang sudah tersusun itu.” Kerti menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Berkatalah kepada Samekta. Samekta yang dapat mengambil keputusan.” “Ya,” sahut Wrahasta sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku akan menemuinya. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepada Tanah ini. Aku adalah putra Tanah Perdikan Menoreh.” Wrahasta pun kemudian meninggalkan Kerti. Beberapa langkah ia mendahului sekelompok pengawal, kemudian ditemuinya Samekta sedang berjalan bersama gembala tua itu. “Aku akan mendahului pasukan,” berkata Wrahasta. “He?” Samekta mengerutkan keningnya. “Aku akan memimpin langsung kelompok yang sudah tersusun untuk membungkam setiap gardu perondan yang akan kita lalui.” “Ah,” desah Samekta, “bukan kau. Kau masih nnempunyai tugas-tugas lain yang lebih penting.” “Aku tahu, tetapi sebelum sampai saatnya pasukan ini menebar dalam gelar, aku akan sudah berada kembali di tempatku.” “Tetapi itu terlampau berbahaya bagimu.” “Aku tidak mau gagal. Aku minta ijin.” Samekta mengerutkan keningnya. Agaknya Wrahasta berkeras untuk melakukan tugas itu. Sehingga karena itu, Samekta tidak dapat mencegahnya lagi. “Tetapi kau harus berhati-hati.” “Tentu, tetapi apabila maut memang sudah merabaku, apa boleh buat.” “Hus,” desis Samekta. “Jangan mengigau.” Wrahasta tertawa. Adalah sesuatu yang jarang dilakukannya. Tetapi kali ini memang benar-benar tertawa. “Aku akan pergi. Berapa orang yang sudah siap di dalam kelompok itu?” “Sepuluh,” jawab Samekta. “Bagus, berapa orang petugas sandi jang menyertai kami?” “Tiga.” “Terima kasih. Di ujung bulak itu kita akan berpisah. Aku akan mendahului, menengok setiap gardu yang mungkin ada di sepanjang jalan ini.” Wrahasta tidak menunggu jawaban Samekta. Langsung ia meninggalkannya, menemui sekelompok pengawal pilihan yang akan mendahului pasukan ini, bersama beberapa orang petugas sandi. “Kemana raksasa itu?” bertanya Gupala sambil berbisik kepada Gupita. Gupita mengerutkan keningnya. Ia mendengar serba sedikit pembicaraan Wrahasta dengan Samekta yang berjalan beberapa langkah di depannya bersama gurunya. “Ke gardu-gardu. Supaya pasukan ini sama sekali tidak diketahui oleh induk pasukan Ki Tambak Wedi.” “Sulit. Aku yakin bahwa salah seorang dari mereka akan sempat menyentuh tanda bahaya. Apa pun caranya. Dengan demikian kita malah memberitahukan kehadiran kita sebelumnya.” Gupita tidak segera menyahut. Sekilas dilihatnya Wrahasta yang seakan-akan terbenam ke dalam gelapnya. Hilang. Gupita tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Wrahasta termasuk salah seorang pemimpin dari pasukan pengawal Menoreh. Sebaiknya ia tidak usah pergi melakukan tugas yang berbahaya itu. Ia dapat menugaskan seseorang yang mempunyai kelebihan dan orang lain, namun tidak perlu seorang pemimpin. “Gupala,” berkata Gupita, “Wrahasta seharusnya tetap berada di dekat Samekta dan Kerti sebelum gelar ini menebar di muka padukuhan induk itu. Karena itu, biarlah orang lain saja yang melakukan tugasnya sekarang, mendahului menyergap gardu-gardu peronda. Gupala mengerutkan keningnya, “Biarlah mereka mengurusinya.” “Hus,” desis Gupita, “kita ikut bertanggung jawab atas keselamatan seluruh pasukan.” “Lalu, apakah kita akan melarangnya?” “Bukan begitu maksudku. Sebaiknya kita berdua sajalah yang pergi.” “Malas.” “He?” Gupita membelalakkan matanya. “Kenapa malas? Kalau kau malas berbuat sesuatu, tidur saja di gardu itu.” Gupala menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya gelap malam yang membayang di hadapannya. Wrahasta telah tidak tampak lagi, hilang ditelan malam, di antara bayangan-bayangan hitam yang bergerak-gerak di sepanjang jalan. “Bagaimana dengan guru?” berkata Gupala. “Kita akan minta ijin.” “Baiklah,” jawab Gupala kemudian. “Biarlah kita orang-orang buangan ini sajalah yang diumpankan kepada para peronda itu.” “Jangan mengingau.” Gupala tidak menjawab. Keduanya pun kemudian mendekati gurunya. Dengan berbisik Gupita kemudian menyatakan maksudnya, menyusul Wrahasta. Mereka berdualah yang akan menggantikan pekerjaannya mendahului pasukan ini bersama beberapa orang untuk menyergap gardu-gardu peronda. Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Kalau pimpinan pasukan pengawal tidak berkeberatan dan mempercayai kalian, aku pun tidak berkeberatan. Tetapi hati-hatilah. Tidak saja dalam tugas itu, tetapi juga caramu menyampaikan maksud itu kepada Wrahasta.” “Guru sajalah yang mengatakannya kepada Ki Samekta.” Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Baiklah.” Gembala tua itu pun kemudian bergeser beberapa langkah mendekati Samekta dan menyampaikan maksud kedua anak-anaknya. “Aku berterima kasih,” berkata Samekta, “tetapi kalian kurang mengenal daerah ini. Tugas yang dilakukan oleh kelompok ini adalah tugas yang berat, yang harus didasari atas pengenalan yang sempurna atas daerah yang akan dilaluinya. Mereka akan menyusup lewat jalan-jalan yang bukan seharusnya.” “Tetapi bukankah anak-anak itu tidak sendiri?” “Dalam keadaan yang memaksa, mungkin mereka harus menebar.” “Tetapi anak-anakku adalah gembala yang sudah terlampau sering menyusur tempat-tempat yang tersembunyi. Apalagi kedua anak-anakku tidak terikat di dalam pasukan dan apalagi pimpinan.” Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi mungkin sekali Wrahasta tidak mau menarik dirinya. Jika demikian biarlah ia pergi. Agaknya hatinya sedang dirisaukan oleh sesuatu. Karena itu sebaiknya ia tidak diganggu. Namun kedua anak-anakmu harus berusaha memperingatkannya, bahwa apabila gelar telah dibuka, ia harus sudah berada di dalam barisan.” Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun di dalam hati ia bertanya, “Bagaimana kalau Wrahasta tidak berhasil?” Tetapi gembala itu tidak mengucapkannya. “Nah, suruhlah anak-anakmu itu pergi bersama Wrahasta. Tetapi jangan berselisih di depan medan. Aku titip anak muda itu. Aku tahu, bahwa anak-anakmu jauh lebih baik dari raksasa yang sedang kecewa itu.” Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bertanya, “Kenapa Angger Wrahasta kecewa?” “Tidak. Tidak apa-apa,” jawab Samekta dengan serta-merta. Orang tua itu pun tidak bertanya lagi. Gupala yang mendekatinya sudah mendengar sebagian terbesar dari pembicaraan itu, sehingga ketika gurunya mendekatinya ia berkata, “Jadi, kami diperkenankan menyusul pasukan itu?” “Pergilah. Tetapi hati-hatilah. Jangan membuat keributan yang dapat menghancurkan seluruh pasukan ini. Kesalahan yang kecil dari kalian mungkin akan dapat membunuh puluhan jiwa manusia. Dan kau harus mempertimbangkannya. Bukan hanya jiwamu sendiri.” Gupala mengerutkan keningnya. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh gurunya. Ketika kemudian ia berpaling kepada Gupita, maka anak muda itu pun sedang menatapnya. “Huh, Kakang Gupita menyalahkan aku pula agaknya,” desisnya di dalam hati. “Pergilah dan ingat, hati-hatilah dalam menghadapi setiap persoalan,” pesan gurunya. “Baik, Guru,” jawab keduanya hampir bersamaan. Maka keduanya pun kemudian melangkah di sisi barisan yang masih juga berjalan maju itu untuk menyusul Wrahasta. Mereka sadar, bahwa tugas itu termasuk tugas yang sulit. Kalau mereka tidak dapat melakukannya dengan baik, sehingga satu atau dua orang dari para peronda itu sempat lolos, atau menyentuh alat-alat yang dapat memberikan tanda apa pun, maka justru yang terjadi akan sebaliknya. Kehadiran mereka akan segera diketahui oleh lawan. Beberapa saat kemudian mereka telah berhasil menemukan Wrahasta di antara kelompok yang memang sudah tersusun. Sepuluh orang dengan tiga orang petugas sandi. “Wrahasta,” berkata Gupita ketika mereka telah berhadapan, “aku mendapat pesan dari Ki Samekta, bahwa aku berdua ditugaskan untuk membantu kelompok ini.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah kedua anak-anak muda itu berganti-ganti, seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam pusat jantung mereka. Gupala dan Gupita pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka menduga-duga bagaimanakah tanggapan anak muda yang bertubuh raksasa itu. Dan sejenak kemudian mereka mendengar Wrahasta bertanya, “Kenapa Paman Samekta mengirimkan kalian kemari?” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Perintah yang sebenarnya adalah menggantikan kau di dalam tugas kelompok ini, karena menurut pertimbangannya, kau sangat diperlukan di dalam saat-saat terakhir. Kau harus memegang pimpinan langsung. Sedang tugas ini dapat dilakukan oleh orang lain yang tidak begitu diperlukan.” “O,” tiba-tiba Wrahasta tertawa, “jadi kau sangka bahwa orang yang berada di dalam kelompok ini harus mati? Dan kau menganggap bahwa aku pun pasti akan mati pula?” Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya, “Bukan begitu. Tetapi kemungkinan untuk itu memang ada. Kemungkinan untuk hidup dan kemungkinan untuk mati sama besarnya.” “Aku sudah tahu. Dan aku pun tidak akan ingkar meskipun aku akan mati sekalipun. Mati untuk Tanah ini.” “Memang mati di dalam perjuangan dapat memberikan kebanggaan. Tetapi kau diperlukan.” “Kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku akan tetap berada di dalam kelompok ini. Sebentar lagi kita akan melampaui bulak ini, dan aku akan segera memisahkan diri, mendahului perjalanan kalian.” Gupita terdiam sejenak. Ia memang tidak melihat kemungkinan bahwa Wrahasta akan bersedia meninggalkan kelompok itu dan kembali kepada Samekta. Karena itu maka akan sia-sialah apabila ia berusaha memaksanya. Maka Gupita itu pun kemudian berkata, “Kami hanya dapat menyampaikan pesan itu. Selebihnya kami tidak mempunyai wewenang apa pun. Meskipun demikian, Ki Samekta telah menugaskan kami untuk berada di dalam kelompok ini.” “Aku tahu, aku tahu. Ki Samekta memang lebih percaya kepada kalian dari pada kepadaku. Soalnya bukan karena aku diperlukan di dalam gelar yang akan kita pergunakan, tetapi karena Ki Samekta menganggap bahwa kalian akan lebih berhasil di dalam tugas ini.” Gupala yang selama itu berusaha membatasi dirinya, untuk tidak berkata sepatah pun juga supaya ia tidak salah ucap, menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu, namun kemudian dilontarkannya pandangan matanya ke dalam gelapnya malam. Gupita tidak segera dapat menjawab. Ia memang harus berhati-hati. Ternyata anak muda yang bertubuh raksasa ini sangat perasa. Dan karena kedua anak-anak muda itu tidak menjawab, Wrahasta berkata selanjutnya, “Kemudian terserahlah kepada kalian. Aku tetap memimpin kelompok ini. Kalau kalian ingin ikut serta, maka kalian akan berada di bawah perintahku. Kalau tidak, kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku tetap berada di sini.” Gupala mengerutkan keningnya. Baginya sikap Wrahasta itu sudah merupakan pembangkangan. Seandainya ia menjadi pemimpin yang lebih tinggi, maka ia pasti akan mengambil tindakan. “Apakah dengan demikian aku akan disebut kurang bijaksana?” bertanya Gupala di dalam hatinya. Gupala mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Gupita berkata, “Kami berdua akan tetap berada di dalam kelompok ini. Kami memang ditugaskan demikian sambil menyampaikan pesan. Apakah pesan itu akan kau lakukan atau tidak, terserahlah kepadamu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Namun kernudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik. Kau berada di dalam pasukan kecil ini. Aku tahu, bahwa kalian mempunyai ilmu yang cukup baik. Dan itu akan sangat berguna bagi tugas ini. Kami harus melakukan penyergapan dengan tiba-tiba dan membinasakan para peronda.” “Ya. Kami akan tetap berada di dalam pasukan ini. Tetapi kami kira, kami tidak perlu berbuat terlampau kasar. Yang penting adalah melumpuhkan dan membungkam mereka. Bukan membinasakan.” “Persetan istilah yang kau pergunakan.” “Bukan sekedar istilah. Maksudku, mereka tidak perlu dibunuh.” “He?” Wrahasta mengerutkan keningnya, “Jadi bagaimana?” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya ia sudah terlibat dalam suatu pembicaraan tentang pelaksanaan tugas kelompok kecil itu. “Maksudku, mereka dapat diikat tanpa membunuhnya.” Wrahasta tertawa berkepanjangan, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. “O, kau adalah manusia yang paling baik di dunia. Kau telah menjunjung tinggi perikemanusiaan di atas kepalamu. Berbahagialah kau dan adikmu yang gemuk itu.” Gupita dan Gupala saling berpandangan sejenak. Bahkan orang-orang lain di dalam kelompok itu pun menjadi heran melihat tingkah laku Wrahasta. Meskipun mereka juga berkeberatan mendengar pendapat Gupita, namun mereka juga merasa aneh terhadap Wrahasta. Mereka belum pernah melihat raksasa itu berbuat demikian. “He, Gupita,” bertanya Wrahasta, “apakah kau belum pernah perang sebelum kau berada di atas Tanah Perdikan ini?” Gupita heran mendengar pertanyaan itu. Tanpa sesadarnya ia menjawab, “Sudah.” “O, apakah kau tidak pernah melihat, bahwa di dalam peperangan kadang-kadang kita harus membunuh lawan?” Gupita tidak menjawab. Sekilas dipandanginya wajah Gupala. Wajah itu terasa aneh baginya. Dan bahkan Gupala itu berbisik, “Kaulah yang aneh Kakang.” Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab. “Akulah pimpinan kelompok ini. Setiap orang harus tunduk kepada perintahku. Kalian harus menyergap setiap gardu perondan dan membinasakan semua isinya. Begitu tiba-tiba sehingga mereka tidak mendapat kesempatan.” Wrahasta berhenti sejenak, lalu, “Nah, kita sudah sampai di ujung bulak. Bersiaplah. Kita akan segera memisahkan diri, mendahului pasukan ini dan melihat gardu di depan kita yang terdekat, sambil mengamati kemungkinan petugas-petugas sandi lawan di sepanjang jalan.” Gupala dan Gupita saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak dapat berbuat lain. Kalau mereka tetap akan berada di dalam pasukan itu, mereka memang harus tunduk kepada perintah Wrahasta. Sementara itu orang-orang lain dalam kelompok kecil itu pun telah bersiap pula. Mereka telah sampai di ujung sebuah bulak. Sebentar lagi mereka akan memasuki sebuah pategalan. Di seberang pategalan yang tidak begitu luas itu terdapat sebuah padesan kecil. “Di pategalan itu terdapat gardu pengawasan,” berkata Wrahasta, “karena itu pasukan ini harus berhenti sejenak. Kita akan melihat apakah yang ada di dalamnya.” Wrahasta kemudian memerintahkan pasukan itu berhenti sambil mengirimkan seorang penghubung kepada Samekta, memberitahukan bahwa ia telah melepaskan diri mendahului seluruh pasukan. Gupala dan Gupita akhirnya turut juga bersama pasukan kecil itu. Mereka mengharap bahwa mereka berdua dapat membantu anak muda yang bertubuh raksasa itu apabila diperlukan. Kelompok itu kemudian berjalan dengan hati-hati menuju ke ujung pategalan. Menurut pengenalan mereka, di pategalan itu terdapat sebuah gardu kecil. Tetapi biasanya orang-orang Ki Tambak Wedi tidak mempergunakannya. Mereka berada di dalam gardu yang lebih besar, di seberang pategalan itu. Diantarai oleh beberapa kotak sawah yang sempit, di mulut sebuah padesan kecil. Meskipun demikian, mereka memerlukan melihat gardu kecil itu, apabila secara kebetulan ditunggui oleh dua atau tiga orang setelah pasukan Ki Tambak Wedi menderita kekalahan. Pasukan kecil itu berhenti beberapa langkah dari gardu itu, di balik gerumbul-gerumbul dan semak-semak pategalan. Seorang petugas sandi dengan sangat hati-hati merayap maju. Namun ternyata gardu kecil itu memang kosong. Agaknya Ki Tambak Wedi atau orang-orangnya, memang tidak memperhitungkan bahwa pasukan Menoreh akan menyusul mereka. Sebab menurut Ki Tambak Wedi, luka Ki Argapati menjadi agak parah. Tanpa Ki Argapati, pasukan Menoreh tidak akan mampu berbuat banyak. “Tetapi di gardu di depan pasti ada beberapa orang petugas,” desis Wrahasta. “Pasti,” jawab salah seorang petugas sandi. “Mari kita lihat.” Kemudian katanya kepada salah seorang petugas sandi itu pula., “Suruh pasukan Ki Samekta maju perlahan-lahan. Tetapi mereka tidak boleh keluar dari pategalan ini, supaya tidak dapat dilihat oleh seseorang yang seandainya kebetulan berada di sawah di depan pategalan ini.” Petugas itu pun kemudian meninggalkan Wrahasta kembali ke induk pasukan, sementara kelompok kecil itu merayap semakin maju. Mereka tidak berjalan di atas jalan yang membelah beberapa kotak sawah di antara pategalan dan padesan di depan. Tetapi mereka turun ke dalam parit dan sambil membungkuk-bungkuk menyusur maju mendekati padesan. Di belakang tanggul mereka kemudian berhenti, untuk mengawasi keadaan. Mereka sudah melihat lamat-lamat beberapa berkas sinar lampu yang menerobos dari dinding-dinding rumah menyentuh dedaunan. Dan tiba-tiba saja Wrahasta menggeram, “Persetan dengan penduduk padesan itu. Mereka pun merupakan bahaya bagi pasukan ini. Dan mereka pun memang termasuk orang-orang yang sama sekali tidak kita perlukan lagi.” “Kenapa?” tanpa sesadarnya Gupita bertanya. “Mereka sama sekali tidak mempedulikan perjuangan kami. Selagi kami berprihatin di dalam sarang-sarang tikus, mereka tetap saja tinggal dengan nyamannya di rumah masing-masing dikawal oleh pasukan Sidanti. Sungguh menyakitkan hati.” Wrahasta berhenti sejenak, kemudian, “Apakah tidak sepatasnya kalau mereka dibinasakan pula?” “Berlebih-lebihan,” sahut Gupita. “Sebenarnya mereka pun telah membantu kita. Bukankah di antara mereka telah menyerahkan bahan-bahan makanan dan barang-barang lain yang kita perlukan?” “Hanya satu dua orang saja. Tetapi sebagian besar dari mereka adalah pengkhianat-pengkhianat.” “Jangan dinilai begitu. Kehadiran mereka telah memberikan perlindungan kepada orang-orang yang bersedia membantu kita. Mereka merupakan tabir yang dapat dipergunakan oleh mereka yang membantu kita sebagai tempat persembunyian. Dengan mereka, maka orang-orang yang membantu kita tidak akan segera dikenal. Tetapi tanpa mereka, maka tidak ada seorang pun yang berani memberikan apa saja yang kita perlukan.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Namun kemudian diperintahkannya seseorang untuk mengintai gardu di ujung lorong. Seorang petugas sandi pun kemudian merangkak dengan hati-hati mendekati padesan itu. Kemudian menyusur dinding batu yang ditumbuhi lumut, mendekati gardu di mulut desa, langsung merupakan regol masuk. Ternyata mereka pun kurang berwaspada karena mereka sama sekali tidak akan menduga, bahwa pasukan lawan telah merayap semakin dekat. Meskipun mereka masih juga bangun, namun mereka tidak banyak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka. Mereka saling berbicara dan berkelakar. Tetapi, petugas sandi itu masih melihat, seorang dari mereka berjalan hilir-mudik di muka regol. Sejenak ia mencoba melihat keadaan. Dari mana kelompok kecil itu harus mendekat. Dari mana mereka akan menyergap dan bagaimana mereka dapat segera membungkam para petugas itu. Meskipun petugas sandi itu tidak dapat melihat orang-orang yang berada di dalam gardu, namun ia dapat menduga, bahwa orang-orang itu tidak lebih dari enam atau tujuh orang. Setelah ia menemukan kesimpulan, maka segera ia pun kembali ke kelompok kecil itu dan dengan beberapa petunjuk, dibawanya kelompoknya maju mendekat dengan hati-hati sekali. Kelompok itu akhirnya berhasil berada beberapa langkah saja di samping regol yang sekaligus merupakan gardu penjaga. Pintunya masih terbuka lebar, dan seorang dari mereka masih juga berjalan hilir-mudik dengan senjata telanjang di tangan. Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tampak sedang memikirkan cara yang paling baik berdasarkan pengamatan petugas sandi itu. Lamat-lamat mereka masih mendengar orang-orang di dalam regol itu bergurau. Seseorang di antara mereka telah mengumpat-umpat di sela-sela suara tertawanya. “Mereka harus dibungkam untuk selama-lamanya,” geram Wrahasta yang berjongkok melekat dinding batu. “He, kemarilah,” desis Wrahasta memanggil Gupala. Gupala memandang wajah Gupita sejenak. Ketika ia melihat Gupita menganggukkan kepalanya, maka ia pun merayap mendekat. “Tugasmu adalah menyergap orang yang berjalan hilir-mudik itu. Kami akan segera menyerbu ke dalam regol. Sebagian akan masuk meloncat dinding batu ini dan menyerang dari dalam, supaya tidak seorang pun sempat melarikan diri.” Sekali lagi Gupala memandangi wajah Gupita, dan sekali lagi Gupita menganggukkan kepalanya. “Baiklah,” jawab Gupala kemudian. “Nah kau,” berkata Wrahasta kepada Gupita, “bersama lima orang, kalian meloncat dinding ini, dan menyergap dari dalam.” “Ya,” jawab Gupita. “Aku akan berada di luar bersama Gupala. Aku akan memberikan tanda. Kalau kalian mendengar suara cengkerik berderik dua kali berturut-turut, kalian harus siap. Kemudian kalian akan mendengar aba-abaku untuk menyergap serentak.” Gupita menganggukkan kepalanya. “Cepatlah, bersama lima orang.” Gupita tidak menjawab lagi. Tetapi ia berdesis, “Ayo, siapakah di antara kalian yang akan mengikuti aku meloncati dinding batu ini?” Beberapa orang kemudian bergerak serentak, bergeser mendekatinya. Tetapi justru hampir semuanya. “Yang lain tinggal di sini,” perintah Wrahasta. Akhirnya Gupita mendapatkan kawan-kawannya. Dengan hati-hati mereka satu demi satu meloncati pagar batu yang cukup tinggi. Tetapi ternyata mereka adalah anak-anak muda yang berkemauan dan bertekad baja. Meskipun mereka mengalami sedikit kesulitan, bahkan ada di antaranya yang bagian dadanya terluka dan berdarah, namun mereka berhasil memasuki padukuhan itu. “Sakit?” bertanya Gupita kepada kawannya yang terluka di dadanya. “Ah tidak apa-apa. Hanya lecet sedikit ketika kakiku terlepas dari injakan.” Gupita mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kita harus mendekat, supaya kita tidak terlambat.” Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan mereka pun kemudian mengikuti Gupita yang merangkak maju mendekati regol. Semakin dekat, suara mereka menjadi semakin jelas. Agaknya mereka mencoba mengusir kantuk mereka dengan berbicara, berbantah dan bergurau. Bahkan di bagian dalam regol itu, tampak sebuah perapian dan sebuah belanga di atasnya. Agaknya mereka merebus makanan atau menanak nasi untuk makan mereka di malam nanti, supaya mereka tidak kehabisan tenaga dan tertidur. Gupita yang merangkak semakin dekat, menjadi semakin berhati-hati karenanya. Kini ia tidak dapat memberi aba-aba lagi, sehingga karena itu ia hanya dapat memberikan tanda-tanda dengan tangannya. Di luar dinding batu, Wrahasta pun berbuat serupa. Ia merangkak semakin dekat diikuti oleh para pengawal. Sedang Gupala merayap mendahului mereka. Dengan hati-hati ia berusaha untuk mencapai jarak sedekat-dekatnya, supaya apabila Wrahasta memberikan perintah, ia langsung dapat menyergap orang itu tanpa memerlukan waktu terlampau panjang. Sejenak kemudian terdengar suara cengkerik berderik dua kali berturut-turut. Tetapi ternyata suara cengkerik itu agak terlampau keras sehingga menumbuhkan kecurigaan pada penjaga yang sedang berjalan hilir-mudik di muka regol sehingga langkahnya terhenti. Dengan dahi yang berkerut-merut dipandanginya arah suara cengkerik yang aneh terdengar di telinganya itu. Wrahasta pun melihat sikap pengawal yang mendebarkan jantung itu. Apalagi ketika pengawal itu justru beberapa langkah mendekat. Gupala benar-benar berusaha menahan nafasnya. Penjaga itu hanya beberapa langkah saja berdiri di depannya dengan termangu-mangu. Sedang kawan-kawannya yang berada di dalam regol masih saja berkelakar dan berbantah tanpa ujung dan pangkal. Dalam ketegangan itulah tiba-tiba Wrahasta berdesis, “Sekarang, Gupala.” Orang yang berdiri termangu-mangu itu mendengar juga desis Wrahasta. Tetapi ia tidak sempat berpikir tentang suara itu. Ia tidak menyangka, bahwa justru dari muka hidungnya, seseorang meloncat menerkam lehernya. Penjaga itu memang tidak sempat berteriak. Tetapi sebuah dengus perlahan telah terdengar dari dalam regol, disusul oleh hentakan-hentakan kaki. Hanya sebentar, kemudian terdiam. Wrahasta menjadi tegang melihat sergapan yang hanya beberapa kejapan mata itu. Betapa pun juga ia terpaksa mengakui, bahwa Gupala memang seorang yang mempunyai kekuatan luar biasa. Namun sejenak kemudian ia menyadari keadaannya. Ternyata beberapa orang di dalam regol itu telah mendengar sesuatu. Suara mereka yang riuh tiba-tiba terputus dan dengan tergesa-gesa beberapa orang berloncatan sambil menggenggam senjata masing-masing. “Hampir terlambat,” desis Gupala di dalam hatinya. Tetapi ia masih menunggu perintah Wrahasta. Dan perintah itu pun menyusul beberapa saat kemudian. Wrahasta pun kemudian memberikan aba-aba untuk menyergap orang-orang yang sedang keluar dari dalam regol itu. Orang-orang itu pun terkejut bukan kepalang. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka. Tiba-tiba saja mereka telah diserang dari dalam dan dari luar regol bersama-sama. Apalagi di antara para penyerang itu terdapat Gupala dan Gupita. Wrahasta memang tidak memerlukan waktu terlampau banyak. Orang-orangnya segera menguasai keadaan. Orang-orang yang sesaat yang lalu masih berkelakar, kini terbaring diam tanpa bergerak sama sekali. Gupita melihat mayat-mayat yang terbujur lintang di tanah itu dengan hati yang berdebar-debar. Semua orang yang berada di dalam regol itu memang telah terbunuh mati. Agaknya Wrahasta dan orang-orangnya sama sekali tidak bermaksud untuk membiarkan mereka hidup. Ketika Gupita memandang adik seperguruannya, tampaklah anak yang gemuk itu tersenyum lucu kepadanya. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang dipukulnya sehingga pingsan itu pun ternyata telah mati pula. Ia tidak tahu siapakah yang telah menusuk dadanya dengan sebilah pedang. Gupita mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara Wrahasta datar, “Terima kasih. Kalian telah melakukan tugas kalian sebaik-baiknya. Kini kita akan maju lagi. Di ujung lorong ini, di mulut padukuhan, pasti ada juga beberapa orang penjaga. Mereka pun harus kita binasakan pula.” Sekali lagi Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak kuasa untuk mencegahnya. Meskipun hal itu tidak sesuai dengan keinginannya, namun ia harus membiarkannya terjadi. Bahkan adik seperguruannya itu pun telah melakukannya dengan senang hati. Sementara itu seorang penghubung telah dikirimnya pula untuk memberitahukan apa yang telah terjadi. Kemudian bersama yang seorang lagi, yang telah dikirimnya lebih dahulu, harus menggabungkan dirinya di gardu di mulut lorong yang lain. Demikianlah mereka pun kemudian merayap maju. Di dalam gelapnya bayangan pepohonan yang rapat di jalan padukuhan, mereka mendekati gardu penjagaan di ujung lorong itu. Seorang petugas sandi yang berjalan di paling depan tiba-tiba terhenti. Beberapa langkah ia mundur mendekati Wrahasta. Kemudian dengan isyarat diberitahukannya bahwa di hadapan mereka ada seseorang yang berjalan ke arah mereka. Wrahasta pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk berhenti dan melekat dinding batu di sebelah-menyebelah jalan. Meskipun ada kemungkinan bahwa orang yang berjalan itu dapat melihat mereka, namun orang itu tidak boleh mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Agaknya orang itu memang tidak bercuriga apa pun. Ia berjalan saja sambil berlenggang. Namun tiba-tiba ia membelalakkan matanya ketika seseorang tanpa diketahui dari mana datangnya meloncat dan menerkamnya. Ia menyadari keadaannya ketika sudah terlambat. Sepasang tangan bagaikan jari-jari besi telah mencekik lehernya. Sejenak kemudian gelap malam pun menjadi semakin kelam, dan nafasnya pun putus karenanya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam sambil mengibaskan tangannya. Demikian tangannya terlepas, orang itu pun kemudian terjatuh seperti sebatang kayu. “Lemparkan ke balik pagar batu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya. Gupita yang melihat mayat itu menahan gejolak di dalam dadanya. Orang itu adalah seorang tua yang sudah tidak bertenaga dan sama sekali tidak bersenjata. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di dalam hatinya, “Ini adalah salah satu wajah peperangan. Orang ini sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi atas dirinya. Dan kematiannya pun sama sekali tidak berarti apa-apa.” Namun yang lebih pahit lagi baginya adalah, bahwa Wrahasta sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atas peristiwa itu. Dengan jantung yang berdenyut semakin cepat, Gupita menyaksikan mayat itu diangkat dan dilemparkan begitu saja ke balik pagar batu di pinggir jalan. “Kita melanjutkan perjalanan ini. Hati-hati. Mungkin kita akan bertemu dengan seseorang lagi,” berkata Wrahasta kemudian. Tanpa dapat menahan diri lagi Gupita menyahut, “Tetapi orang-orang semacam ini sama sekali tidak berbahaya.” Wrahasta memandang wajah Gupita dengan tajamnya. Kemudian jawabnya, “Kau sangka orang-orang semacam ini tidak mempunyai mulut?” “Aku menyadari. Tetapi orang setua itu tidak akan banyak dapat berbuat. Apakah tidak ada jalan lain daripada membunuhnya?” “Ah, kau.” geram Wrahasta. “Aku tidak sempat berpikir di dalam keadaan serupa ini. Kalau setiap prajurit dan pengawal berbuat seperti kau, maka peperangan yang mana pun tidak akan dapat diselesaikan.” Gupita tidak menjawab lagi. Sementara itu Gupala mendekatinya sambil berbisik, “Memang kau benar-benar aneh, Kakang.” Gupita menggigit bibirnya. Namun ia tidak dapat ingkar dari dera perasaannya. Meskipun demikian ia tidak menjawab lagi. “Cepat, kita maju ke gardu di depan. Tanpa keragu-raguan dan pertimbangan-pertimbangan yang cengeng,” perintah Wrahasta selanjutnya. Maka pasukan kecil itu pun kemudian maju lagi. Lebih cepat dari semula. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan gardu di mulut lorong. “Lihat, apakah yang ada di dalam gardu itu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya. Orang itu pun kemudian mendekati gardu dengan sangat hati-hati. Di dalam gardu itu ada beberapa orang, tetapi berbeda dengan gardu yang pertama. Orang-orang di dalam gardu itu lebih tidak berhati-hati. Mereka menganggap bahwa penjagaan di gardu pertama cukup kuat, dan mereka sama sekali tidak bermimpi bahwa beberapa orang telah berhasil mendekat, meskipun sebagian dari mereka benar-benar telah tertidur. “Tidak lebih dari lima orang,” berkata orang itu kepada Wrahasta. “Apalagi sebagian dari mereka telah tertidur.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Cepat. Mereka harus kita selesaikan pula.” Kelompok kecil itu pun semakin mendekat. Dan tiba-tiba saja Wrahasta membawa anak-anak muda di dalam kelompok itu dengan serta-merta menyergap. Tidak seorang pun yang sempat turun dari gardunya. Bahkan yang sedang tertidur pun tidak sempat bangun untuk selama-lamanya. Wrahasta menarik nafas panjang. Pedangnya yang basah oleh darah disarungkannya. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Kita menunggu mereka yang sedang menghubungi induk pasukan. Kemudian kita akan semakin dekat dengan padukuhan induk.” Kelompok kecil itu pun sejenak mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka sama sekali tidak menaruh perhatian atas mayat-mayat yang masih terbaring di dalam gardu. Sesaat kemudian maka para petugas yang menghubungi induk pasukan telah menggabungkan diri kembali. Dengan demikian maka kelompok kecil itu segera meneruskan tugas mereka mendahului untuk merambas jalan. “Pasukan induk telah maju,” lapor petugas itu. Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus,” katanya, “semakin cepat kita mulai akan menjadi semakin baik. Tetapi setiap kali pasukan induk itu harus menunggu isyarat kita.” “Ya.” Wrahasta kemudian terdiam sejenak. Mereka akan segera melalui sebuah padesan lagi. Wrahasta tahu benar, bahwa di padesan itu pasti terdapat tidak hanya dua buah gardu perondan, karena desa itu agak lebih besar. “Ada tiga jalan memasuki desa itu,” berkata salah seorang petugas sandi. “Ketiganya pasti diisi oleh pengawal-pengawal yang lebih baik dari pengawal di gardu kedua. Setidak-tidaknya mereka adalah pengawal-pengawal setingkat dengan pengawal-pengawal di gardu pertama, sehingga kita tidak akan dapat mengharapkan mereka tertidur nyenyak.” “Sebenarnya mereka tidak berbeda. Tetapi para peronda di gardu kedua agak kurang berhati-hati. Itulah kesalahannya. Bukan karena kemampuan mereka lebih rendah dari gardu pertama. Demikian juga agaknya orang-orang di gardu depan nanti.” Petugas itu berhenti sejenak. “Tetapi kita dapat mengharap bahwa mereka pun lengah.” Kelompok kecil itu merayap semakin dekat. Seperti yang sudah mereka lakukan, maka petugas sandilah yang lebih dahulu mendekati mulut lorong. Orang itu sudah cukup banyak mengenal daerah ini dan bahkan di sekitarnya. Sebagai anak Menoreh, ia sudah terlalu sering bermain-main di tempat ini. “Memang mereka tidak sedang tidur,” bisik petugas sandi itu kepada Wrahasta, “tetapi mereka tidak lebih dari lima orang.” Wrahasta menganggukkan kepalanya. Dengan isyarat dibawanya pasukannya mendekat. Kemudian seperti seekor kucing menerkam tikus mereka menyergap orang-orang di dalam gardu itu. Ternyata perhitungan Wrahasta tepat. Orang-orang ini lebih sigap dari orang-orang yang berada di gardu-gardu yang terdahulu. Tetapi karena jumlah mereka tidak lebih dari lima orang, maka mereka tidak berhasil menghindarkan diri dari terkaman maut. Apalagi sergapan itu datang begitu tiba-tiba tanpa mereka duga-duga lebih dahulu. Tanpa melepaskan korban, kelompok itu telah berhasil membinasakan tiga kelompok peronda. Dan kini mereka merayap maju lagi. Seperti seekor harimau yang sedang mengintai sarang kelinci. Berapa kali saja harimau itu menangkap kelinci, namun harimau itu tidak akan menjadi kenyang sama sekali. Ternyata di desa itu terdapat tiga gardu peronda. Dan isi dari ketiga gardu itu pun mengalami nasib serupa, meskipun di gardu ketiga, salah seorang anggota kelompok yang dipimpin oleh Wrahasta itu terluka di pundaknya. “Jalan telah terbuka,” geram Wrahasta. “Kita tinggal melintasi bulak panjang dan sebuah desa. Kemudian sebuah bulak pendek yang tidak berarti. Di bulak pendek itulah kita akan menyusun gelar.” “Terlampau dekat,” tiba-tiba salah seorang pengawal menyahut. Wrahasta menggeleng, “Tidak. Tidak terlampau dekat.” “Selama kita menyusun gelar di bulak pendek itu, ada kemungkinan, bahwa kedatangan kita diketahui oleh pengawas.” “Tetapi kita akan segera siap untuk menyerang mereka.” “Bukankah lebih baik, apabila dengan tiba-tiba saja kita menyergap seperti gardu-gardu perondan ini?” Wrahasta menggelengkan kepalanya. Sambil menengadahkan dadanya ia berkata, “Kita mempunyai banyak kelebihan dari lawan.” Dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Agaknya kemenangan-kemenangan kecil di sepanjang jalan ini membuat Wrahasta terlampau berbangga. Karena itu, ia menjadi cemas pula. Gupala yang tidak pernah membuat terlampau banyak pertimbangan itu pun merasakan, bahwa Wrahasta merasa dirinya terlampau cakap untuk memimpin pasukan. Namun Gupala tidak mencoba berbuat apa pun. Kalau terjadi perselisihan di antara mereka, maka keadaan pasti akan menjadi kalut. Dan gurunya hanya dapat menyalahkannya. “Marilah kita lintasi bulak ini dengan mengangkat kepala. Kita telah membinasakan lima kelompok peronda, dalam waktu yang singkat,” berkata Wrahasta kemudian. Raksasa itu tidak menunggu jawaban siapa pun. Segera ia melangkah menyusur jalan yang terbentang di tengah-tengah tanah persawahan yang luas. Gupita yang melihat tingkah laku Wrahasta merasa wajib untuk mempringatkannya demi keselamatan seluruh pasukan, tidak hanya sekedar kelompok kecil ini. Maka dengan hati-hati ia berkata, “Kita harus tetap memperhitungkan kemungkinan pengawasan di tengah-tengah bulak ini.” Wrahasta berpaling. Jawabnya, “Aku sudah tahu. Aku mempunyai pengalaman yang cukup. Aku kira jauh lebih banyak dari seorang gembala, karena aku adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan.” Jawaban itu sama sekali tidak disangka-sangka. Karena itu, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Gupita dan apalagi Gupala. Namun keduanya tidak menyahut. Mereka berjalan saja di belakang Wrahasta. Gupita menjadi berprihatin karenanya. Namun Gupala menjadi acuh tidak acuh. Suara Wrahasta dianggapnya seperti desau angin malam yang lewat menyentuh telinganya. “Kalau aku mendengarkannya, maka aku berniat untuk menjawabnya,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Dan mulut ini rasa-rasanya sudah terlampau gatal. Karena itu, lebih baik aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.” Dan kelompok itu pun merayap maju terus di antara tanah persawahan. Semakin lama semakin jauh ke tengah bulak yang panjang. Mereka dengan penuh tekad menyerahkan segenap hidup mereka kepada kewajiban yang sedang mereka lakukan. Namun dengan demikian, bukan berarti bahwa mereka sedang membunuh diri. Namun agaknya Ki Tambak Wedi dan Sidanti memang tidak memperhitungkan kemungkinan itu. Meskipun mereka tidak menjadi lengah, dan menempatkan para peronda di tempatnya, tetapi agaknya orang-orang yang bertugas itu tidak mendapat peringatan keras, bahwa kemungkinan itu akan dapat terjadi. Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Ki Argapati pasti masih belum dapat bangkit dari pembaringannya. Meskipun Ki Tambak Wedi sudah mengambil keputusan untuk secepatnya menggempur benteng pring ori itu dan menjadikannya karang abang, namun ternyata para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh berbuat lebih cepat lagi. Mendahului hari yang telah ditentukan oleh Ki Tambak Wedi. Samekta, pemimpin tertinggi yang kali ini diserahi pasukan di samping Ki Argapati sendiri yang sedang terluka itu, tidak dapat membayangkan, apalagi memperhitungkan dengan tepat, berapakah kekuatan lawan. Sebagai gambaran dipergunakannya kekuatan Ki Tambak Wedi yang dibawa langsung menyerang pemusatan pasukannya yang terakhir. “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi belum dapat menghimpun orang Menoreh yang masih bertebaran di padukuhan-padukuhan kecil. Dengan janji-janji yang membubung setinggi awan, mereka yang ragu-ragu akan menjadi mudah terpikat. Apalagi ternyata selama ini Ki Gede Menoreh hanya bersembunyi saja di balik pagar pring ori itu,” berkata Samekta di dalam haitinya. “Jika demikian, maka jumlah pasukan Ki Tambak Wedi akan segera bertambah. Meskipun mereka bukan orang-orang yang terlatih baik, namun pada umumnya setiap laki-laki di Menoreh, mampu menggenggam senjata.” Samekta mengerutkan keningnya. Apa yang dilihatnya di sepanjang jalan adalah permulaan yang baik bagi pasukannya. Kelompok yang dikirimkannya mendahului induk pasukan ternyata telah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. “Meskipun jumlah pasukan Ki Tambak Wedi menjadi berlipat, namun sergapan yang tiba-tiba akan membuat mereka bingung,” desis Samekta. “Mudah-mudahan kita akan segera berhasil.” Sekilas dipandanginya gembala tua yang berjalan beberapa langkah di sampingnya. Sekali-kali tumbuh keragu-raguan di dalam hatinya. “Apakah orang ini benar-benar dapat dipercaya untuk, melawan Ki Tambak Wedi?” Sementara itu induk pasukan Menoreh itu pun maju terus melintasi jalan berdebu. Langit yang kehitam-hitaman ditaburi oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Namun tiba-tiba terasa betapa Tanah Perdikan ini telah benar-benar terbakar dalam suatu pertentangan di antara keluarga sendiri. Samekta menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Wrahasta tersenyum sambil menengadahkan kepalanya. Dengan garangnya ia berkata, “Para peronda di desa itu pun akan segera binasa.” “Hati-hatilah,” desis Gupita dengan serta-merta. “Aku sudah cukup mengerti,” bentak Wrahasta, “kau tidak perlu setiap kali menggurui aku.” “Tetapi kita sudah terlampau dekat dengan padesan di depan kita. Para peronda di dalam gardu itu akan melihat bayangan kita di hadapan layar kebiruan langit yang terang,” sahut Gupita. “Persetan,” jawab Wrahasta, “kalau kau menjadi ketakutan, kembalilah.” Gupita adalah seseorang yang selama ini selalu berusaha menahan dirinya. Demikian juga pada saat itu. Betapa dadanya menjadi bergetar, namun ia tidak menanggapinya dengan perasaan. “Kita akan langsung menyergap gardu di mulut lorong itu,” geram Wrahasta. Gupita menahan geletar jantungnya. Namun agaknya sikap Wrahasta itu telah menumbuhkan keheranan, tidak saja pada Gupita dan Gupala, namun akhirnya para pengawal Menoreh sendiri pun menjadi heran. Seorang petugas sandi yang berada di dalam kelompok kecil itu segera berkata, “Tetapi dengan demikian kita telah kehilangan kewaspadaan. Sebaiknya kita melakukannya dengan hati-hati seperti yang baru saja terjadi. Bukankah kita berhasil dengan baik? Cara itu ternyata adalah cara yang sebaik-baiknya.” “Kita bukan pengecut,” jawab Wrahasta, “pengecut yang hanya berani menyergap lawan tanpa beradu dada.” “Bukan. Bukan sikap pengecut,” jawab petugas sandi itu. “Tetapi kita memang seharusnya berhati-hati di peperangan.” “Aku akan maju terus lewat jalan ini. Kemudian kita akan bertempur dengan orang-orang yang ada di dalam gardu itu. Kita baru akan dapat dikatakan berhasil dengan baik apabila dengan beradu dada kita dapat membinasakan mereka.” Gupita mengerutkan keningnya. Dan ia melihat Wrahasta menengadahkan kepalanya sambil berdesis, “Lihatlah bintang-bintang yang gemerlapan di langit. Mereka akan menjadi saksi, bahwa malam ini seorang pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Wrahasta telah berhasil menunaikan tugasnya dengan sempurna. Tugas seorang lelaki jantan. Bukan seorang pegecut. Dengan demikian apabila kita berhasil maka kita baru dapat disebut sebenarnya pahlawan.” Wrahasta berhenti sejenak. Namun tiba-tiba semua orang menahan nafasnya ketika Wrahasta itu seolah-olah berbicara kepada bintang-bintang di langit, “He, bintang gemintang. Apabila kita tidak bertemu lagi besok malam, maka kalian akan mengenangkan jasaku atas tanah perdikan ini. Kalian akan melihat bahwa aku bukan pengecut. Bukan orang yang sama sekali tidak berharga seperti yang kalian sangka selama ini.” Orang-orang yang berada di dalam kelompok itu saling berpandangan sejenak. Tetapi tidak seorang pun yang berbicara. Sementara itu Wrahasta sambil tertawa kecil berkata kepada mereka, “Nah, kita akan menyergap dari depan. Ingat. Kita adalah laki-laki.” Gupala yang terheran-heran pula mendekati Gupita sambil berbisik, “He, apakah Wrahasta menjadi gila?” “Hus,” desis Gupita. “Tetapi cara ini memang sangat berbahaya.” “Tetapi menyenangkan,” desis Gupala. “Aku sependapat.” “Ah, kau pun telah menjadi gila pula.” Gupita menjadi jengkel melihat Gupala malahan tersenyum. Dipandanginya wajah Gupita yang berkerut merut. Namun Gupala tidak berkata sesuatu. Tetapi Gupita pun menyadari, bahwa ada perbedaan tanggapan atas sikap Wrahasta dan Gupala, meskipun keduanya ingin mempergunakan cara yang sama. Wrahasta yang dimabukkan oleh kemenangan-kemenangan kecil itu merasa dirinya menjadi terlampau cakap untuk melakukan tugasnya. Sedang Gupala hanya sekedar terdorong oleh jiwanya yang kadang-kadang menggeletak tanpa dapat dikendalikan. Ia memang selalu ingin mengalami sesuatu yang dahsyat. Gupala sama sekali tidak puas melakukan penyergapan atas orang-orang yang sedang tidur atau setengah tidur. Mengejutkan mereka, dan sebelum mereka berbuat sesuatu, orang-orang di dalam pasukannya telah berebutan menghunjamkan pedangnya. “Apakah menariknya perkelahian serupa itu?” katanya di dalam hati. Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak dapat mencegah kelompok ini berjalan terus semakin mendekati mulut padesan di depan mereka. “Wrahasta,” berkata Gupita kemudian, “bukan berarti bahwa kita takut menghadapi mereka beradu dada, tetapi apabila tiba-tiba mereka membunyikan tanda bahaya, maka seluruh tugas kita akan gagal.” Wrahasta mengerutkan keningnya. “Yang pengecut sama sekali bukan kita. Tetapi kalau orang-orang di dalam gardu itulah yang pengecut, akibatnya kitalah yang akan mengalaminya. Pimpinan tertinggi pasukan Menoreh akan menganggap bahwa kita tidak mampu melakukan tugas kita.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia menggeram, “Itulah susahnya kalau kita tidak yakin bahwa kita akan berhadapan dengan laki-laki jantan.” “Dan pengecut yang demikian akan lari sebelum kita bertemu pandang. Sebagian dari mereka akan segera memukul tanda-tanda bahaya sebelum melihat jumlah lawan yang mereka hadapi.” “Bagus,” jawab Wrahasta yang dengan demikan dapat mendengar keterangan Gupita, “sebagian dari kalian harus berlindung. Kalian akan berjalan di sepanjang parit, dan yang sebagian akan menyusup di antara batang-batang jagung. Aku akan berjalan di atas jalan ini seorang diri.” “Kenapa?” bertanya Gupita. “Aku akan datang dari depan. Dan aku kira mereka tidak akan segera memukul tanda-tanda apabila mereka hanya melihat aku seorang diri.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi itu akan jauh lebih baik dari rencana Wrahasta semula. Demikianlah ketika mereka telah menjadi semakin dekat maka Wrahasta segera memerintahkan pasukannya untuk memecah. Katanya kemudian, “Aku akan mulai dengan perkelahian. Kalian harus segera menyergap dari arah masing-masing. Jangan diberi kesempatan sama sekali untuk memberikan tanda apa pun. Kentongan atau panah api atau panah sendaren.” Para pengawal di dalam kelompok kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun para petugas sandi saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Meskipun demikian salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah tidak sebaiknya aku melihat lebih dahulu, apa saja yang terdapat di dalam gardu?” “Tidak perlu. Seandainya ada sepuluh atau lima belas orang, apakah kalian takut?” “Bukan takut.” “Nah, kalau begitu, kita akan melakukannya dengan caraku. Seandainya di dalam gardu itu ada sepuluh orang, kita masih mempunyai beberapa kelebihan. Bukanah kita semuanya lebih dari sepuluh orang. Seandainya jumlah mereka lebih banyak, bukankah kalian juga tidak akan takut seandainya satu-dua di antara kalian harus melawan lebih dari seorang?” Jawaban Wrahasta itu sama sekali bukan yang dimaksud oleh petugas sandi itu. Karena itu ia mencoba menjelaskan, “Bukan soal takut atau berani. Tetapi setiap kali kita akan kembali kepada persoalan tanda-tanda seperti yang dikatakan Gupita tadi. Kalau satu saja di antara mereka sempat membunyikan tanda-tanda itu, maka gagallah seluruh tugas kita.” “Itu akan tergantung kepada kemampuan kita,” sahut Wrahasta. “Seandainya ada di antara mereka yang sempat membunyikan atau memberikan tanda apa pun juga, itu berarti kalau kita memang tidak mampu. Dan jika demikian jangan mengharap, bahwa kalian akan disebut pahlawan.” Petugas itu sama sekali tidak puas dengan jawaban Wrahasta, seperti juga Gupita. Tetapi Wrahasta tiba-tiba sudah menjadi seorang yang keras kepala. Agaknya ia ingin benar-benar menjadi seorang pahlawan. Ia ingin menutup kekurangan-kekurangan yang pernah terjadi pada dirinya. Ia harus dapat merebut perhatian Pandan Wangi, bahwa ia adalah seorang pahlawan. Bukan seorang yang sama sekali tidak berdaya melawan anak muda yang gemuk itu. Karena itu, maka tidak ada yang lebih baik dilakukan oleh para pengawal itu selain mematuhi perintah Wrahasta. Sebagian segera turun ke parit di sebelah jalan itu, parit yang mengairi tanah persawahan. Sambil terbungkuk-bungkuk mereka berjalan maju, di balik batang-batang ilalang dan pagar jarak yang tumbuh di pinggir parit. Sedang yang lain segera menyusup di antara batang-batang jagung di seberang jalan. Sedang Wrahasta, seperti yang direncanakannya sendiri, berjalan dengan dada tengadah di sepanjang jalan menuju ke mulut desa di depan. Anak muda yang bertubuh raksasa itu berjalan dengan tegapnya. Sekali-kali ditatapnya langit yang digayuti oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Dipandanginya bauran bintang di langit itu dengan seksama, seolah-olah tidak akan pernah berjumpa lagi untuk selama-lamanya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali ia mendengar gemerisik di sebelah-menyebelah jalan. Ia sadar, bahwa ia sedang berjalan menuju ke tempat yang berbahaya. Tetapi ia sudah siap, dan dengan dada terbuka akan menghadapinya. Sementara itu, di gardu di regol desa, beberapa orang penjaga sedang bercakap-cakap. Untuk mengisi waktu, mereka bercakap-cakap hilir-mudik tidak berketentuan. Dua orang di antara mereka berada di dalam regol sambil duduk di muka perapian memanasi tubuh mereka. Dingin malam menjadi semakin terasa menggigit tulang. Namun di antara mereka itu terdapat seorang yang selalu siap di depan regol, menyandang pedangnya yang telah telanjang. Ia berjalan setapak-setapak menghilangkan kejemuan dan udara dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Meskipun demikian setiap kali ia menyapu keremangan malam di depannya dengan tatapan matanya yang tajam. Tiba-tiba dadanya berdesir. Beberapa langkah di hadapannya sesosok bayangan berjalan mendekatinya. Seakan-akan begitu saja muncul dari dalam gelap. Orang itu menggosok matanya, seolah-olah ia belum percaya kepada penglihatannya. Namun bayangan itu semakin lama menjadi semakin jelas berjalan mendekatinya. Ketika bayangan itu tinggal beberapa langkah saja dari padanya, penjaga itu merundukkan pedangnya sambil bertanya, “Siapa kau, he?” Tidak segera terdengar jawaban. “Berhenti di situ!” penjaga itu mulai curiga. “Siapa kau?” Masih belum terdengar jawaban, sedang bayangan itu masih melangkah maju. Orang-orang yang berada di dalam gardu mendengar sapa itu, sehingga beberapa orang meloncat turun sambil bertanya, “Kau berbicara dengan siapa?” Penjaga itu tidak menjawab, namun orang-orang yang turun dari gardu itu pun segera melihat, bahwa seseorang melangkah mendekati gardu mereka. Karena itu, maka serentak mereka maju. Tangan-tangan mereka telah meraba hulu pedang di lambung masing-masing. “Siapa kau?” pertanyaan itu terdengar kembali membelah sepinya malam. Kini bayangan itu berhenti. Bayangan seorang anak muda yang bertubuh raksasa. “Berapa orang kalian?” bertanya Wrahasta yang kini berdiri sambil bersilang tangan di dada. “Siapa kau? Jawab pertanyaanku!” bentak penjaga itu. Kini orang itulah yang melangkah setapak maju. Ketika jarak kedua orang itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba penjaga itu berdesis, “Kau Wrahasta?” Mendengar desis itu, maka kawan-kawannya pun segera maju pula. Mereka mengenal Wrahasta, sebagai seorang pemimpin pengawal tanah perdikan yang tetap setia kepada Ki Argapati. Karena itu, maka serentak para penjaga itu menarik senjata masing-masing, berdiri berjajar dengan wajah-wajah yang tegang. Namun Wrahasta masih tetap berdiri sambil bersilang tangan. “Hem,” Wrahasta menggeram, “Tanda, Nala, Dipa, dan siapa lagi yang lain? Kemarilah kalian. Kau, kau dan kau? Aku mengenal kalian meskipun nama-nama kalian agaknya aku telah lupa, karena kalian adalah kelinci-kelinci yang tidak patut diingat sama sekali.” Beberapa orang segera mendesak maju. Sejenak mereka terpukau oleh sikap Wrahasta yang begitu tenang dan yakin akan dirinya sendiri. “Apa kerjamu di sini Wrahasta?” bertanya orang yang disebut Nala. “Kau masih bertanya juga?” jawab Wrahasta. “Seharusnya kau sudah tahu, bahwa aku pasti sedang mengemban tugas Kepala Tanah Perdikan Menoreh melihat-lihat pengawalnya yang telah berkhianat.” Nala mengerutkan keningnya. Namun terasa darahnya mengalir semakin cepat. Katanya, “Kau jangan asal membuka mulutmu saja Wrahasta. Kau harus menyadari, dengan siapa kau sekarang berhadapan. Meskipun kau pernah menjadi pemimpinku ketika aku masih ada di dalam pasukanmu, tetapi sekarang kau adalah orang lain. Kau tidak berhak memerintah aku lagi dengan cara apa pun juga.” “Aku memang tidak akan memerintahkan kau untuk berbuat apa pun karena kau seorang pengkhianat,” sahut Wrahasta. “Diam!” bentak Nala, “Aku telah mengenal kau. Kau bukan raksasa yang perlu ditakuti. Apakah yang telah mendorongmu untuk datang seorang diri kemari? Apakah kau sekarang telah mendapat seorang guru baru yang dapat membuat kulitmu kebal?” “Jangan banyak bicara, Nala. Kumpulkan kawan-kawanmu. Aku terpaksa membunuh kalian meskipun kita sudah lama saling mengenal. Ini bukan persoalan kawan atau bukan kawan. Ini adalah persoalan pokok bagi tegaknya Tanah Perdikan Menoreh.” “Wrahasta, ada dua kemungkinan yang terjadi atasmu sekarang. Kau sudah menjadi kebal melampaui Ki Argapati, atau kau sudah menjadi gila. Kalau kau masih waras, kau tidak akan berbuat demikian. Kau melihat kami di sini. Beberapa orang pengawal yang barangkali memang pernah kau kenal, ditambah oleh beberapa orang yang melihat kebenaran perjuangan kami yang berdiri di pihak Sidanti.” Wrahasta tertawa pendek. “Berapa orang seluruhnya.” “Tiga belas orang,” jawab Nala, “kau dengar? Tiga belas orang.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini terpaksa berpikir. Tiga belas orang. Cukup banyak. “Tetapi orang-orangku berjumlah lebih dari tiga belas orang termasuk Gupala dan Gupita,” berkata Wrahasta di dalam hatinya. “Nah, kau dengar jumlah itu,” berkata Nala kemudian. “Apakah kau mempunyai aji-aji Bala Srewu atau Pancasona atau Narantaka?” Tetapi Wrahasta justru tertawa. Jawabnya, “Jangan berbangga karena jumlah kalian yang banyak itu. Sebentar lagi kalian akan segera kami bunuh. Benar-benar menurut arti kata itu, kami bunuh.” “Persetan. Menyerahlah.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Nala telah melangkah maju dengan senjata di tangan. “Kepung raksasa yang sedang bingung ini.” Beberapa orang segera bergerak. Mereka bermaksud mengepung Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak berdiri saja di tempatnya. Ia pun kemudian melangkah beberapa langkah surut. Dengan demikian maka orang-orang yang akan mengepungnya meloncat-loncat semakin cepat dan menebar semakin jauh, sehingga akhirnya mereka menjadi seleret garis lengkung yang sedang memburu Wrahasta yang melangkah surut. Gupita menarik nafas dalam-dalam menyaksikan hal itu. Semakin jauh mereka dari gardu, maka tugas para pengawal itu pun menjadi semakin sulit, karena sebagian dari para penjaga itu masih tetap berada di depan regol. “Hati-hati,” teriak Nala kemudian, “aku belum mengatakan kemungkinan ketiga. Justru kemungkinan yang paling dekat. Wrahasta tidak saja menjadi kebal atau gila, tetapi ia dapat membawa sepasukan pengawal yang dungu bersamanya.” Mendengar kata-kata Nala itu Wrahasta menjadi berdebar-debar. Sedang para penjaga itu kini telah benar-benar melingkarinya. Karena itu, seperti pesannya kepada para pengawal, begitu ia memberikan isyarat, mereka harus segera menyergap. Dan Wrahasta yang sudah hampir terkepung rapat itu merasa, bahwa waktunya telah tiba. Dengan demikian maka tiba-tiba saja terdengar suaranya menggeletar, “Sekarang. Hancurkan seisi regol ini.” Suara itu segera disambut oleh Nala, “Benar kataku. Hati-hati. Mereka akan segera muncul dari persembunyian.” Para pengawal yang memang sudah siap itu pun segera berloncatan dari balik pohon-pohon jarak dan batang-batang jagung, langsung menyerang para peronda itu, yang telah siap menyongsong mereka. Kali ini para pegawal benar-benar harus bertempur. Mereka tidak hanya sekedar menghunjamkan senjata-senjata mereka ke dada orang-orang yang sedang tidur. “Gila kau, Wrahasta,” geram Nala. Terdengar suara tertawa Wrahasta. Kemudian jawabnya, “Sudah aku katakan, aku akan membunuh kalian satu demi satu.” Pertempuran pun segera berkobar. Setiap orang mendapat lawan masing-masing. Namun ternyata bahwa jumlah orang-orang yang dibawa oleh Wrahasta, termasuk para petugas sandi, masih lebih banyak dari tiga belas orang yang berada di regol itu. Apalagi yang datang bersama Wrahasta terdapat Gupita dan Gupala. Meskipun Gupita masih tetap berusaha mengekang dirinya, namun Gupalalah yang seakan-akan mendapat sejumlah permainan yang menyenangkan. Karena itu, maka seperti orang yang sedang menari ia berloncatan mempermainkan pedangnya. Dan adegan-adegan maut dari tarian anak muda yang gemuk itu benar-benar telah mencemaskan lawan-lawannya. Para penjaga regol itu segera merasa, bahwa mereka tidak akan dapat melawan kekuatan Wrahasta bersama kawan-kawannya. Karena itu salah seorang dari mereka, segera merayap di dalam kegelapan, mendekati tanda bahaya yang tergantung di emper regolnya. Dengan tangan gemetar diraihnya pemukul kentongan yang berada di sudut regol. Wrahasta yang melihat orang itu menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan serta-merta ia berteriak, “ He, orang itu. Orang itu.” Tetapi jarak mereka tidak cukup dekat dengan kentongan itu. Dalam keremangan api perapian yang masih menyala di dalam regol, tampaklah orang itu telah berhasil menggenggam pemukul kentongan dan dengan serta-merta meloncat siap untuk membunyikan tanda. “Tahan orang itu!” terak Wrahasta. Tidak akan ada seorang pun yang mampu meloncat sejauh itu. Sehingga dengan demikian tidak akan ada seorang pun yang dapat menghalanginya mengangkat tangannya untuk mengayunkan pemukul itu. Namun tiba-tiba orang itu menyeringai kesakitan. Pemukul itu terlepas dari tangannya ketika terasa sesuatu menyengat lengan dan sekejap kemudian pergelangan tangannya. Belum lagi ia mengerti apa yang terjadi, maka terasa tengkuknya telah dikenai oleh sebongkah batu, sehingga ia terhuyung-huyung beberapa langkah dan jatuh tertelungkup. Sejenak kemudian matanya menjadi semakin gelap, sehingga akhirnya ia pun jatuh pingsan. Ternyata Gupita yang menjadi cemas pula melihat orang yang hampir berhasil membunyikan tanda bahaya itu bertindak cepat. Diraihnya beberapa butir batu. Dengan kecakapannya membidik yang luar biasa ia berhasil menggagalkan usaha orang itu untuk menyentuh kentongannya. Melihat kawannya jatuh terjerembab, Nala menggeram. Tiba-tiba saja pedangnya telah terayun ke arah lambung Wrahasta. Namun raksasa itu cukup cepat menghindar, sehingga ujung senjata itu tidak menyentuhnya. Dalam pada itu perkelahian pun berkobar terus semakin lama semakin dahsyat. Para penjaga yang kemudian seakan-akan menjadi berputus asa, telah berkelahi membabi buta. Namun satu-satu mereka jatuh di tanah untuk tidak bangkit lagi, sehingga pada suatu saat orang yang terakhir, Nala, tidak dapat lagi menghindarkan diri dari ujung senjata Wrahasta, disaksikan oleh para pengawal. Nala masih sempat mendengar salah seorang pengawal yang pernah dikenalnya berkata kepadanya, “Hukuman yang pantas bagi seorang pengkhianat.” Nala menggeliat. Dengan nanar ia mencoba menatap para pengawal, bekas kawan-kawannya itu mengerumuninya. Namun kemudian serasa tulang-tulangnya terlepas dari tubuhnya. Matanya pun menjadi gelap, dan sebuah tarikan nafas yang patah telah menandai kematiannya. Wrahasta berdiri dekat di samping tubuh Nala yang terbujur di tanah. Ia masih sempat tertawa sambil menimang-nimang pedangnya. Namun suara tertawanya itu terputus ketika seorang pengawal mengangkat sesosok tubuh dan meletakkannya di muka Wrahasta. “He, kenapa dia?” “Ia terbunuh dalam pertempuran ini.” Wrahasta mengerutkan keningnya, “Jadi, ada juga yang mati di antara kita?” Pengawal itu mengangguk. “Gila, siapa yang membunuh?” “Salah satu dari mayat-mayat yang bergelimpangan ini.” “Gila. Sungguh-sungguh gila. Beberapa gardu sudah kita lampaui tanpa korban seorang pun. Tetapi di sini kami kehilangan seorang kawan.” “Dan tiga orang telah terluka.” Wrahasta seakan-akan membeku di tempatnya. Tangannya menggenggam pedangnya erat-erat. Terdengar giginya gemeretak dan wajahnya menjadi semerah soga. “Kita berjumlah lebih banyak. Sepuluh orang, ditambah dengan para petugas sandi, aku sendiri dan dua gembala itu. Kenapa kita harus menyerahkan korban di dalam tugas ini?” geram Wrahasta. Tidak seorang pun merasa wajib untuk menjawab. Karena itu maka para pengawal itu pun terdiam. “Kita harus menukar nyawa ini dengan sepuluh nyawa lawan.” Para pengawal itu masih belum juga menjawab. Namun di dalam kesepian yang mencekam terdengar suara Gupala, “Lebih dari sepuluh.” Wrahasta berpaling ke arah suara itu, dan ia melihat anak yang gemuk itu berdiri sambil meraba-aba perutnya, “Berapa orang yang telah kita bunuh bersama-sama? Lebih dari sepuluh, dan kita masih harus membunuh pula. Kita akan merayap ke gardu-gardu yang lain di dalam desa ini yang tentu akan di jaga oleh orang-orang Ki Tambak Wedi seperti gardu ini. Dan kita harus membinasakan mereka pula, apabila kita tidak ingin diketahui oleh lawan sebelum kita memasuki padukuhan induk itu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, lebih dari sepuluh.” “Tetapi akan lebih baik kalau kita tidak kehilangan seorang pun.” Kemudian terdengar suara Gupita, “Setidak-tidaknya kita jangan menambah korban lagi, setelah kami kehilangan seorang kawan dan beberapa orang yang lain terluka. Kecuali korban itu menjadi terasa terlampau mahal, kita juga kehilangan sejumlah tenaga dalam pertempuran-pertempuran yang mendatang apabila kita menyelesaikan para penjaga di gardu-gardu.” “Tentu. Kita tidak akan menjadi gila dengan menyerahkan korban-korban dengan sengaja. Apa yang terjadi adalah di luar kemampuan kita. Tidak seorang pun dapat disalahkan,” jawab Wrahasta. “Benar. Namun kita harus berusaha. Kita harus mengurangi hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Kita harus menghemat tenaga.” “Aku tidak mengerti maksudmu.” “Kita tidak perlu bersikap sebagai seorang pahlawan. Kita akan kehilangan waktu. Lebih baik kita mempergunakan cara yang terdahulu. Terbukti dengan demikian kita tidak kehilangan apa pun. Meskipun keadaan kita sekarang sudah berbeda. Kita menjadi semakin sedikit, sedang lawan yang kita hadapi akan menjadi semakin banyak. Aku yakin bahwa gardu-gardu di padesan ini, padesan yang menghadap ke padukuhan induk, akan mendapat penjagaan yang semakin kuat. Gardu yang berada di ujung lain dari lorong ini pasti berisi lebih dari tiga belas orang.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia menyadari kesalahannya, bahwa ia telah terdorong oleh suatu kebanggaan yang tidak dapat dikendalikannya. Tetapi semuanya sudah terlanjur, sehingga karena itu ia bertanya, “Lalu, bagaimana sebaiknya?” “Kita berjalan terus. Tetapi kita harus menjadi lebih berhati-hati. Kita akan mempergunakan cara-cara yang paling aman, dengan mengendapkan perasaan yang meledak-ledak.” Wrahasta tidak segera menjawab. “Kita akan mendekati setiap gardu dengan diam-diam.” “Kemudian berkelahi melawan orang-orang yang sedang tidur,” sahut Gupala. Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Memang kita tidak perlu membunuhnya. Kita dapat membuat mereka pingsan. Mereka tidak akan banyak berarti lagi. Sebentar lagi kita sudah akan berada di dalam gelar, dan bertempur beradu dada. Seandainya mereka kemudian sadar, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.” “Bodoh. Terlalu bodoh,” bantah Wrahasta. “Aku sependapat dengan kau tentang cara yang akan kita pakai untuk membungkam setiap gardu di depan kita. Tetapi tidak begitu cengeng seperti yang kau maksudkan.” Gupita tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia mendengar Gupala berbisik di telinganya, “Kau memang aneh, Kakang.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tidak hanya satu-dua kali adik seperguruannya itu membisikkan kalimat-kalimat itu. “Baiklah, kita akan maju lagi. Semua orang ikut bersama kami. Setelah tugas kami di dalam padesan ini selesai, barulah kita akan memberi laporan terakhir kepada pasukan induk.” Setelah meletakkan mayat seorang kawannya di dalam gardu, maka pasukan kecil itu berjalan lagi. Tiga orang yang terluka telah mendapat pertolongan sementara. Tetapi ternyata bahwa luka itu tidak terlampau berat, sehingga mereka masih mungkin untuk bertempur. Demikianlah ketika mereka mendekati gardu kedua di dalam padesan itu, mereka tidak lagi membiarkan Wrahasta tenggelam di dalam arus kebanggaannya yang berlebih-lebihan. Kelompok itu pun kemudian merayap dengan hati-hati mendekat. Seorang petugas sandi harus berusaha mengetahui dan mencoba untuk menilai kekuatan lawan. “Paling sedikit mereka berjumlah lima belas orang,” seorang petugas sandi menyampaikan hasil pengamatannya kepada Wrahasta. Wrahasta mengerutkan keningnya. Jumlah mereka kini sudah berkurang pula karena sudah ada beberapa orang yang terluka. “Tetapi tugas ini harus kita laksanakan,” geramnya. “Kita harus menyergap dengan tiba-tiba,” desis Gupala, “Kali ini kita tidak boleh bermain-main.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya, “Marilah, kita mendekat.” Dengan sangat hati-hati kelompok itu pun maju mendekat. Sebagian dari para penjaga itu justru berada di luar regol. Mereka duduk-duduk di atas batu yang berserakan di tikungan jalan. “Jangan beri kesempatan mereka mencabut senjata mereka,” desis Wrahasta. Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini keningnya pun telah mulai berkerut-merut. Ia tidak akan dapat terlampau banyak berpikir lagi untuk menghindari kemungkinan, bahwa senjatanya pun akan terhunjam di dada lawan. Apalagi kini ternyata bahwa jumlah lawan agak lebih banyak, meskipun tidak berselisih terlalu jauh. Sejenak kemudian Wrahasta diam dalam ketegangan. Seakan-akan memberi kesempatan kepada orang-orangnya untuk membuat ancang-ancang. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia mengangkat tangannya perlahan-lahan. Setiap orang di dalam kelompok kecil itu memperhatikan tangan itu dengan seksama. Apabila tangan itu kemudian tegak, maka setiap orang segera mempersiapkan dirinya. Wrahasta tidak menunggu lebih lama lagi. Sebelum salah seorang penjaga di gardu itu melihat tangannya, maka tangannya tiba-tiba telah diayunkannya. Demikian tangan itu bergerak, maka seperti digerakkan oleh satu tenaga gaib, orang-orang di dalam kelompok kecil itu meloncat dari persembunyian mereka. Satu-dua orang yang tidak dapat menahan ketegangan di dalam dadanya, tanpa disadari telah menggeram sambil menghentakkan dirinya. Orang-orang yang sedang duduk di tikungan, yang sedang berada di dalam gardu dan yang sedang berjalan hilir-mudik di muka regol, terkejut bukan kepalang. Namun mereka adalah orang-orang yang terlatih seperti para pengawal itu. Bahkan ada di antara mereka yang dahulu memang seorang pengawal, ditambah dengan orang-orang yang cukup berpengalaman dalam petualangan bersenjata. Karena itu, maka dengan gerak naluriah, mereka pun berloncatan sambil mencabut senjata-senjata mereka. Hanya Gupala dan Gupita sajalah yang sempat mencapai lawannya sebelum lawannya menarik senjata mereka. Gupala dengan serta-merta telah membelah dada lawannya, sedang pedang Gupita melukai pundak kanan. Orang itu terdorong surut, namun kemudian sebuah pukulan mengenai punggungnya. Meskipun ia menyadari bahwa lawannya hanya bersenjata pedang, namun ia tidak merasa punggungnya menganga karenanya. Ternyata Gupita telah memukul punggung orang yang terluka itu dengan punggung pedangnya. Ia melihat lawannya itu terhuyung-huyung, kemudian jatuh terjerembab. Sejenak orang itu mencoba merangkak, namun kemudian perasaan sakit yang tidak tertahankan lagi telah menjalari tulang-tulangnya. Bintang di langit yang bertaburan itu serasa menjadi berputaran. Dan sesaat kemudian maka ia pun terjatuh kembali. Pingsan. Barulah sekejap kemudian kawan-kawannya menyusul. Mereka menyerbu seperti badai melanda tebing. Tetapi lawan-lawan mereka pun bukan sebuah patung kayu. Untuk mendapat kesempatan mencabut senjata, mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Kemudian dengan senjata di tangan, mereka menyongsong lawan-lawan mereka. Sejenak kemudian terjadilah pertempuran yang seru. Gupala dan Gupita segera menempatkan diri mereka di sekitar gardu, agar tidak seorang pun dari lawan yang sempat memukul tanda bahaya. Pemimpin penjaga itu marah bukan buatan. Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah mengejutkan mereka. Dua orang di antara mereka telah jatuh tanpa perlawanan sama sekali. Karena itu, maka yang masih hidup merasa wajib untuk menuntut balas. Dengan demikian, maka tandang mereka pun menjadi garang. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka menjadi buas dan liar. Ternyata pekerjaan kelompok kecil itu kini terasa terlampau berat. Mereka tidak sekedar menusuk perut dan lambung orang yang sedang tidur dan setengah tidur. Kini mereka harus bertempur, melawan orang-orang yang cukup kuat dan tangguh. Bahkan dalam pertempuran yang singkat, segera tampak, bahwa ada beberapa orang pengawal yang mengalami kesulitan melawan orang-orang yang menjadi buas dan kasar. Gupita dan Gupala segera melihat kesulitan yang dialami oleh pasukan kecil itu. Di dalam hati Gupala bersyukur, bahwa pasukan ini tidak lagi datang dengan cara yang baru saja mereka pergunakan. Jika demikan, maka perlawanan ini akan menjadi terlampau berat bagi Wrahasta dan pasukannya. Kini tidak ada pilihan lain bagi keduanya untuk bertempur dengan sepenuh tenaga. Mereka harus mengurangi lawan secepat-cepat dapat mereka lakukan. Jika mereka terlambat, maka korban akan berjatuhan di pihaknya. Dengan demikian, maka mereka tidak dapat lagi menempatkan diri mereka seperti para pengawal yang lain. Mereka harus berbuat sejauh-jauh dapat mereka lakukan, meskipun dalam ungkapan terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Gupala dengan garangnya kemudian memutar pedangnya. Setiap sentuhan dengan pedangnya itu, berarti bahwa lawannya telah kehilangan senjatanya. Akibat berikutnya tidak akan dapat mereka hindari lagi. Pedang Gupala segera menembus dada. Di bagian lain dari pertempuran itu, Gupita telah melumpuhkan lawan-lawannya. Tidak dapat lagi ia menghindari kemungkinan yang paling parah bagi lawannya apabila pedangnya terpaksa menyentuh leher dan dada. Pertempuran kali ini telah benar-benar menitikkan keringat dan darah. Dengan nafas terengah-engah Wrahasta berhasil menyelesaikan lawannya. Kemudian ia melihat orang terakhir yang mencoba melarikan dirinya telah terbunuh oleh Gupala. Namun ia tidak dapat menahan kemarahan yang meluap-luap sehingga terdengar giginya gemeretak. Setelah pertempuran itu selesai, maka segera Wrahasta mengetahui, bahwa tiga orang kawannya telah terbunuh. “Gila. Benar-benar gila. Tiga orang lagi telah terbunuh, sehingga korban dari tugas ini menjadi terlampau banyak. Empat orang mati dan sejumlah yang lain luka-luka.” “Dan kita masih belum selesai,” desis Gupala. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Kedua anak-anak muda itulah yang sebenarnya telah mengambil peranan. Bukan dirinya. Tanpa kedua anak-anak muda yang mengaku diri mereka gembala itu, Wrahasta tidak dapat menyebutkan, apa yang telah terjadi dengan pasukan kecilnya ini. “Jadi,” kini Wrahastalah yang bertanya, “apakah kita akan melanjutkan tugas ini?” Gupita terdiam sejenak. Dipandanginya setiap orang di dalam kelompok itu. Tiga orang lagi kini terbujur diam, sedang beberapa orang yang lain telah terluka. Bahkan ada yang tidak akan mampu lagi bertempur sewajarnya. “Tinggal tujuh orang yang masih utuh,” desis Gupita di dalam hatinya. Gupala yang berdiri beberapa langkah daripadanya pun menjadi ragu-ragu pula. Meskipun anak muda itu jarang sekali membuat pertimbangan-pertimbangan, tetapi kali ini ia melihat suatu kenyataan bahwa pasukan kecil ini sudah tidak memiliki kemampuan seperti yang diharapkan. “Tetapi tanpa perambas jalan, maka korban di induk pasukan akan berlipat-lipat,” desis Gupala di dalam hatinya. Sejenak kemudian Gupita menarik nafas. Katanya, “Terserah pertimbanganmu Wrahasta. Kekuatan kita tinggal tujuh orang. Beberapa orang yang terluka masih mungkin untuk sekedar membantu. Tetapi bagi mereka yang hampir tidak lagi mampu menggerakkan tangannya, sudah tentu, sebaiknya mereka tidak ikut bertempur, supaya mereka tidak menjadi korban di gardu berikutnya.” Wrahasta memandang anak buahnya dengan tajamnya. Kemudian dengan nada berat ia bertanya, “Nah, bagaimana pendapat kalian. Kalau kita meneruskan tugas ini, kalian harus menyadari bahwa sebagian dari kita tidak akan keluar lagi dari pertempuran itu. Kita tidak tahu siapakah yang akan menjadi korban berikutnya. Namun setiap kalian masing-masing mendapat kemungkinan yang sama.” Tidak seorang pun yang menjawab. “Kita sebaiknya melanjutkan tugas ini,” desis Gupala. Wrahasta mengangguk. “Ya, itu adalah tindakan yang paling tepat. Siapa yang menyadari kemungkinan akan dirinya, ikut aku. Aku akan berjalan terus. Siapa yang berkeberatan, lebih baik kembali bersama induk pasukan.” Orang-orang itu masih mematung. “Nah, siapakah yang berkeberatan?” Tidak seorang pun yang menjawab. “Terima kasih,” geram Wrahasta, “semua akan pergi bersamaku. Meskipun demikian, mereka yang terluka aku persilahkan menghubungi pasukan induk. Sampaikan kepada Ki Samekta semua kemungkinan. Kalau kami gagal di gardu terakhir, mereka harus segera maju secepat-cepatnya. Kalau kami tidak berhasil membinasakan orang-orang di dalam gardu itu, maka tanda bahaya akan segera berbunyi. Dengan demikian berarti, bahwa pasukan Ki Tambak Wedi masih mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan diri, meskipun kesempatan itu teramat pendek, karena pasukan induk kini pasti sudah menjadi semakin dekat pula. Tetapi agaknya akan lebih baik, apabila mereka sama sekali tidak menyadari bahwa pasukan Menoreh telah berada di dalam lingkungan mereka.” Meskipun demikian di antara yang terluka itu ada yang menjawab, “Aku akan ikut bertempur.” Wrahasta menarik nafas. Jawabnya, “Terima kasih. Tetapi yang cukup parah, aku terpaksa melarang. Kalian harus kembali ke induk pasukan. Kalian harus memberitahukan bahwa mereka harus maju lebih cepat untuk menjaga segala kemungkinan.” Mereka yang memang sudah tidak mungkin lagi untuk maju, menganggukkan kepala mereka. Meskipun mereka telah terluka, tetapi mereka memang tidak seharusnya membunuh diri. Karena itu, maka setelah mendapat perawatan sementara, mereka pun segera mundur ke induk pasukan. Kini tujuh orang yang masih utuh dan dua orang yang telah terluka ringan, meneruskan perjalanan mereka. Masih ada sebuah gardu lagi sebelum mereka sampai ke bulak pendek di seberang padesan itu. Di bulak pendek itulah nanti, pasukan Menoreh akan memasang gelar untuk memasuki padukuhan induk. Dan gelar itu pun akan segera berubah bentuknya, apabila pasukan Ki Tambak Wedi tidak menyongsong mereka di luar padukuhan. Dengan sangat hati-hati, mereka merayap mendekati gardu terakhir. Mereka sudah menduga bahwa gardu ini pun pasti dijaga dengan baik oleh orang-orang Ki Tambak Wedi. Dugaan mereka ternyata tidak meleset. Seorang petugas di antara mereka yang berhasil mendekat melaporkan kepada Wrahasta. “Mereka kira-kira berjumlah dua belas atau tiga belas orang.” Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Orangnya kini tinggal berjumlah sembilan orang, termasuk dirinya sendiri. Dengan penuh kebimbangan Wrahasta memandang Gupita dan Gupala berganti-ganti. Sejenak kemudian ia bertanya, “Bagaimanakah pertimbangan kalian?” Yang menjawab adalah Gupala, “Kita sudah berada di muka hidung mereka. Kenapa kau masih ragu-ragu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Gupala sejenak. Kemudian beralih kepada Gupita. “Baiklah kita selesaikan tugas kita,” desis Gupita pula. “Kita harus berjuang mati-matian. Mungkin di dalam gardu itu masih ada satu dua orang yang lepas dari pengamatan. Itu pun harus kita perhitungkan, sehingga sedikitnya setiap orang dari kita harus menghadapi dua orang sekaligus. Karena itu kita harus lebih berhati-hati. Kita akan merayap sedekat mungkin sehingga kita akan dapat menerkam mereka dengan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan sama sekali.” Wrahasta menganggukkan kepalanya. Demikianlah maka kesembilan orang itu segera merayap. Kini mereka memencar menjadi tiga kelompok. Sekelompok dipimpin langsung oleh Wrahasta, sekelompok Gupita, dan sekelompok yang lain dipimpin oleh Gupala. Kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari masing-masing tiga orang itu merayap semakin dekat. Mereka memilih arah yang berbeda untuk membangkitkan kebingungan di pihak lawan yang jumlahnya agak lebih banyak. Wrahasta dan Gupala harus mendahului menyerang, sedang dalam kegugupan, Gupita akan memanfaatkan keadaan masing-masing bersama kedua kawan-kawan mereka di setiap kelompok kecil itu. Semakin dekat kelompok-kelompok kecil itu ke depan para penjaga, dada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tugas ini adalah tugas yang sangat berat bagi mereka. Beberapa langkah di hadapan gardu itu, Wrahasta dan kelompok-kelompok yang lain pun berhenti. Mereka bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar dan tanaman-tanaman di sawah. Gupita yang menyusur dinding batu segera membawa kedua kawannya meloncat masuk. Kini para pengawal itu dapat melihat para penjaga yang duduk dengan tenangnya di dalam dan di sisi gardu. Mereka tidak terkantuk-kantuk, tidak bergurau dan berbantah. Tetapi terasa bahwa orang-orang di dalam gardu itu sedang merenungi masing-masing dengan penuh tanggung jawab. Setiap orang yang berada di dalam kelompok-kelompok kecil itu menjadi berdebar-debar. Tugas mereka benar-benar berat. Mereka harus berhadapan dengan sepasukan penjaga yang tangguh. Bahkan jumlahnya pun agak lebih banyak dari sembilan orang, sedang yang dua di antaranya telah terluka meskipun tidak terlampau parah. Wrahasta mencoba mengatur pernafasannya. Dipandanginya arah Gupala bersembunyi bersama kedua kawannya, kemudian ditatapnya mulut lorong itu tajam-tajam. Sejenak kemudian Wrahasta itu menyiapkan dirinya. Diberinya kedua kawan-kawannya itu isyarat, agar mereka siap untuk meloncat. Dan sejenak kemudian terdengar suara raksasa itu membelah langit. “Sekarang. Binasakan mereka.” Setiap orang di dalam gardu itu terkejut. Dengan gerak naluriah mereka berloncatan menghadapi ketiga orang yang tiba-tiba saja telah menyerang mereka. Tetapi Wrahasta kini sama sekali tidak berkesempatan untuk menusukkan senjatanya begitu saja. Seorang penjaga yang sedang bertugas benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu ketika dilihatnya ketiga orang yang berloncatan itu, tombaknya segera merunduk dan menyongsongnya. Wrahasta segera menyerang orang yang bersenjata tombak itu dengan garangnya, sedang kedua orang kawannya yang lain dengan serta-merta menyerbu orang itu pula. Kesempatan yang hanya sekejap itu ternyata dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya. Sebelum para penjaga yang lain sempat mencapai penjaga yang sedang bertugas itu, Wrahasta dengan kedua kawan-kawannya telah berhasil menembus lambungnya dengan pedang. Para penjaga yang lain pun berteriak marah sekali. Dengan penuh kemarahan mereka berlari menyerang Wrahasta dengan kedua kawannya. Tetapi tanpa mereka duga-duga, Gupala meloncat seperti tatit menyerang salah seorang dari mereka. Begitu tiba-tiba, sehingga kedua kawannya yang meloncat bersamanya tertinggal beberapa langkah. Beberapa orang tertegun melihat kedatangan ketiga orang dari arah yang lain ini. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Agaknya dalam keadaan yang gawat, Gupala tidak lagi menggenggam pedang di tangan kanannya. Seperti yang dikatakannya, pedang itu dipegangnya dengan tangan kiri, dan tangan kanannya memegang senjata ciri perguruannya. Sebuah cambuk panjang. “Orang-orang di seberang bulak itu tidak akan mendengar suara cambuk ini asal aku tidak meledakkannya dengan sepenuh kekuatan tanpa sasaran,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Apabila ujung-ujung cambuk ini menyentuh seseorang, maka suaranya tidak akan mengganggu.” Dan ternyata serangan cambuk Gupala itu telah mengejutkan lawannya. Dengan gerakan sendal pancing, maka pada serangan pertama Gupala telah berhasil melemparkan seorang lawan. Namun kali ini anak yang gemuk itu tidak sempat memperhatikannya, apakah lawannya itu dengan demikian telah terbunuh. Dengan segera Gupala telah menyerang orang kedua yang dengan susah payah mencoba menghindarinya. Namun bagaimanapun juga punggungnya serasa disengat oleh puluhan lebah. Terdengar ia berdesis menahan sakit. Namun dengan demikian, matanya segera menjadi merah karena kemarahan yang tidak ada taranya. Dalam kekisruhan itulah Gupita hadir bersama kedua kawan-kawannya justru dari dalam regol, sehingga untuk sejenak, para penjaga regol itu menjadi bingung. Namun karena pengalaman mereka, maka mereka pun segera berhasil memperbaiki keadaan mereka dan mengatur diri dalam perlawanan yang teratur. Meskipun di saat-saat permulaan itu, beberapa orang telah terbunuh, namun ternyata jumlah mereka masih lebih banyak dari jumlah pasukan kecil yang tinggal sembilan orang itu. Namun ternyata bahwa senjata Gupala yang lentur dan agak panjang itu, sangat membantunya untuk menghadapi dua tiga orang sekaligus, meskipun setiap sentuhan senjata itu akibatnya agak berbeda dengan akibat sentuhan ujung pedang. Tetapi dengan demikian, maka senjata itu segera dapat mengurangi kemampuan lawan. Gupita agaknya sependapat pula dengan adik seperguruannya. Maka setelah mengambil ancang-ancang sejenak, ia pun segera mengurai senjatanya yang dibelitkannya di lambung, di bawah bajunya. Dengan demikian, maka sepasang cambuk panjang itu telah sangat membingungkan lawan-lawannya. Tanpa mereka sangka-sangka, tiba-tiba saja leher mereka telah disengat oleh ujung cambuk yang mampu menyayat kulit. Sejenak kemudian, maka perkelahian itu menjadi semakin seru dan kasar. Dengan pedangnya Wrahasta mengamuk seperti harimau luka. Kawan-kawannya pun berusaha sekuat-kuat tenaga untuk melawan jumlah yang lebih banyak itu. Namun agaknya Gupita dan Gupala-lah yang sangat menarik perhatian lawan-lawan mereka, sehingga dengan demikan maka sebagian dari mereka telah berkerumun di sekitar kedua anak-anak muda itu untuk menahan agar keduanya tidak menimbulkan korban yang semakin banyak. Untuk menghadapi mereka, Gupita dan Gupala tidak lagi sempat bermain-main. Kini mereka bertempur, sebenarnya bertempur. Namun keduanya memang memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Meskipun tiga orang melawannya sekaligus, namun kedua anak-anak muda itu tdak terlampau banyak mengalami kesulitan. Dengan mengerahkan kemampuan mereka, maka mereka segera berhasil mengatasi lawan-lawannya. Yang harus mereka lakukan adalah segera membinasakan lawan. Secepat-cepatnya supaya mereka masih mempunyai waktu untuk menolong kawan-kawannya. Demikianlah maka pertempuran kecil itu segera mencapai puncaknya. Adalah menguntungkan sekali bahwa para penjaga itu telah memusatkan perhatian mereka kepada Gupita dan Gupala. Dengan demikian maka kawan-kawannya yang lain mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan seorang dengan seorang. Meskipun demikian ternyata bahwa penjaga itu bukan orang-orang yang dapat dengan mudah mereka kuasai. Bahkan ada di antara mereka yang segera dapat mendesak para pengawal. Lawan Wrahasta pun ternyata bukan seorang yang dapat diremehkan. Raksasa itu terpaksa memeras segenap kemampuannya untuk melawan. Meskipun mereka teah bertempur beberapa lama, namun belum ada tanda-tanda bahwa Wrahasta segera dapat menguasainya. Yang sealu mendapat perhatian dari para pengawal, bagaimanapun juga mereka dalam kesibukan mempertahankan diri, adalah kemungkinan para penjaga itu membunyikan tanda-tanda. Karena itu maka para pengawal termasuk Gupita dan Gupala selalu berusaha, agar tidak seorang pun yang berkesempatan menyentuh kentongan atau tanda-tanda yang lain. Ternyata Gupita dan Gupala memang anak-anak muda yang pilih tanding. Sejenak kemudian lawan-lawan mereka sama sekali sudah tidak berdaya. Ketika ujung cambuk Gupala menyambar leher seorang lawan, maka dengan sekuat tenaga cambuk itu dihentakkannya, sehingga orang itu terdorong ke depan. Belum lagi ia dapat menguasai keseimbangannya, maka pedang di tangan kiri Gupala telah membenam di perutnya. Ketika Gupala menarik pedangnya, maka orang itu pun segera terjerambab. Mati. Kawan-kawan orang yang mati itu tertegun sejenak. Mereka benar-benar menjadi ngeri melihat ujung cambuk Gupala yang seolah-olah mempunyai mata. Meskipun di antara mereka terdapat orang-orang liar, namun mereka belum pernah melihat seseorang yang mampu berkelahi dengan cara itu. Di bagian lain, Gupita pun segera menguasai lawan-lawannya. Setiap kali salah seorang lawannya terlempar dari gelanggang sambil menyeringai kesakitan. Dan setiap mereka berusaha untuk bangkit dan mendekat, maka ujung cambuk itu pun telah menyengatnya pula. Ternyata ujung-ujung cambuk itu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Ketika Gupita menghentakkan cambuknya, terasa cambuk itu seperti remasan besi pada lengan seorang lawannya. Tanpa dapat bertahan lagi, maka tangan itu menjadi lumpuh dan senjata di dalam genggamannya pun kemudian terjatuh di tanah. Ketika cambuk itu disentakkan, maka seakan-akan tangan itu telah ditarik oleh kekuatan yang tidak terlawan, sehingga orang itu terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Sebuah batu yang menyentuh bagian belakang kepalanya telah membuatnya terpejam untuk waktu yang tidak dapat diperhitungkan. Demikianlah kedua anak-anak muda itu telah berhasil menjatuhkan lawannya seorang demi seorang. Dengan demikian, ketika lawan-lawan mereka telah habis, mereka pun segera berusaha membantu kawan-kawannya yang masih bertempur dengan gigihnya. Meskipun tugas kelompok kecil itu menjadi semakin berat di dalam pertempuran di gardu terakhir ini, namun karena Gupita dan Gupala telah mempergunakan hampir segenap kekuatannya, maka tugas mereka terasa agak lebih cepat selesai. Para penjaga itu seorang demi seorang berjatuhan di tanah. Dan tidak seorang pun di antara mereka yang berhasil untuk bangkit kembali. Meskipun demikian Wrahasta terpaksa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dari sembilan orang yang terakhir itu telah pula jatuh tiga orang gugur, dan hampir semuanya, selain Gupita dan Gupala, terluka. Bahkan Wrahasta sendiri juga terluka di pahanya, ketika tombak lawannya yang mengarah ke dada berhasil disentuh dengan pedangnya. Namun ternyata ujung tombak itu masih juga mengenainya. “Ternyata kita telah menyelesaikan tugas kita dengan korban yang terlampau banyak,” desis Wrahasta. Gupita dan Gupala menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka merenungi ketiga orang yang telah jatuh sebagai banten. “Tetapi pengorbanan mereka tidak akan sia-sia,” Wrahasta meneruskan. “Adalah wajar setiap orang yang memasuki pertempuran mendapat kemungkinan serupa itu. Aku pun juga.” Gupita dan Gupala masih tetap berdiam dri. “Nah, siapakah di antara kalian yang masih sanggup untuk menghubungi pasukan induk?” bertanya Wrahasta. Ia tidak sampai hati untuk memberikan perintah begitu saja kepada orang-orangnya yang telah terluka itu. Dan tiba-tiba saja Gupita menyahut, “Biarlah aku pergi ke induk pasukan.” “Bukan, bukan kau,” jawab Wrahasta dengan serta-merta. “Aku tidak berwenang memerintah kau. Kau adalah orang-orang yang dengan sukarela telah membantu kami.” “Aku akan pergi dengan suka rela pula” Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya Gupita dengan seksama. Pandangannya terhadap anak muda itu kini berubah sama sekali. Namun dengan demikan, maka seakan-akan ia telah kehilangan harapan untuk bersaing dengan salah seorang dari kedua gembala yang penuh dengan teka-teki itu. Bersaing untuk mendapatkan Pandan Wangi. “Apakah keberatanmu kalau aku melakukannya?” bertanya Gupita. “Aku tidak mempunyai keberatan apa pun. Tetapi kau sudah cukup banyak memberikan jasa kepada kami.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kepada Gupala ia berkata, “Kau tetap di sini. Aku akan menghubungi pasukan induk agar mereka mempercepat perjalanan. Pintu sudah terbuka, dan kita akan segera memasang gelar di hadapan hidung Ki Tambak Wedi.” Gupala mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan menunggu di sini.” Gupita pun kemudian meninggalkan kelompok yang sudah menjadi semakin kecil itu menghubungi induk pasukan untuk melaporkan apa yang telah terjadi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan melalui jalan yang baru saja dilewatinya, dengan arah yang berlawanan. Ia ingin segera sampai, dengan demikian pasukan induk itu akan maju semakin cepat. Agaknya malam telah menjadi semakin dalam, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat timbul dengan tiba-tiba. Namun setiap kali Gupita menjadi berdebar-debar. Apalagi apabila ia sedang melalui gardu yang pernah dihancurkannya. Ia masih melihat beberapa sosok mayat yang berserakan. “Korban masih akan berjatuhan,” desisnya, “dan mayat pun akan bertambah-tambah. Besok tanah perdikan ini akan meratap, karena anak-anaknya yang terbaik telah saling membunuh di peperangan.” Tetapi Gupita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa selama manusia masih dikendalikan oleh nafsunya, maka benturan kepentingan di antara mereka pasti masih akan terjadi. Betapa pendeknya nalar manusia. Apabila mereka menemui kesulitan untuk mencari jalan penyelesaian, maka keunggulan jasmaniah akan menjadi ukuran untuk menentukan kebenaran. Yang menang akan menjadi kebanggaan, dan yang kalah menjadi pangewan-ewan. Hal itu dapat terjadi timbal-balik tanpa menghiraukan tuntutan nurani kemanusiaan. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang di wajahnya dua orang yang kini sedang beradu kepentingan. Kalau Argapati menang, maka ia adalah pahlawan yang telah menyelamatkan Tanah Perdikan ini, namun apabila Ki Tambak Wedi menang, maka pengikutnya akan meneriakkan kidung kemenangannya itu sebagai seorang yang telah membebaskan Tanah Perdikan ini dan membawa udara pembaharuan. “Tetapi betapa dalamnya, namun di dasar hati mereka pasti terpercik kebenaran yang diakui oleh peradaban manusia masa kini,” berkata Gupita di dalam hatinya. “Mereka akan berbicara tentang hak dan tentang keadilan.” Gupita mengerutkan lehernya ketika terasa angin malam yang dingin menyapu kulitnya. Kemudian langkahnya pun menjadi semakin cepat. Sementara itu, Gupala, Wrahasta, dan kawan-kawannya yang masih hidup meskipun terluka, duduk di bibir gardu sekedar melepaskan ketegangan hati. Namun dalam pada itu, Gupala pun kemudian merebahkan dirinya sambil bergumam, “Kalau aku tertidur, jangan tinggalkan aku di sini.” Wrahasta menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan main orang ini,” berkata Wrahasta di dalam hatinya. “Perang yang telah membayang di pelupuk, bagi anak yang gemuk itu, seolah-olah hanya sekedar permainan kejar-kejaran saja.” Tetapi Wrahasta tidak mengatakannya. Dibiarkan saja Gupala terbaring diam. Sejenak kemudian nafasnya pun menjadi teratur. Dan matanya pun segera terpejam. Tetapi telinga Gupala memang telinga yang luar biasa. Meskipun ia tertidur tetapi ia pun segera terbangun ketika ia mendengar derap suara kaki-kaki kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat. Dua ekor kuda. Dengan sigapnya Gupala meloncat turun justru mendahului mereka yang tidak tertidur. Dengan berdiri tegang ia memandang ke dalam kelamnya malam. Sambil menunjuk ia berdesis, “Kuda itu datang dari sana. Dari padukuhan induk.” Wrahasta dan kawan-kawannya yang kemudian menyusul turun dari gardu menjadi tegang pula. “Ya. Suara itu datang dari sana.” Sementara itu dua orang sedang berpacu di atas punggung kuda. Namun dinginnya malam agaknya telah membuat mereka tidak begitu bernafsu untuk berpacu lebih cepat lagi. “Barangkali Sidanti sedang diganggu oleh mimpi buruk,” desis yang seorang. Yang lain tertawa. Katanya, “Apa salahnya kita berhati-hati. Ada dua kemungkinan, Sidanti bermimpi buruk karena ketegangan yang mencengkam kepalanya, atau telinga kita memang sudah terganggu.” “Kalau terjadi sesuatu, mereka pasti akan memberikan tanda apa pun.” “Kecuali kalau mereka sudah berhasil menyelesaikan masalah itu sendiri.” “Sebenarnya kita tidak perlu pergi. Malam dinginnya bukan main. Lebih baik tidur melingkar di gardu.” “Tetapi telinga Sidanti yang sedang nganglang di pinggir padukuhan induk itu agaknya memang mendengar ledakan cambuk.” Kawannya tertawa dan berkata, “Sekali lagi aku menganggapnya, Sidanti diganggu oleh mimpi buruk.” Keduanya kemudian terdiam. Kuda-kuda mereka masih berlari terus menuju ke desa yang semakin dekat, seolah-olah muncul dari dalam kabut yang hitam. “Sepi,” desis yang seorang. “Tetapi di gardu itu terdapat orang-orang yang cukup matang. Mereka tidak akan tertidur.” Kawannya tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk. Ketika mereka telah menjadi semakin dekat, timbullah kecurigaan di hati kedua orang itu. Mulut lorong itu terasa terlampau sepi. Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat lagi, mereka sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari dalam gardu itu. “Aneh,” bisik yang seorang. “Marilah kita lihat.” Keduanya menjadi semakin dekat. Dan tiba-tiba saja yang seorang telah menarik pedangnya dengan serta-merta sambil bergumam, “Hati-hati.” Yang lain pun segera bersiap. Dengan sigapnya pula dalam sekejap pedangnya telah berada di tangan. Tenyata mereka telah melihat mayat yang terbujur di tanah. “Mereka telah mati,” desis salah seorang dari mereka. “Nah, kau lihat bahwa Sidanti tidak sedang bermimpi buruk? Ternyata memang telinga kitalah yang tuli.” “Sekarang bagaimana?” “Kita bunyikan tanda bahaya.” Kawannya menganggukkan kepalanya. Keduanya pun segera mendekati gardu dengan hati-hati. Pedang-pedang mereka telah siap di tangan. Tetapi mereka tertegun karena di gardu itu sama sekali tidak terdapat sebuah kentongan pun. Sejenak kedua orang itu saling berpandangan. Kemudian tanpa berjanji mereka berusaha mencari, di manakah kentongan yang biasanya tergantung di sudut gardu. Namun mereka sama sekali tidak menemukannya. “Gila,” desis salah seorang dari mereka. “Agaknya orang-orang yang dengan licik menyerang gardu ini telah pergi sambil melenyapkan semua alat dan kemungkinan untuk memberikan tanda-tanda.” “Tetapi induk pasukan harus segera mengetahui. Ternyata pendengaran Sidanti sangat mengagumkan. Jika demikian maka di antara para penyerang terdapat orang-orang yang bersenjata cambuk itu.” “Kita harus menemukan jejaknya.” “Terlampau berbahaya. Mereka pasti datang dengan kekuatan yang cukup. Lihat, seluruh isi gardu ini terbunuh. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri, dan mereka sama sekali tidak sempat membunyikan tanda bahaya.” “Kalau begitu?” “Kita kembali. Kita laporkan semuanya kepada Sidanti.” “Ya. Begitulah.” Tetapi sebelum kuda-kuda mereka bergerak, mereka telah di kejutkan oleh suatu suara, “He, bukankah kalian bernama Kirti dan Juki?” Kedua orang berkuda itu terkejut. Suara itu telah menyebut nama mereka dengan tepat. Tetapi mereka sama sekali belum melihat dari manakah arah suara itu. Dalam kebingungan mereka mendengar suara dari suatu arah, “Kirti dan Juki, kenapa kau menjadi bingung?” Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kirti menggeretakkan giginya sambil berteriak, “He, setan alas! Ayo, keluar dari persembunyianmu.” Tetapi terdengar suara yang lain lagi, “Jangan marah Kirti. Kau akan menjadi terlampau cepat tua.” Keduanya menjadi semakin bingung. Suara itu seperti berputar-putar dari segala arah. Tetapi keduanya bukan penakut yang segera kehilangan akal. Karena suara yang mereka dengar juga selalu berubah, maka keduanya segera mengambil kesimpulan bahwa yang ada di sekitarnya pasti bukan hanya satu dua orang. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Kirti berdesis, “Tidak ada gunanya untuk melawan. Kita harus melaporkannya.” Juki menganggukkan kepalanya. Karena itu, maka mereka segera menggerakkan kendali kuda mereka sehingga kuda-kuda itu pun segera meloncat meninggalkan tempat itu. Namun kuda-kuda itu segera terkejut. Keduanya meringkik dan berdiri pada kedua kaki belakang, ketika tiba-tiba saja sebuah cambuk telah melibat kaki-kaki mereka. Hampir saja penunggangnya terpelanting. Hanya karena keprigelan mereka sajalah maka mereka tidak terlempar. Namun tanpa mereka sangka-sangka, sebuah kekuatan yang besar telah menghentakkan tangan mereka, dan menyeretnya jatuh ke tanah hampir berbareng. Dengan sigapnya mereka berloncatan. Segera mereka berhasil berdiri di atas kedua kaki masing-masing. Sedang pedang mereka masih tetap di dalam genggaman. “Siapa kalian, setan!” bertanya Juki. Yang berdiri di hadapan keduanya adalah seorang anak muda yang gemuk. Sambil tertawa ia berkata, “Kalian harus tetap berada di sini.” “Siapa kau?” “Kami telah terpaksa membunuh orang-orang yang sedang berada di dalam gardu. Terpaksa. Tetapi tidak terhadap kalian, karena kami mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat lain. Apalagi kalau kakakku tahu, bahwa aku telah membunuh kelinci, maka aku pasti akan dimarahi. Nah, karena itu, tinggallah kalian di dalam gardu ini. Sebagai bukti ketaatan kami kepada kakakku, maka kalian akan kami ikat dan kami tunjukkan kepadanya, bahwa kami hanya membunuh apabila terpaksa. Terpaksa sekali. Dan bahkan ia, maksudku kakakku itu, pasti telah melakukan pembunuhan pula selama pertempuran berlangsung. Sengaja atau tidak sengaja.” Kedua orang itu menggeretakkan giginya. Ketika sekilas mereka memandangi kuda-kuda mereka, maka kuda-kuda itu telah lari dan hilang di dalam kelamnya malam. “Jangan melawan.” “Persetan dengan kau!” teriak Kirti. “Kaulah yang harus menyerah kepada kami dan mempertanggungjawabkan segala kesalahanmu.” “Ah, jangan berpura-pura. Aku tahu, bahwa kalian menjadi gemetar. Lebih baik kalian berterus terang. Kami tidak akan membunuh kalian. Tetapi kami hanya ingin mengikat kalian di dalam gardu itu.” “Lihat, aku bersenjata. Laki-laki yang bersenjata pantang menyerah. Kecuali kepada maut.” Gupala tiba-tiba saja tertawa, “Ah, jangan berbicara seperti dalang wayang beber.” “Persetan!” kedua orang itu merasa benar-benar terhina. “Berlakulah jujur. Kalian ngeri melihat mayat yang berserakan ini bukan? Tentu. Aku juga menjadi ngeri. Karena itu jangan kita tambah lagi jumlahnya. Seandainya kita bertempur, maka baik aku mau pun kau yang terbunuh, jumlah mayat-mayat ini pasti akan bertambah.” Kedua orang itu tidak menjawab lagi. Serentak mereka melangkah maju. Namun langkah itu tertegun mendengar anak yang gemuk itu berkata, “Kalian telah terkepung. Kami mampu membunuh seluruh isi gardu tanpa perlawanan yang berarti. Meskipun ada juga korban yang jatuh di pihak kami. Meskipun demikian kalau kau menyerah, kami akan menghidupi kalian.” Kedua orang itu tertegun. Mereka percaya, bahwa mereka benar-benar telah terkepung. Tetapi untuk menyerah, terasa betapa rendah martabat mereka. Karena itu, maka dengan serta-merta mereka menyerang Gupala. Kedua senjata itu langsung menusuk ke pusat jantung. Tetapi Gupala tidak sedang tidur nyenyak. Dengan sigapnya ia menghindar sambil berkata, “Jangan membunuh diri. Sebaiknya kalian melihat kenyataan yang kalian hadapi.” Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak menghiraukaunya. Keduanya segera mempersiapkan serangan berikutnya. Senjata mereka bergetar secepat getar jantungnya. Gupala menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak mendapat kesempatan untuk terlalu banyak berbicara. Kedua lawannya itu menyerang dengan dahsyatnya. “He, jangan gila.” Gupala masih mencoba berteriak. Namun suaranya hilang seperti teriakan seorang nelayan yang sendiri di lautan lepas. Kedua lawannya masih tetap menyerangnya. Dan Gupala terpaksa selalu menghindar. Tetapi ternyata Gupala bukan seorang yang cukup sabar dan ragu-ragu menghadapi lawan-lawannya yang demikian. Ia merasa bahwa ia sudah tidak dapat dianggap sewenang-wenang lagi, karena ia sudah mencoba memberi pringatan kepada lawan-lawannya. Tetapi karena mereka tidak menghiraukannya, maka apa boleh buat. Dan Gupala memang tidak begitu berhasrat menahan dirinya lagi. Kedua orang yang baginya terlampau sombong itu, sama sekali tidak diberinya kesempatan lagi. Kali ini Gupala bertempur dengan pedang. Dengan tenaganya yang dahsyat, ia memukul senjata lawannya. Sentuhan pertama membuat tangan lawannya menjadi pedih. Sedang sentuhan berikutnya telah melemparkan senjata lawannya beberapa langkah dari padanya. Gupala segera menyerang lawannya yang sudah tidak bersenjata lagi itu. Dengan susah payah mereka berloncatan dan mencoba memencar. Namun nasib mereka memang terlampau malang. Tanpa mereka duga, tiba-tiba saja muncul beberapa orang di belakang mereka, sehingga mereka telah terkepung rapat. Dan ternyata bukan sekedar sebuah kepungan yang rapat. Sejenak kemudian kepungan itu telah menyempit, dan tanpa dapat berbuat apa-apa lagi, beberapa ujung senjata telah hampir melukai tubuhnya. “Nah, apakah kau masih akan melawan?” terdengar suara yang bernada dalam. Kedua orang itu berpaling. Dilihatnya wajah Wrahasta yang tegang. Tetapi kedua orang itu tidak menjawab. “Sudah terlampau banyak korban di pihak kita,” berkata salah seorang yang lain, “sedang kita masih belum cukup mendapat ganti. Karena itu bunuh saja kedua tikus ini.” “Sudah sekian banyak kita membunuh dan sekian banyak korban yang jatuh. Kenapa kita masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan?” Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara di belakang mereka, “Adalah kurang bijaksana untuk membunuh orang yang sudah tidak berdaya.” Ketika mereka berpaling, mereka melihat seseorang yang berdiri bertolak pinggang. Gupala dan beberapa orang yang lain mengerutkan keningnya. Namun segera mereka dapat mengenal orang itu, “Ki Peda Sura.” Karena itu, maka dada mereka pun menjadi berdebar-debar. Ditatapnya orang yang bertolak pinggang itu dengan tajamnya. Sejenak kemudian terdengar orang itu berkata, “Memang luar biasa. Kalian telah berhasil membinasakan seluruh isi gardu. Kemudian kedua orang yang ditugaskan oleh Angger Sidanti ini pun berhasil kalian jebak pula. Tetapi sayang, bahwa kau telah membunuh beberapa orang-orangku pula sehingga aku pun memerlukan kalian sebagai gantinya. Setuju?” Darah Gupala segera menjadi panas. Selangkah ia maju. Meskipun ia sadar, bahwa Ki Peda Sura adalah seorang yang pilih tanding. Namun untuk melawan orang itu bersama-sama dengan beberapa orang kawan-kawannya, agaknya akan dapat memberinya kesempatan bertahan beberapa lama. “He, kau anak yang gemuk,” desis Ki Peda Sura. “Kau memang anak yang berani. Berani, cerdik dan tangguh. Tetapi kau kurang cermat. Kedua ekor kuda yang kembali tanpa penunggangnya itu aku jumpai di pinggir padukuhan induk. Dan salah satu di antaranya telah aku pergunakan kemari, karena aku menjadi curiga karenanya.” Gupala mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berteriak, “Bohong. Kupingku tidak tuli. Kalau kau datang berkuda, aku akan mendengar derap kakinya.” Ki Peda Sura tertawa. Katanya, “Hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang berpacu dengan derap yang memekakkan telinga. Kuda-kuda itu dengan senang hati akan berjalan lebih lambat tanpa melemparkan suara gemeretak sampai berpuluh-puluh langkah di depan, sebelum kuda itu mendekat.” Gupala tidak menyahut. Dan Ki Peda Sura berkata, “Aku berhenti beberapa puluh langkah. Kemudian aku berjalan kaki mendekati gardu ini, tempat kalian menjebak orang-orang Sidanti.” Gupala menjadi semakin marah. Tetapi ia menyadari. bahwa melawan orang itu bukan pekerjaan yang mudah. Karena itu maka katanya, “Wrahasta. Biarlah orang-orang lain mengurus kelinci-kelinci itu. Kita akan menangkap musang.” Suara tertawa Ki Peda Sura menjadi berkepanjangan. Katanya, “Kau memang terlampau sombong. Aku tidak peduli dengan kedua orang itu. Kalau kau ingin menjadi pembunuh-pembunuh licik, maka bunuhlah orang-orang yang sudah tdak berdaya itu apa pun alasannya. Keduanya bukan orang-orangku. Tetapi yang akan aku lakukan adalah menuntut kematian orang-orangku. Di gardu ini hampir separo dari mereka yang terbumuh adalah orang-orangku.” “Dan sebentar lagi kau sendiri.” Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Namun suara tertawanya menjadi semakin keras. “Kau memang sedang mengigau. Baik. Mengigaulah sepuas-puasmu.” Namun tiba-tiba suara tertawa itu terputus, ketika ia mendengar gemerisik langkah kaki di balik rimbunnya dedaunan. “Siapa yang bersembunyi?” teriak Ki Peda Sura, “Apakah masih belum semuanya hadir di sini? Marilah, aku persilahkan kalian keluar dari persembunyiannya.” Sejenak suasana menjadi sepi. Tidak seorang pun yang berbicara dan beranjak dari tempatnya. Semua berdiri tegang dan bersiaga, sedang dua orang yang datang berkuda masih saja membeku di antara beberapa orang yang mengacungkan senjatanya. Suara gemerisik di balik rimbunnya dedaunan kini tidak terdengar lagi. Betapa pun mereka mencoba mendengarkan setiap suara, namun suara desir itu sama sekali tidak mereka dengar. “Kita tidak tahu,” berkata Gupala, “apakah suara itu suara kawanku atau justru kawanmu. Kalau yang datang itu kawanmu, baiklah ia segera keluar. Kalau kawanku biarlah ia tetap bersembunyi agar aku sempat membunuh kau lebih dahulu.” Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Tanpa disadarinya ia memandang setiap orang yang sedang berdiri tegang. Kedua orang-orang Sidanti itu sama sekali tidak dapat diharapkannya lagi. Dengan satu gerakan serentak, dua tiga pedang akan membinasakan mereka. Lalu orang-orang itu akan beramai-ramai menyerangnya. Ditambah seorang yang cukup berkemampuan yang masih belum menampakkan dirinya. Orang tua itu menimbang sejenak. Tetapi ia sudah mendapatkan suatu keuntungan. Dengan demikian ia mengetahui, bahwa bahaya telah berada di ambang pintu, sedang Ki Tambak Wedi dan para pemimpin yang lain sama sekali belum mengerti, bahwa para peronda di gardu-gardu telah musnah, tanpa sempat membunyikan tanda bahaya. “Berita ini sangat penting. Kalau aku melayani anak-anak ini, mungkin aku akan kehilangan banyak waktu,” katanya di dalam hati. Tiba-tiba saja maka Ki Peda Sura itu menggerakkan sepasang senjatanya sambil melangkah maju. Gupala terkejut, segera pedangnya bersilang di muka dadanya. Sedang Wrahasta pun melangkah ke samping menjauhi Gupala. Namun yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Ki Peda Sura meloncat dengan tangkasnya justru menjauhi lawannya. Orang tua itu ternyata berlari kencang-kencang ke luar padesan. “He, kemana kau akan lari?” bertanya Gupala. Tetapi Gupala tidak dapat berlari secepat Ki Peda Sura. Juga ketika sebuah bayangan dari balik dedaunan mencoba mengejarnya. Ternyata Ki Peda Sura menambatkan kudanya agak jauh dari gardu, di balik pohon-pohon jarak di jalan sidatan. Dengan lincahnya orang tua itu meloncat ke punggung kuda sambil menarik kendali yang disangkutkannya pada sebatang ranting yang kecil. Sebelum orang-orang yang mengejarnya mampu menyentuhnya, Ki Peda Sura telah melarikan kudanya seperti disentuh hantu. Dalam saat yang sekejap itu, ternyata kedua orang yang telah tidak bersenjata itu pun sempat melarikan dirinya. Tetapi mereka tidak mengambil arah seperti Ki Peda Sura. Dengan serta-merta mereka meloncat pagar batu dan menghilang di dalam rimbunnya dedaunan. Gupala, Gupita yang mencoba mengintai Ki Peda Sura dari balik gerumbul dan Wrahasta, menumpahkan segala perhatian mereka kepada Ki Peda Sura, sehingga mereka sama sekali kehilangan pengamatan atas kedua orang yang datang berkuda itu. Beberapa orang yang sedang mengacungkan senjata mereka, agaknya telah terpengaruh pula oleh keributan yang terjadi dengan tiba-tiba itu, sehingga mereka telah kehilangan waktu sehingga dapatlah kedua orang yang hampir saja mereka binasakan itu untuk melarikan dirinya. Sejenak mereka berkejaran, namun kedua orang itu kemudian lenyap seperti iblis di dalam gelapnya malam, dalam rimbunnya gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang lebat. Dengan wajah yang merah padam Wrahasta menggeretakkan giginya. Ketika mereka telah berkumpul, Wrahasta itu menggeram, “Sia-sialah semua pengorbanan ini. Ternyata akhirnya kedatangan kita akan diketahui oleh Ki Tambak Wedi.” Tetapi Gupita menggelengkan kepalanya. “Tidak. Tidak sia-sia. Ternyata pasukan induk itu telah terlampau dekat. Aku telah melaporkan semuanya, dan aku mendahului mereka, karena pertimbangan-pertimbangan yang khusus. Ternyata bahwa kecemasanku ada juga sebabnya. Sayang Ki Peda Sura dapat melarikan diri.” Gupita terdiam sejenak. Namun sambil mengangkat wajahnya ia berkata, “Aku sudah mendengar derap pasukan induk itu.” “Mereka harus segera mendengar apa yang telah terjadi,” desis Wrahasta. “Ya, dan mereka harus segera memasang gelar dan langsung menusuk jantung padukuhan induk.” Wrahasta tidak menjawab. Ujung pasukan induk itu sudah menjadi semakin dekat. Akhirnya, pasukan itu muncul dari ujung lorong. Sejenak mereka berhenti. Samekta dengan seksama mendengarkan laporan Wrahasta tentang tugasnya. “Tetapi disaat terakhir mereka mengetahui juga bahwa pasukan kita akan datang,” berkata Wrahasta kemudian. “Belum dapat disebut demikian. Yang diketahui oleh Ki Peda Sura adalah serangan pada gardu ini dan membinasakan seluruh isinya,” jawab Samekta. “Namun ia akan dapat menarik kesmpulan.” “Kita sudah cukup dekat. Kita akan segera menyusun gelar dan masuk ke padukuhan induk, sebelum mereka berhasil menyusun kekuatan.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Samekta berbicara sebentar dengan gembala tua, Hanggapati, dan Dipasanga. Kemudian dengan tergesa-gesa Samekta menyampaikan semuanya itu kepada Ki Argapati. “Kau sudah bertindak tepat. Lakukanlah.” Samekta pun kemudian kembali ke tempatnya. Dengan isyarat yang kemudian disalurkan ke setiap pemimpin kelompok, Samekta memerintahkan untuk memasang gelar di depan padukuhan itu. Sejenak kemudian pasukannya menebar. Mereka tidak lagi mengingat tanaman-tanaman yang sedang menghijau di sawah dan pategalan. Mereka juga tidak menghiraukan pula tanah berlumpur dan pematang-pematang. Demikianlah, sejenak kemudian Samekta telah berhasil menyusun gelar. Samekta, gembala tua, dan kedua anak-anaknya berada di induk pasukan, sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing berada di sayap. Seperti yang pernah direncanakan, maka Hanggapati dan Dipasanga masing-masing harus berada di sayap sebelah-menyebelah. Menurut perhitungan, Sidanti dan Argajaya pun akan berada dan memimpin masing-masing sebelah sayap. Sedang Gupita dan Gupala di pertempuran nanti harus mencari Ki Peda Sura yang menurut dugaan orang-orang Menoreh, akan berdiri di bagian dalam pasukan Ki Tambak Wedi. “Kalau mereka tidak sempat menyusun gelar, atau menyusun barisan,” berkata Samekta, “maka Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga terpaksa harus keluar dari sayap dan mencari Sidanti dan Argajaya.” Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari bahwa mereka kini tidak berada dalam susunan gelar prajurit. Di dalam lingkungan keprajuritan, maka pada umumnya pangkat mereka telah menggambarkan, meskipun tidak selalu dan mutlak, tingkat tanggung jawab dan kewajiban. Mereka tidak perlu membagi-bagi dan menempatkan orang demi orang yang harus saling berhadapan, selain senapati-senapatinya. Sejenak kemudian maka Samekta pun segera memberi isyarat, agar pasukan itu segera berderap maju. Dalam gelar, mereka menembus tanah persawahan yang sedang ditanami. Para pengawal Tanah Perdikan, yang sebagian terbesar terdiri dari keluarga petani yang telah agak lama tidak mendapat kesempatan bersentuhan dengan daun padi muda, merasa sangat sayang menginjak-injak tanaman itu. Tetapi apa boleh buat. Mereka harus maju dalam gelar yang siap melawan pasukan lawan. Baru beberapa langkah mereka maju, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara kentongan menggema di padukuhan induk. Agaknya Ki Peda Sura telah sampai di sana dan melaporkan apa yang telah mereka 1ihat. “Setan alas!” teriak Ki Tambak Wedi. “Tidak seorang pun yang dapat hidup di gardu itu?” “Ya.” “Berapa orang yang telah menyerang mereka?” “Aku tidak tahu. Tetapi sergapan itu aku kira begitu tiba-tiba. Yang aku lihat masih ada di sana sekitar lima atau enam orang. Tetapi pasti di antara mereka telah jatuh korban pula.” “Terlalu,” Ki Tambak Wedi menggeram. “Tetapi, apakah menurut dugaanmu mereka akan datang menyerang malam ini bersama seluruh kekuatan?” “Aku tidak tahu. Tetapi hal itu mungkin mereka lakukan.” Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. “Apakah Argapati telah dapat memimpin pasukannya, atau bahkan Argapati telah mati, sehingga dengan putus asa mereka menyergap ke induk padukuhan ini?” “Salah satu dari dua kemungkinan. Tetapi bagaimanapun juga kita harus bersiap. Menghadapi orang yang sedang membunuh diri agaknya pekerjaan kita akan menjadi jauh lebih berat.” Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara suara kentongan telah memenuhi bukan saja padukuhan induk tetapi desa-desa kecil di sekitarnya. Para penjaga menjadi semakin bersiaga. Namun sebuah pertanyaan telah mengganggu mereka, “Kenapa suara tanda-tanda bahaya itu justru mulai dari padukuhan induk?” Dengan tergesa-gesa Ki Tambak Wedi menyusun barisannya. Seperti yang telah diperhitungkan oleh para pemimpin Menoreh maka Sidanti dan Argajayalah yang mendapat tugas untuk memimpin sayap pasukan mereka. “Aku mendengar suara cambuk sebelum paman Peda Sura melihat keadaan di padesan itu. Aku menyangka salah seorang dari mereka adalah orang-orang yang sering mempergunakan cambuk seperti yang selama ini kita lihat.” “Maksudmu orang-orang yang mempunyai pengetahuan keprajuritan dan bertempur seperti prajurit-prajurit Pajang itu?” “Ya, meskipun pada keadaan tertentu mereka lebih cakap mempergunakan pedang.” “Berhati-hatilah. Kita tidak boleh terjebak oleh kebanggaan kita sendiri. Karena itu, kita harus mengerahkan segenap kemampuan. Kalau mereka benar-benar akan datang, mereka pun pasti akan membawa semua kekuatan yang ada. Apakah mereka berkeinginan untuk merebut kembali padukuhan induk ini ataukah karena mereka sedang berputus asa.” Sidanti, Argajaya dan Ki Peda Sura dapat mengerti sepenuhnya pesan Ki Tambak Wedi itu, sehingga karena itu, maka mereka tidak meninggalkan segala perhitungan. Semua kekuatan yang ada telah dikerahkan. Bahkan mereka yang sedang berada di gardu-gardu pun telah mereka tarik sebanyak-banyaknya dapat mereka lakukan. “Kita dapat mengirimkan dua orang pengawas, untuk melihat apakah ada sepasukan lawan yang mendekat,” berkata Ki Tambak Wedi. Ketika kedua orang itu meninggalkan padukuhan induk, pasukan Ki Tambak Wedi dan Ki Peda Sura telah hampir seluruhnya berkumpul. Kemudian mereka mendapatkan beberapa petunjuk untuk menghadapi lawan. “Kita melawan di depan padukuhan ini, agar tidak menimbulkan banyak akibat dan kerusakan. Kita akan menyapu mereka sampai orang yang terakhir. Ingat, seandainya mereka mengundurkan diri, jangan diberi kesempatan seorang pun untuk lolos. Tetapi kemungkinan yang lain, mereka akan berkelahi membabi buta. Hati-hatilah melawan orang-orang yang sedang gila. Kalian tidak boleh kehilangan akal.” Pasukan yang belum lengkap benar itu pun kemudian bergerak meninggalkan halaman rumah Kepala Tanah Perdikan dan lapangan kecil di muka banjar. Mereka akan segera bergabung sambil menunggu kelompok-kelompok yang akan segera menyusul. “Cepat, kita tidak boleh tersumbat di mulut jalan,” teriak Sidanti. Pasukan itu pun maju semakin cepat. Sejenak kemudian ujung pasukan itu telah keluar dari regol. Namun bersamaan dengan itu datanglah kedua pengawas itu berlari-lari. Setiap orang menjadi berdebar-debar melihat keduanya. Tetapi kedua orang itu tidak mau menjawab setiap pertanyaan. Dan itu adalah kewajibannya. Semua persoalan harus dilaporkannya kepada pemimpinnya lebih dahulu. Karena itu maka kedua orang itu langsung mencari Ki Tambak Wedi atau Sidanti. Mereka menemukan Ki Tambak Wedi dan Sidanti justru sedang berbicara dengan Argajaya dan Ki Peda Sura. “He, apa yang kau lihat?” bertanya Sidanti. Dengan nafas terengah-engah salah seorang dari mereka berkata, “Aku melihat sebuah barisan mendatang.” Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dan kedua pengawas itu hampir bersamaan berkata, “Sebuah barisan yang kuat.” “Ya,” Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. “Apa kau dapat mengetahui, siapakah yang memimpin pasukan itu?” Keduanya menggelengkan kepalanya. “Baik,” berkata Ki Tambak Wedi, “kita songsong mereka. Mereka pasti sedang membunuh diri. Aku jakin bahwa Argapati tidak akan mampu memimpin pasukan itu hari ini. Bahkan mungkin orang itu sudah mati.” Dengan tergesa-gesa Ki Tambak Wedi pun kemudian pergi ke ujung barisannya. Dengan isyarat ia mengembangkan tangannya. Dengan demikian maka pasukannya pun segera menebar. Kali ini Sidanti dan Argajaya langsung pergi ke sayap sebelah-menyebelah. Sedang Ki Peda Sura berada di induk pasukan bersama Ki Tambak Wedi. Meskipun pasukan Ki Tambak Wedi masih belum utuh, namun sebagian besar dari kekuatannya sudah berkumpul, sementara kelompok-kelompok kecil masih mengalir dan menggabungkan dirinya. Demikianlah maka dua pasukan yang telah berada dalam gelar telah saling mendekat. Ternyata usaha Wrahasta untuk membungkam semua gardu-gardu yang ada di sepanjang jalan, dengan korban yang tidak sedikit, tidak begitu bermanfaat, meskipun bukan berarti tidak berguna sama sekali. Karena ternyata Ki Tambak Wedi terpaksa menyiapkan pasukannya dengan tergesa-gesa sehingga semua persoalan dipecahkannya dengan kurang cermat. Apalagi persiapan tekad bagi pasukannya sama sekali kurang mendapat perhatian. Para pemimpinnya tidak sempat memberikan petunjuk-petunjuk dan bimbingan kepada mereka. Sementara itu Samekta pun telah mendapat laporan pula bahwa ternyata Ki Tambak Wedi sempat menyiapkan pasukannya. Dan kini pasukan itu telah menyongsong kedatangan pasukan Menoreh. “Kita memang harus bertempur sepenuh tenaga,” berkata Samekta kepada gembala tua yang berada di ujung pasukan. “Ya, tetapi bagaimanapun juga, persiapan Ki Tambak Wedi tidak akan sebaik apabila mereka mendapat cukup kesempatan.” “Mereka tidak akan sempat membawa bermacam-macam alat seperti apabila pasukannya telah bersiap menyongsong kita. Mereka tidak akan dapat menyiapkan alat-alat pelontar seperti yang dapat kita persiapkan selagi kita menyongsong kedatangan pasukan mereka.” “Ya, dan mereka sengaja menyongsong kita. Mereka tidak menunggu kedatangan kita di pinggir padukuhan,” desis gembala tua itu. Lalu, “Kita harus mulai dengan mengejutkan mereka.” Samekta mengerutkan keningnya. “Kita berhenti apabila kita sudah berhadapan. Kemudian kita mulai dengan senjata jarak jauh. Kita akan menyerang mereka dengan panah. Menurut perhitunganku, mereka tidak siap untuk menghadapi serangan pertama yang demikian. Aku kira mereka tidak mempersiapkan perisai secukupnya,” berkata gembala itu. Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada seorang penghubung ia berkata, “Siapkan mereka yang bersenjata jarak jauh. Mereka harus segera menempatkan diri. Apabila keadaan tidak mengijinkannya lagi, mereka harus segera masuk kembali ke tempatnya dan mempergunakan senjata pendek.” Perintah itu sejenak kemudian telah tersebar. Mereka yang membawa busur dan panah, segera maju di depan pasukan yang sedang berjalan. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak, namun mereka akan dapat mengejutkan lawan dan membuat mereka sejenak kebingungan. Kesan dari serangan pertama itu tentu akan sangat berpengaruh untuk peperangan berikutnya. Mereka yang membawa busur dan anak panah itu kemudian menebar dari ujung sampai ke ujung pasukan. Dengan dada yang berdebar-debar mereka mempersiapkan anak panah mereka yang pertama pada busurnya. Wrahasta yang berada dan memimpin sayap tiba-tiba melangkah mendahului pasukannya. Kepada salah seorang yang memegang busur ia berkata, “Berikan busur dan panah itu.” Orang itu termangu-mangu sejenak. “Aku akan mempergunakannya.” “Tetapi?” “Aku akan tetap memimpin sayap ini. Tetapi sebelumnya aku akan mempergunakan busur dan anak panahmu.” Orang itu tidak dapat menolak. Diberikannya busurnya dan endong anak panahnya. Hanggapati yang kebetulan berada di sayap itu juga melangkah maju sambil berkata, “Apakah kau memerlukannya?” “Ya. Aku harus mendapat korban yang sebesar-besarnya. Kami telah kehilangan banyak sekali pahlawan di saat kita belum mulai.” “Tetapi kalian telah berhasil membinasakan jauh lebih banyak.” “Belum cukup. Setiap orang sama harganya dengan sepuluh orang lawan. Pahaku sama nilainya dengan sepuluh orang pula. Apalagi nyawaku. Aku akan membunuh seratus orang sekaligus.” “Ah,” desah Hanggapati, “kau akan membunuh seratus orang tanpa menukarkan dengan nyawamu sendiri.” Tetapi Wrahasta tertawa. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Ki Hanggapati, apakah kau sudah berkeluarga?” Hanggapati mengerutkan keningnya, “Kenapa?” Wrahasta menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa. Aku dilahirkan oleh keluarga yang miskin. Ibuku adalah seorang perempuan yang baik. Ibuku tidak pernah menuntut yang tidak mungkin dapat diusahakan oleh ayahku.” Hanggapati tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah raksasa yang buram itu sejenak. Sambil menimang-nimang busurnya Wrahasta berjalan lurus ke depan. Sama sekali tidak dihiraukannya, apa yang terinjak oleh kaki-kakinya. Dan tiba-tiba Wrahasta meneruskan, “Tetapi ibu tidak panjang umurnya.” “O,” Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ayah juga tidak panjang umur.” “O,” Hanggapati masih mengangguk, “jadi mereka sudah tidak ada lagi?” “Ya. Ibu sudah tidak ada sejak sepuluh tahun yang lalu, dan ayah sejak lima tahun.” “Kau satu-satunya anak?” Wrahasta menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku adalah anak yang kedua. Saudaraku ada lima orang.” “Di mana mereka sekarang?” “Satu adikku ada di dalam barisan ini juga. Kakakku adalah seorang petani yang tekun. Aku tidak tahu apakah ia terlibat atau melibatkan diri dalam kekisruhan ini atau tidak. Tetapi aku tidak melihat ia berada bersama kita. Sedang dua adikku yang lain berada di padukuhan sebelah pertahanan terakhir kita.” Hanggapati menganggukkan kepalanya. “Kakakku sudah beranak empat orang,” berkata Wrahasta, kemudian, “sehingga dengan demikian aku tidak akan mencemaskan bahwa garis keturunan ayah dan ibu akan terputus.” Hanggapati mengerutkan keningnya pula. Dipandanginya wajah itu sejenak. Wajah Wrahasta yang suram. Dan tiba-tiba saja ia berdesis, “Kedua anak gembala itu memang luar biasa. Ternyata aku bukan apa-apanya.” “Apakah maksudmu?” bertanya Hanggapati. “Tidak. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku sekedar memuji dan mengagumi. Aku begitu bodoh sebelumnya tanpa melihat kelebihan yang ada pada mereka.” Hanggapati menjadi semakin heran. Raksasa ini berbicara tanpa ujung dan pangkal, seolah-olah begitu saja berloncatan dari mulutnya. Dan tiba-tiba saja Wrahasta tertawa pendek. “Di depan kita pasukan Ki Tambak Wedi sudah menghadang kita. Apakah kau sudah siap, Ki Hanggapati?” “Ya. Aku sudah siap.” “Apakah kau akan bersenjata cambuk atau pedang atau keduanya?” “Aku biasa mempergunakan pedang.” Wrahasta tertawa. Tetapi tatapan matanya masih lurus ke depan. Padukuhan induk itu pun telah menjadi semakin dekat. Bahkan karena begitu tergesa-gesa orang-orang Ki Tambak Wedi tidak sempat memadamkan obor di gardu-gardu. Dan sinar obor yang menusuk gelapnya malam itu telah tampak jelas di kejauhan, lebih dahulu dari bayangan setiap orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi yang bergerak maju pula. Ternyata kedua belah pihak selalu mengirimkan pengawas-pengawas, sehingga mereka mengetahui dengan pasti jarak antara kedua pasukan itu. Karena itu, ketika pengawas yang dikirimkan oleh Samekta datang kepadanya dan melaporkan bahwa pasukan Ki Tambak Wedi telah melintasi parit, dan dalam waktu yang hampir bersamaan seorang pengawas di pihak lain melaporkan kepada Ki Tambak Wedi bahwa pasukan Menoreh telah melampaui simpang empat, dan menyeberang jalan silang, sadarlah mereka, bahwa pertempuran akan segera berkobar. “Apakah pasukan Ki Tambak Wedi telah siap sepenuhnya?” bertanya Samekta kepada pengawas itu. “Aku kurang tahu. Tetapi mereka telah berada di dalam gelar.” Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik. Kita akan segera mulai.” Sejenak kemudian Samekta memerlukan melaporkannya kepada Ki Argapati, yang dengan seksama mengikuti perkembangan keadaan. “Kita hampir mulai, Ki Gede,” desis Samekta. “Apakah semua sudah berada di tempatnya?” “Sudah, Ki Gede.” “Bagus. Kembalilah ke tempatmu.” Samekta menganggukkan kepalanya. Dipandanginya Ki Argapati sejenak. Tampaknya Ki Argapati seakan-akan telah benar-benar sembuh dari lukanya. Medan perang yang akan dihadapinya telah membuatnya kehilangan perhatian atas dirinya sendiri. Sedang di tangannya masih tetap tergenggam tombak pendek, pusaka Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sebenarnya telah tertukar dengan milik Argajaya. Sebelum meninggalkan Ki Argapati, Samekta masih sempat berbisik di telinga Pandan Wangi, “Hati-hatilah, Ngger. Orang-orang Ki Tambak Wedi sebagian adalah orang-orang yang buas dan liar.” Pandan Wangi menganggukkan kepalanya, “Kami telah siap, Paman.” Samekta menyapu wajah para pengawal dengan tatapan matanya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajah-wajah yang tegang tetapi meyakinkan itu memberinya kepercayaan, bahwa mereka akan berhasil melindungi Ki Argapati. Apalagi apabila para senapati lawan telah terikat di dalam pertempuran dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang seimbang. Sejenak kemudian Samekta pun kembali ke tempatnya. Di ujung induk pasukan bersama gembala tua. Di belakangnya kedua anak-anak gembala itu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Sejenak kemudian Samekta memerintahkan pasukannya berhenti. Jarak mereka dengan lawan sudah menjadi semakin dekat. Yang diperintahkannya untuk maju adalah mereka yang bersenjatakan panah. “Kalian menunggu mereka mendekat. Kemudian serang mereka dengan panah, sebanyak-banyak kalian dapat melepaskan anak-anak panah.” Para pengawal yang telah menyiapkan busur mereka pun berhenti sambil menyiapkan diri. Di hadapan mereka, pasukan Ki Tambak Wedi semakin mendekat pula. Mereka berharap dapat melawan pasukan Menoreh sejauh-jauh dari padukuhan induk. Ternyata mereka tidak mempergunakan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Ki Argapati. Menunggu di belakang pagar-pagar batu dengan senjata-senjata jarak jauh. Kecuali pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh tidak mempunyai pagar pring ori dan pagar-pagar batu yang tinggi, apalagi padukuhan induk itu adalah sebuah padukuhan yang luas, maka pasukan Ki Tambak Wedi tetap menyangka bahwa kekuatan mereka masih melampaui kekuatan lawan. Apalagi menurut perhitungan mereka, Ki Argapati pasti belum dapat ikut serta sepenuhnya di dalam peperangan ini. Orang-orang itu, bahkan termasuk Ki Tambak Wedi sendiri, kurang memperhitungkan ketergesa-gesaan mereka, sehingga belum seluruh pasukan dan seluruh kekuatan yang kini dihadapkan kepada pasukan Menoreh, yang justru sedang menumpahkan segenap kemampuan dan bahkan jumlah orang-orang mereka. Meskipun demikian, ketika Ki Tambak Wedi mendapat laporan bahwa lawan telah berada di depan hidung mereka, diperintahkannya pasukannya untuk berhati-hati. Tetapi gelapnya malam masih tetap menyaput pemandangan. Namun demikian, mata Ki Tambak Wedi yang setajam mata burung hantu itu segera melihat seleret bayangan, di kaki langit, seperti wayang yang berjajar di wajah layar yang biru kehitam-hitaman. Tetapi bayangan yang dilihatnya adalah hitam. Hitam. Ki Tambak Wedi yang berada di induk pasukan bersama Ki Peda Sura segera memerintahkan penghubung-penghubungnya untuk menyampaikan pesannya kepada Sidanti dan Argajaya di sayap masing-masing, bahwa lawan telah berada dekat di hadapan mereka. Karena itu mereka pun harus berhati-hati. “Orang-orang Ki Argapati adalah orang-orang yang sangat licik,” pesannya. “Mungkin mereka akan melakukan sesuatu yang akan dapat mengejutkan kalian. Karena itu, kalian harus berhati-hati. Sepenuhnya berhati-hati. Semua senjata akan dipergunakan. Juga senjata-senjata jarak jauh.” Dan pesan itu segera ternyata kebenarannya menurut penilaian Sidanti. Sidanti yang semula tidak begitu menghiraukan pesan itu, yang dianggapnya seperti pesan-pesannya yang lain, hati-hati, waspada dan sebagainya, ternyata harus memperhatikannya. “Semua yang berperisai berada di depan,” teriak Sidanti dan Argajaya di tempat masing-masing. Meskipun mereka tidak berjanji, tetapi ketika anak panah yang pertama terbang di atas pasukannya, maka mereka segera meneriakkan perintah serupa. Beberapa orang yang bersenjata perisai segera mendesak ke depan. Mereka berjalan maju sambil melindungi bukan saja diri mereka sendiri, tetapi seluruh pasukan dengan perisai-perisai. Tetapi anak panah terlampau kecil untuk dapat dibendung oleh perisai-perisai yang tidak memenuhi jumlahnya. Kadang-kadang satu dua ada saja anak-panah yang menyusup di sela-sela perisai-perisai itu dan langsung mematuk dada. “Setan!” Sidanti mengumpat. Belum lagi mereka bertemu, telah jatuh beberapa korban di antara mereka. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bersenjata panah, telah melepaskan anak panah mereka sebanyak-banyaknya. Mereka tidak perlu membidik. Mereka hanya sekedar mengarahkan anak panah itu ke dalam deretan bayangan yang kehitam-hitaman. Ternyata bahwa serangan pertama itu cukup berpengaruh. Bukan karena jumlah korban yang terlampau banyak berjatuhan. Tetapi justru serangan itu telah mengejutkan mereka. Satu dua korban yang jatuh, suara rintihan, dan kadang-kadang sebuah teriakan terkejut, telah membuat mereka yang kurang tatag hatinya menjadi kecut. Sementara anak-anak panah terus mengalir seperti hujan. Ki Tambak Wedd menggeram melihat serangan yang hampir menahan pasukannya. Karena itu maka tiba-tiba ia berterak, “Jangan bodoh. Kita harus menyergap mereka secepat-cepatnya untuk menghentikan perbuatan licik ini.” Kemudian Ki Tambak Wedi pun mengangkat tangannya. Ketika ia mengayunkan tangannya itu ke depan, disusul oleh beberapa orang pemimpin kelompok dan beberapa orang yang menjadi penghubung antara induk pasukan dan sayap-sayapnya, maka pasukan itu pun kemudian segera berderap dengan cepatnya maju menyerang lawannya. Yang maju paling depan adalah induk pasukan, kemudian kedua sayapnya pun segera menyusul. Bahkan beberapa orang dari mereka, terlebih-lebih adalah orang-orang Ki Peda Sura segera berteriak sekeras-kerasnya untuk meledakkan gairah mereka menggetarkan senjata masing-masing. Samekta pun kemudian menyadari bahwa ia harus dapat mengimbangi arus pasukan lawan. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan pasukannya. Sekali lagi ia memberikan beberapa peringatan, kemudian menunggu anak panah yang tersisa. Setelah sebagian terbesar dari mereka telah melepaskan hampir seluruh anak panah, maka seperti Ki Tambak Wedi yang langsung memimpin pasukannya, Samekta pun segera memacu barisannya menyongsong lawan. Mereka yang semula berada di depan dengan busur dan anak panah, telah menyilangkan busur-busur mereka di punggung dan memutar endong mereka. Kini di tangan mereka telah tergenggam pedang dan dengan segera mereka pun menempatkan diri di kelompok masing-masing. Kedua pasukan yang maju itu bagaikan arus yang berlawanan. Sebentar kemudian, kedua arus yang deras itu pun berbenturan di antara sorak-sorai dan teriakan-teriakan yang kasar dibarengi oleh umpatan-umpatan yang sangat liar. Dalam waktu yang sekejap, maka ujung-ujung senjata telah mulai berbicara. Yang bernasib malang, pada benturan pertama sama sekali tidak berhasil mengelakkan dirinya dari dorongan senjata lawan. Demikian ia terjatuh, maka kaki-kaki yang bersimpang-siur, tanpa menghiraukannya lagi, telah menginjak-injak tubuh yang tergolek di tanah, betapa pun ia berteriak-teriak. Bukan saja kaki lawan, tetapi kadang-kadang kaki-kaki kawannya. Tetapi kawan-kawannya itu pun tidak akan sempat menolongnya, karena mereka harus pula memperhatikan setiap ujung senjata lawan yang mengarah ke dadanya. Dalam hiruk-pikuk perang itu, beberapa orang berusaha untuk menemukan lawan-lawannya yang seimbang, agar mereka tidak menimbulkan korban terlampau banyak di antara orang-orangnya. Sambil melindungi dirinya dari sergapan-sergapan yang tiba-tiba, Hanggapati dan Dipasanga yang sudah terlanjur ikut terlibat di dalam perang yang membakar Tanah Perdikan Menoreh itu, segera berusaha menemukan lawan-lawan yang telah ditentukan bagi mereka. Ternyata bahwa pekerjaan itu tidak terlampau sulit, karena Sidanti dan Argajaya pun segera mencari lawan-lawan mereka, sebelum mereka membuat terlalu banyak korban. Dalam pertempuran itu, Hanggapati akhirnya bertemu dengan Sidanti dan Dipasanga harus bertempur melawan Argajaya. Sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing tetap memegang pimpinan sayap-sayap pasukan mereka. Tetapi seperti yang pernah terjadi sebelumnya, baik Sidanti mau pun Argajaya tidak segera dapat mengatasi lawan-lawan mereka. Apalagi di dalam hiruk-pikuk peperangan. Kadang-kadang seorang pengawal tanpa disangka-sangka langsung menyerang salah seorang dari mereka. Sehingga perhatian mereka itu pun terganggu karenanya. Di pusat gelar, Ki Tambak Wedi telah mulai memutar senjatanya. Setiap sentuhan akan berarti maut. Bahkan bukan saja senjatanya yang seakan-akan menyebar nafas kematian, tetapi tangan kirinya, kakinya bahkan hampir seluruh tubuhnya. Lutut dan sikunya pun ikut pula membunuh atau setidak-tidaknya melumpuhkan pengawal-pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berani mendekatinya. Di ujung gelar lawan, gembala tua itu melihat seseorang mendesak maju diikuti oleh pasukannya. Dengan segera ia mengenal bahwa orang itu adalah Ki Tambak Wedi. “Apa boleh buat,” berkata gembala itu di dalam hatinya. “Tidak ada pilihan lain. Apalagi pokal Ki Tambak Wedi kini telah sampai ke puncaknya, sehingga benar-benar harus dihentikan.” Dengan demikian, maka tanpa ragu-ragu lagi gembala tua itu pun segera berusaha menyongsong Ki Tambak Wedi yang sedang mengamuk bagaikan harimau kelaparan. “Mana Argapati, he, mana Argapati?” iblis tua itu berteriak-teriak. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab. Dalam keremangan cahaya bintang-bintang di langit, matanya yang tajam menangkap bayangan seseorang yang berada di atas punggung kuda dikawal oleh beberapa orang bersenjata lengkap. Tiba-tiba saja ia berteriak, “He, siapa yang berada di belakang barisan ini? He? Siapa?” Ki Tambak Wedi berhenti sebentar. Kemudian, “Kau pasti Argapati. Kau pasti Argapati yang sudah hampir mati. Dengan putus asa kau bawa pasukanmu membunuh diri bersama-sama. Bagus, bagus, mari aku tolong kau.” Suaranya menggelepar di dalam hiruk-pikuknya pertempuran, seperti suara iblis yang menggema di sela-sela deru angin pusaran. Setiap hati mereka yang mendengar suara itu, menggelepar di dalam dada. Suara itu bagaikan duri yang langsung menusuk sampai ke pusat jantung. Mengerikan. Ki Argapati yang tidak terlampau dekat dengan garis pertempuran tidak dapat menangkap kata-kata Ki Tambak Wedi dengan jelas. Tetapi ia merasakan, bahwa kata-kata itu pasti berisi lontaran penghinaan. Karena itu, tanpa disadarinya tombaknya tergerak dan ujungnya merunduk ke depan. “Ayah tetap di sini bersamaku,” desis Pandan Wangi yang melihat gelagat getar di dada ayahnya. Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Tambak Wedi berteriak lagi, “He, kenapa kau tidak membuat gelar Gedung Menep saja, supaya kau dapat bersembunyi di dalam gelar? Kenapa kau datang dengan gelar terbuka tetapi kau berada jauh-jauh di belakang?” Ki Argapati masih belum mendengar suara itu dengan jelas, tetapi terdengar giginya gemeretak. “Baik, baik,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kalau kau tidak mau maju, akulah yang akan datang kepadamu.” Ternyata Ki Tambak Wedi tidak hanya sekedar berteriak-teriak. Agaknya ia ingin benar-benar mendekati Ki Argapati, sehingga karena itu, maka segera ia mencoba menyibakkan lawan dengan memutar senjatanya. Para pengawal Menoreh benar-benar menjadi ngeri melihat tandang iblis dari lereng Merapi itu, sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah membuka sebuah jalur jalan yang akan dapat dilalui oleh Ki Tambak Wedi, meskipun para pengawal itu tidak berarti membiarkannya lewat tanpa menyerangnya dari segala arah. Namun agaknya beberapa pengawal khusus Ki Tambak Wedi pun tahu benar akan tugasnya, sehingga langkah Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin lancar. Namun tiba-tiba, langkah iblis itu pun terhenti. Tiba-tiba saja di hadapannya, di jalur jalan yang telah tersibak, berdiri seseorang dengan tenangnya memandangnya. Sejenak Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun betapa pun suramnya malam, ia segera dapat mengenal orang yang berdiri di hadapannya itu. Hanya beberapa langkah. Tiba-tiba pula Ki Tambak Wedi menggeram sambil mengumpat, “Setan alas, kau ada di sini pula?” Orang itu maju selangkah. Sekali-kali ia menyapu hiruk-pikuk peperangan di seputarnya. “Kelakuanmu telah sampai ke ujung yang paling memuakkan aku,” jawabnya. “Karena itu, sebaiknya kau mengakhirinya, Ki Tambak Wedi. Jika demikian maka tidak saja di atas tanah perdikan ini, tetapi kita akan menemukan kedamaian di sebagian besar dari seluruh Tanah ini.” “Jangan menggurui aku Setan Tua. Sebaiknya kau tidak ikut mencampuri persoalan keluarga ini.” “Kau telah memaksa Sidanti mengkhianati ayahnya.” “Argapati bukan ayahnya.” Sepercik keheranan merambat di hati orang tua itu. Namun ia tidak sempat memikirkannya. Perang menjadi semakin lama semakin ganas, dan korban telah berjatuhan di sekitarnya. Karena itu maka gembala tua itu pun segera mengurai senjatanya yang dibelitkannya di lambungnya. “Aku tidak akan bermain-main lagi. Aku akan mempergunakan senjataku.” Ki Tambak Wedi menatap ujung cambuk itu sejenak. Ia sadar bahwa cambuk ini bukan sekedar cambuk seorang gembala. Sekali-kali ia menangkap kilatan pantulan cahaya bintang dari bintik-bintik di juntai cambuk yang panjang itu. Dan bintik-bintik yang berkilat-kilat itu telah membuat dadanya berdebar-debar. Kini Ki Tambak Wedi merasa, bahwa agaknya peperangan ini memang merupakan puncak dari segala-galanya. Kehadiran orang tua bercambuk itu berada di luar perhitungannya selama ini. Selama ini memang mencemaskannya. Setiap kali pasukannya selalu digemparkan oleh orang-orang bercambuk. Tetapi selama ini orang-orang bercambuk itu tidak memberinya keyakinan bahwa orang bercambuk yang inilah yang hadir di peperangan. Bahkan di dalam pertempuran yang terakhir, pada saat pasukannya memecah regol pertahanan terakhir Argapati, sama sekali tidak ada kesan bahwa orang ini ada di antara pasukan Argapati. Sepercik ingatan tentang Ki Peda Sura telah membayang di kepalanya, pada saat orang tua itu terluka. Ia melawan Pandan Wangi yang kemudian dibantu oleh seorang anak muda. Orang ini bersenjata cambuk. Namun senjata cambuk itu kemudian menjadi kabur oleh peristiwa-peristiwa berikutnya. Hampir setiap orang dari pengawal berkuda yang berkeliaran di malam hari bersenjatakan cambuk. Kemudian dua orang prajurit yang ada di dalam pasukan Argapati, yang bertempur melawan Sidanti dan Argajaya pun bersenjata cambuk. Tetapi kini ia bertemu dengan orang yang sebenanya. Orang yang sebenarnya disebutnya orang bercambuk. Karena itu Ki Tambak Wedi tidak lagi dapat mengangkat wajahnya sambil berkata, “Kalian sedang membunuh diri.” Tidak. Orang bercambuk ini tidak sedang membunuh dirinya bersama Ki Argapati. Sejenak mereka masih saling berdiam diri dalam hiruk pikuknya peperangan. Namun sejenak kemudian Ki Tambak Wedi berkata, “Apa boleh buat. Aku tidak menganggapmu musuh sampai ujung kemampuan dalam peperangan yang dahsyat ini. Kau tidak mempunyai kepentingan langsung dengan aku. Tetapi sejak aku berada di Tambak Wedi, bahkan sejak Sidanti berada di Sangkal Putung, kau selalu mengganggu aku dan muridku. Aku kira kini sudah saatnya pula aku menghindarkan diriku dari gangguanmu.” “Kita berpendapat sama. Aku dan kau menganggap bahwa saatnya memang sudah tiba. Kau menganggap bahwa aku harus lenyap agar kau tidak selalu dikejar-kejar oleh gangguanku seperti yang terjadi selama ini, sedang aku menganggap bahwa kelakuanmu benar-benar telah berlebih-lebihan. Dengan demikian kita sudah berkeputusan bahwa kita akan mempertaruhkan nyawa kali ini.” “Aku tidak akan ingkar.” “Kau jangan lari lagi seperti di Tambak Wedi. Kau mempunyai pintu sandi yang dapat kau pakai untuk menghindarkan diri. Tetapi sebaiknya sekarang tidak.” Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya seakan-akan telah membara. Setapak ia maju. Senjatanya di tangannya telah mulai bergetar. Gembala tua itu pun menyadari, bahwa Ki Tambak Wedi kali ini pasti akan berusaha membunuhnya, sehingga karena itu, ia pun harus sangat berhati-hati. Pertempuran di sekitar keduanya menjadi semakin lama semakin sengit. Satu-dua di antara mereka ada juga yang berusaha menyerang kedua orang tua-tua itu. Tetapi serangan-serangan yang demikian tidak akan banyak berarti, apalagi di sekeliling mereka, berdiri kedua belah pihak. Kedua orang itu berkisar selangkah, kemudian masing-masing mempersiapkan diri untuk mulai dengan sebuah tarian maut. Sejenak kemudian maka perkelahian yang dahsyat itu pun mulailah. Keduanya adalah orang-orang yang mempunyai tingkat ilmu yang tinggi, yang hampir mencapai kesempurnaan. Senjata mereka pun merupakan senjata-senjata yang khusus, yang memiliki kelebihan tiada taranya di tangan pemiliknya masing-masing. Begitu perkelahian itu dimulai, maka meledaklah suara cambuk gembala tua itu. Dan ledakan ini benar-benar telah mengejutkan seisi medan. Selama ini mereka telah sering mendengar ledakan-ledakan cambuk di peperangan atau dalam perjalanan sebagian dari mereka yang ikut dalam pasukan berkuda. Tetapi mereka belum pernah mendengar cambuk yang meledak demikian dahsyatnya. Dan seterusnya cambuk itu meledak dan meledak lagi. Setiap kali menyambar lawannya yang dengan sigapnya berloncatan menghindarinya. Namun kemudian seperti tatit menyusup di sela-sela ujung cambuk itu langsung menyerang dada. Demkianlah keduanya segera terbenam dalam pertempuran yang dahsyat. Keduanya berloncatan saling menyerang dan menghindar. Semakin lama semakin cepat. Kedahsyatan pekelahian di antara keduanya telah menyibakkan peperangan di sekitarnya. Para pengawal dan orang-orang Ki Tambak Wedi yang sedang sibuk mempertahankan hidup masing-masing masih juga sempat mengagumi apa yang telah terjadi. Perkelahian yang hampir-hampir tidak dapat mereka mengerti. Ternyata gembala tua itu tidak kalah dahsyat dari Ki Argapati. Perlawanannya terhadap Ki Tambak Wedi benar-benar telah mendebarkan jantung. Bahkan jantung Ki Tambak Wedi sendiri. Gembala tua yang kadang-kadang senang berkelakar itu, kini mengerutkan keningnya. Dengan tajam ia mengikuti setiap gerak lawan. Kedua ujung senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan dan serangan-serangan yang cepat seperti tatit harus dilayaninya dengan sepenuh kemampuannya. Sehingga setiap kali cambuknya harus meledak-ledak tidak henti-hentinya. Pada saat gembala tua itu bertempur melawan Ki Tambak Wedi, maka kedua anak-anaknya mengikutinya dengan seksama. Tetapi mereka percaya bahwa gurunya akan dapat menyelesaikan tugasnya. Setidak-tidaknya ia dapat menjaga dirinya dan bertempur sepanjang kemampuan lawannya. Karena itu, segera mereka pun menyadari akan tugasnya. Mereka berdua harus menemukan Ki Peda Sura, dan berusaha melawannya. Dengan demikan maka keduanya meninggalkan arena yang dahsyat itu. Menyusup di dalam arena peperangan yang luas untuk menemukan lawan yang telah ditentukan untuk mereka. Sementara itu Ki Peda Sura berkelahi dengan kasarnya. Seakan-akan ia menyadari sepenuhnya, bahwa tidak akan ada seorang lawan pun yang dapat mengimbanginya. Seperti Ki Tambak Wedi, ia menyangka bahwa Ki Argapati masih belum dapat turun ke medan. Dan seperti Ki Tambak Wedi pula ia menyangka, bahwa para pengawal itu sedang membunuh diri karena putus asa. Tetapi terasa dadanya berdebar-debar pula ketika ia mendengar suara ledakan cambuk beruntun tanpa ada henti-hentinya. Suara cambuk itu seakan-akan menggelegar di dalam dadanya, rnengguncang jantung. “Siapakah orang itu?” desisnya di dalam hati. “Apakah Ki Tambak Wedi sedang tidur, dan tidak sempat membungkam suara cambuk yang memekakkan telinga itu?” bersambung Posted in Buku 041 - 050 ♦ Seri I Tagged Agung Sedayu, Gembala tua, Gupala, Gupita, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Tambak Wedi / Paguhan, Kiai Gringsing, Pandan Wangi, Sidanti, Swandaru, Wrahasta Bagian 2 “Anjani?” Sekar Mirah menjadi semakin heran. Dipandangi-nya seraut wajah yang masih muda dan segar itu tanpa berkedip. Jauh di lubuk hatinya, telah terasa getar-getar yang tidak wajar seiring dengan sikap Anjani yang penuh dengan tanda tanya. “Mbokayu,” akhirnya keluar juga sepatah kata dari bibir merah jambu itu dengan sendat. Dengan sedikit menengadahkan wajahnya, sekuat tenaga Anjani mencoba untuk menahan air matanya agar tidak jatuh membasahi pipi. Sementara kedua tangannya tampak meremas-remas ujung bajunya sekedar untuk menahan gejolak di dalam dadanya. “Ada apa Anjani?” dengan sareh Sekar Mirah mencoba menenangkan hati Anjani. Dengan lembut dibelainya rambut Anjani yang hitam dan indah berombak. Lanjutnya kemudian, “Katakan lah. Jangan ragu-ragu. Engkau telah aku anggap sebagai bagian dari keluargaku. Persoalanmu adalah persoalanku juga. Dengan segala keterbatasan kemampuan yang ada pada diriku, aku akan selalu siap di sisimu untuk membantumu.” Kata-kata Sekar Mirah itu justru bagaikan sebuah bindi terbuat dari besi baja yang menghantam belanga yang penuh berisi air. Akibatnya adalah sangat dahsyat. Belanga itu pun hancur berkeping-keping disertai dengan tertumpahnya air yang berada di dalamnya. “Mbokayu..!” diawali dengan sebuah jeritan kecil, Anjani ternyata telah menjatuhkan diri di hadapan Sekar Mirah. Diantara sedu-sedan yang tertahan-tahan, dipeluknya erat-erat kedua kaki Sekar Mirah sambil melanjutkan kata-katanya, “Silahkan mbokayu membunuhku sekalipun aku ikhlas, sebagai jalan menebus dosa-dosaku selama ini kepada keluarga mbokayu.” “Anjani!” seru Sekar Mirah sedikit agak keras sambil mengguncang-guncang pundak Anjani yang berlutut di hadapannya, “Apakah engkau sadar dengan kata-katamu itu? Untuk apa aku membunuhmu? Justru engkau telah menyelamatkan keluargaku sebanyak dua kali dan untuk semua itu aku belum sempat membalas kebaikan budimu.” Anjani menggeleng-gelengkan kepalanya sambil semakin erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Dengan sekuat tenaga dicobanya untuk menahan tangis yang terasa bergumpal-gumpal dan berdesak-desakkan ingin keluar dari tenggorokannya. Namun semua itu justru telah membuat tubuhnya semakin terguncang-guncang dan nafasnya tersengal-sengal. Sejenak Sekar Mirah termenung melihat keadaan Anjani. Berbagai tanggapan telah bergejolak di dalam dadanya. Untuk beberapa saat dibiarkan saja Anjani dalam keadaannya walaupun ada sedikit kekawatiran tangis Anjani yang tertahan-tahan itu akan dapat membangunkan Bagus Sadewa, atau bahkan mungkin sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di luar bilik. “Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” pertanyaan itu telah menggelitik hati Sekar Mirah, “Mengapa Anjani merasa telah berbuat kesalahan terhadap keluargaku? Padahal aku baru saja mengenalnya, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?” Masih terbayang dengan jelas di rongga matanya. Bagaimana Anjani dengan tandang yang sigap dan cekatan serta ilmu yang mumpuni berhasil melumpuhkan lawannya. Seandainya saat itu Anjani tidak muncul dan menolong mereka, tentu Bagus Sadewa telah berhasil mereka culik dan dijadikan sandera untuk melumpuhkan semangat juang Ki Rangga Agung Sedayu dalam berperang melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Sedangkan dia sendiri dan Damarpati tentu juga akan mengalami nasib yang sangat jelek. Jika tidak dibunuh, kemungkinan juga akan dijadikan sebagai tawanan. Tiba-tiba saja Sekar Mirah telah dikejutkan oleh angan-angannya sendiri. Jika saja saat itu ada petir yang menyambar di atas kepalanya, dia tidak akan sekaget itu. Ketika terlintas di dalam benaknya, seseorang yang selama ini sangat dicintai dan dikaguminya sebagai suami dan ayah dari anaknya, jantung Sekar Mirah pun bagaikan tersentuh bara api dari tempurung kelapa. Siapa lagi yang dimaksud oleh Anjani jika bukan suaminya, Ki Rangga Agung Sedayu. Menyadari kemungkinan itu lah yang bisa saja terjadi, darah di sekujur tubuh Sekar Mirah pun bagaikan mendidih. “Anjani..!” geram Sekar Mirah kemudian dengan suara gemetar dan nafas yang memburu. Kedua bola matanya yang memerah darah itu dengan nanar memandang wajah Anjani yang menunduk. Sambil mencengkeram kedua pundak Anjani, Sekar Mirah pun kemudian melanjutkan kata-katanya, “Apakah yang engkau maksudkan itu, suamiku? Ki Rangga Agung Sedayu, he?” Mendapat pertanyaan seperti itu, justru Anjani semakin erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Tangisnya pun telah pecah tanpa dapat dikendalikannya lagi. Ketika Agung Sedayu yang dikenalnya sebagai adik Untara itu ternyata telah menunjukkan kedahsyatannya dalam lomba memanah dan mampu mengalahkan Sidanti, perhatian gadis Sangkal Putung itu pun kemudian berbalik kepada anak muda yang luruh dan rendah hati itu. Jiwa Sekar Mirah yang meledak-ledak dan selalu haus akan tantangan dan pengeram-eram, ternyata telah tunduk dan kagum akan kesederhanaan dan keluhuran budi putra kedua Ki Sadewa itu. Agung Sedayu yang mendapat kesempatan untuk melepaskan anak panah terakhirnya, ternyata lebih memilih memanah burung yang sedang terbang di angkasa dari pada tubuh Sidanti sendiri. Namun kekaguman Sekar Mirah itu tetap disertai dengan angan-angan bahwa suatu saat sifat anak muda yang dikagumi itu akan berubah menjadi laki-laki sebagaimana yang selalu ada dalam angan-angannya, laki-laki yang mengejar masa depannya dengan penuh semangat, yang siap mengurbankan apa saja demi mencapai cita-citanya. Bukan laki-laki yang hanya pasrah akan nasib dan nrimo ing pandum. Namun semua itu perlahan mulai berubah sejak dia menuntut ilmu olah kanuragan dan jaya kasantikan kepada Ki Sumangkar, adik seperguruan Ki Patih Mantahun. Dengan sangat telaten gurunya mulai membekali kawruh tentang kehidupan yang berhubungan dengan bebrayan agung. Hubungan timbal balik antara sesama manusia dan dengan Sang Pencipta. Terlebih lagi adalah kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang hamba kepada Tuhannya sebagai wujud rasa syukur atas karuniaNYA yang telah menciptakan alam semesta ini beserta seluruh isinya. Ketika gadis Sangkal Putung itu pada akhirnya dipersunting oleh Agung Sedayu, adik Senapati Untara yang berkedudukan di Jati Anom, Ki Sumangkar yang telah mendahului menghadap Sang Pencipta setelah peristiwa di lembah antara Merapi dan Merbabu, masih belum mampu menekan sifat-sifat itu sampai ke dasarnya. Perbedaan pandangan hidup yang lebih mengedepan-kan gelimang harta dan kemewahan bagi Sekar Mirah selalu menjadi perdebatan yang tak berujung pangkal dalam keluarga baru itu. Namun seiring dengan berlalunya waktu, kesabaran, ketekunan dan tentu saja keteladanan dalam kebersahajaan hidup yang dicontohkan oleh suaminya lambat laun telah mempengaruhi pandangan hidupnya. Namun kini apa yang sedang terjadi ternyata telah menyinggung harga dirinya sebagai seorang istri dan mengungkap kembali sifat-sifat aslinya yang telah terpendam sekian lama. Justru disaat keluarganya sedang menyambut kebahagiaan atas hadirnya buah hati yang telah mereka dambakan selama bertahun-tahun, seorang perempuan lain telah hadir dalam kehidupan suaminya. Penalaran Sekar Mirah pun menjadi goncang dan buram. Wataknya yang keras dan tidak mau tersaingi oleh orang lain telah muncul kembali. Demikianlah akhirnya, dengan mengerahkan tenaga cadangannya, Sekar Mirah ternyata telah berusaha untuk melepaskan kedua kakinya dari pelukan Anjani. Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan Anjani. Tubuhnya terlempar dan menabrak dinding bilik yang terbuat dari papan kayu jati yang tebal. Papan kayu jati itu memang tidak sampai pecah berantakan. Hanya suaranya saja yang terdengar berderak-derak memecah keheningan malam. “Mbokayu..?!” jerit Anjani terkejut bukan alang kepalang sambil mencoba merangkak bangun. Namun alangkah terkejutnya Anjani, begitu dia mendongakkan wajahnya, Sekar Mirah telah berdiri hanya selangkah di hadapannya. Di tangan kanan perempuan itu telah tergenggam sebuah senjata yang mengerikan, senjata ciri khas sebuah perguruan di jaman Demak lama. Perguruan yang namanya sangat dikenal di negeri ini dari ujung sampai ke ujung, perguruan Kedung Jati. “Mbokayu..?” kali ini terdengar lirih ucapan Anjani sambil perlahan bangkit berdiri. Tangisnya telah berhenti dengan sendirinya, berganti dengan keheranan yang luar biasa melihat perubahan sikap Sekar Mirah. “Anjani..!” terdengar berat dan dalam nada suara Sekar Mirah, “Kita adalah perempuan-perempuan yang memiliki kelebihan dibanding dengan perempuan kebanyakan. Aku tahu engkau adalah murid Resi Mayangkara yang keberadaannya dipercaya hanya sebagai dongeng belaka, tapi aku tidak takut. Pergilah ke sanggar. Tunggu aku di sana. Sebelum ayam berkokok untuk terakhir kalinya malam ini, persoalan diantara kita berdua harus sudah tuntas.” Berdesir dada Anjani. Tidak ada gunanya lagi baginya untuk memberi penjelasan apa yang sebenarnya telah terjadi antara dirinya dengan suami Sekar Mirah itu. Menilik dari wajah dan sorot mata Sekar Mirah, perempuan itu agaknya sudah benar-benar waringuten dibakar api cemburu yang telah menghanguskan jantungnya dan tidak dapat diajak bicara lagi, kecuali dengan mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Namun Anjani bukanlah anak kemarin sore yang menjadi silau dan gemetar melihat senjata mengerikan di tangan Sekar Mirah. Anjani pernah mengalami kehidupan yang kelam dalam asuhan kedua gurunya. Anjani dipaksa untuk tumbuh menjadi perempuan yang kasar dan liar serta mengesampingkan segala paugeran yang berlaku dalam kehidupan bebrayan agung, walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatinya masih terpancar sinar pelita hati betapa pun lemahnya. Perkenalannya dengan Ki Ageng Sela Gilang atau Ki Singa Wana Sepuh guru Pangeran Ranapati telah banyak membantunya mengenal kehidupan bebrayan yang ternyata tidak hanya hitam dan kelam sebagaimana ajaran kedua gurunya. Di sela-sela kesibukan kedua gurunya menghadap pangeran Ranapati di Kadipaten Panaraga, Anjani selalu menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan Ki Singa Wana Sepuh. Demikianlah ketika dia kemudian bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu, seakan-akan dia telah mendapatkan sebuah isyarat bahwa Ki Rangga lah yang akan menjadi lantaran baginya untuk dapat terbebas dari kekejaman kedua gurunya. “Anjani..!” bentakan Sekar Mirah telah membuyarkan lamunan Anjani, “Sekarang juga, keluarlah dari bilik ini! Jika memang engkau terlalu pengecut untuk menerima tantanganku, sebaiknya engkau segera meninggalkan Menoreh dan jangan pernah menampakkan diri lagi!” Kembali sebuah desir tajam menggores jantung Anjani. Betapa pun Anjani telah merasa bersalah, namun dia bukanlah seekor cacing yang dengan sedemikian mudahnya untuk direndahkan. Harga dirinya pun terusik. “Mbokayu,” jawab Anjani kemudian dengan suara yang tenang dan mantap, “Terima kasih atas segala kebaikan hati mbokayu selama ini. Aku merasa terhormat menerima tantangan mbokayu untuk berperang tanding. Dengan senang hati aku terima tantangan ini, apapun alasannya aku sudah tidak peduli lagi. Betapapun hinanya diriku ini di hadapan mbokayu, akan tetapi harga diriku harus aku junjung tinggi. Aku tunggu mbokayu di sanggar.” Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban Sekar Mirah, Anjani dengan langkah tergesa-gesa segera berlalu dari tempat itu. Sepeninggal Anjani, untuk beberapa saat Sekar Mirah masih berdiri termangu-mangu di tengah-tengah bilik. Berbagai perasaan sedang bergejolak di dalam dadanya. Ada sedikit perasaan bimbang yang bergelayut di hatinya. Bukankah dia belum menanyakan permasalahan yang sebenarnya ini kepada suaminya? Sejauh manakah hubungan yang telah terjalin di antara mereka berdua selama ini? Ki Rangga Agung Sedayu selama ini dikenalnya sebagai seorang suami yang lurus dan jujur. Adakah telah terjadi perubahan di dalam diri suaminya itu? “Kemungkinan itu tetap ada, selama kita masih berujud manusia,” berkata Sekar Mirah dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengendorkan gemuruh di dalam dadanya, “Manusia tidak pernah luput dari salah dan lupa.” Betapa kekecewaan dan kesedihan merajam jiwa dan raga Sekar Mirah, namun dia harus tetap tegar. Sebentar lagi dia akan menghadapi pertarungan antara hidup dan mati, dan dia masih ingin tetap hidup untuk melanjutkan cita-citanya. “Aku tidak boleh terbawa oleh penalaranku yang buram,” kembali Sekar Mirah berkata dalam hati sambil berjalan menuju ke pembaringan, “Jika aku terlalu menuruti perasaanku, dalam pertempuran nanti segala perhitungan dan pengetrapan ilmu-ilmu yang telah aku pelajari akan menjadi tumpang tindih dan dengan mudah akan terbaca oleh lawan.” Sejenak Sekar Mirah masih berdiri di tepi pembaringan sambil merenungi Bagus Sadewa yang tidur lelap. “Anak ini memang aneh,” desis Sekar Mirah dalam hati, “Seolah-olah dia tidak terpengaruh dengan keadaan sekelilingnya, jika memang itu tidak akan membahayakan dirinya. Namun jika keadaan berkembang lain, dia akan terbangun dan menangis keras-keras. Biasanya begitu mendengar suara gaduh, bayi-bayi akan terbangun dan menangis karena merasa terganggu. Agaknya panggraita anak ini sangat tajam melampaui anak-anak sebayanya..” Kembali Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil duduk di tepi pembaringan, diletakkannya tongkat baja putih itu di samping Bagus Sadewa. Ketika dia kemudian membungkukkan badan untuk mencium pipi anaknya, tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam telah menangkap langkah-langkah seseorang mendekati pintu bilik. Ketika Sekar Mirah kemudian berpaling, tampak Pandan Wangi sedang berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik. Hampir saja Sekar Mirah berlari dan menubruk Pandan Wangi untuk meluapkan segenap kegelisahannya. Namun ternyata Sekar Mirah telah mampu menguasai dirinya dengan sebaik-baiknya. Maka katanya kemudian sambil tersenyum ke arah Pandan Wangi, senyum yang setengah dipaksakan, “Marilah mbokayu. Mungkin ada sesuatu yang penting sehingga mbokayu memutuskan untuk kembali ke bilik ini.” Pandan Wangi tidak segera menjawab pertanyaan Sekar Mirah. Dipandangnya wajah adik suaminya itu dengan pandangan yang tajam, setajam ujung pedang bermata rangkap yang tergantung di sebelah menyebelah lambungnya. Betapa pun Sekar Mirah mencoba untuk menyembunyikan perasaan yang sedang bergejolak di dalam dadanya, namun Pandan Wangi yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan gonjang-ganjing di rumah tangganya sendiri itu tetap mampu menangkap kegalauan yang tersirat dalam seraut wajah adik iparnya itu. Dengan langkah perlahan Pandan Wangi berjalan memasuki bilik. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Sekar Mirah yang menunduk dan berpura-pura sibuk membenahi selimut Bagus Sadewa. “Mirah,” desis Pandan Wangi perlahan sambil duduk di sebelah Sekar Mirah, “Aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari dalam bilik ini,” Pandan Wangi berhenti sebentar untuk melihat kesan di wajah adik iparnya itu. Lanjutnya kemudian, “Aku juga mendengar dinding bilik ini berderak derak seakan mau runtuh. Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” Untuk sejenak Sekar Mirah hanya berdiam diri. Dicobanya untuk menahan isak tangis yang tiba-tiba saja berdesak-desakan ingin keluar dari tenggorokannya. Sementara dari kedua sudut matanya perlahan menitik satu-satu air mata yang bening. “Mirah,” kembali Pandan wangi berkata lembut sambil menyentuh pundak adik iparnya, “Sedikit banyak aku telah mengetahui hubungan Anjani dengan Kakang Aging Sedayu.” Bagaikan disengat ribuan kalajengking, Sekar Mirah pun terkejut bukan alang kepalang. Sambil menegakkan punggungnya dan kening yang berkerut-merut, dia menantap tajam kearah wajah mbokayunya. Terdengar suaranya bergetar dan sedikit tersendat, “Mbokayu sudah mengetahui persoalan suamiku dengan Anjani? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?” Mendapat pertanyaan seperti itu, untuk beberapa saat Pandan Wangi justru terdiam. Namun Pandan Wangi segera dapat menguasai dirinya, maka jawabnya kemudian, “Kakang Agung Sedayu pernah bercerita tentang hubungannya dengan Anjani pada saat kami berada di tepian kali praga sebelum pecah perang antara pengikut Panembahan Cahya Warastra dengan pasukan Mataram yang dibantu oleh pasukan pengawal Tanah Peridkan Menoreh.” Kedua mata Sekar Mirah menunjukkan keheranan yang sangat. Dengan mengerutkan keningnya dalam-dalam dia kembali mengajukan pertanyaan, “Mengapa mbokayu selama ini tidak pernah bercerita kepadaku? Mengapa mbokayu? Apakah sebenarnya yang telah terjadi di antara kita selama ini? Bukankah kita ini sebuah keluarga besar yang saling membantu jika salah satu dari kita mendapatkan masalah? Mengapa justru mbokayu diam saja? Aku benar-benar tidak habis mengerti.” Selesai berkata demikian Sekar Mirah segera menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil menahan perasaan yang kembali bergejolak di dalam hatinya. Dengan sekuat tenaga Sekar Mirah mencoba untuk tidak menangis. “Aku bukan perempuan cengeng,” geram Sekar Mirah mengeraskan hatinya, “Aku perempuan yang mempunyai kelebihan dibanding dengan perempuan kebanyakan. Perempuan kebanyakan hanya mampu merengek dan meratapi nasib yang jelek jika suami mereka berpaling kepada perempuan lain, namun aku tidak. Akan aku selesaikan permasalahan ini dengan caraku sendiri.” Berdesir jantung Pandan Wangi mendengar kata-kata Sekar Mirah. Walaupun ucapan itu seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, namun di sudut hati Pandan Wangi yang paling dalam, terasa sesuatu telah tergetar. “Aku memang perempuan cengeng,” keluh Pandan Wangi dalam hati, “Aku hanya dapat meratapi nasibku yang jelek ketika kakang Swandaru berpaling kepada perempuan lain,” Pandan Wangi menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak. Katanya kemudian, “Maafkan aku, Mirah. Sejujurnya aku memang menunggu waktu yang tepat. Namun bukan berarti aku mengulur waktu dengan suatu pamrih pribadi. Tidak, Mirah. Justru aku menunggu saat yang tepat sampai Kakang Agung Sedayu sudah benar-benar sembuh dari sakitnya. Aku akan mengingatkan kakang Agung Sedayu tentang masalah ini dan biarlah dia sendiri yang akan menjelaskan kepadamu duduk permasalahan yang sebenarnya telah terjadi antara Kakang Agung Sedayu dengan Anjani, agar tidak terjadi salah paham.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Pandan Wangi. Sebuah desir tajam tiba-tiba menggores jantungnya. “Apa maksud mbokayu ini sebenarnya?” berkata Sekar Mirah dalam hati, “Mengapa mesti menunggu sampai kakang Agung Sedayu sembuh? Seharusnya dengan mendengar langsung permasalahan ini dari kakang Agung Sedayu, mbokayu Pandan Wangi berkewajiban menyampaikannya kepadaku. Bukan malah sebaliknya, seolah-olah mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja masalah ini bergulir semakin besar.” Sejenak Sekar Mirah berhenti berangan-angan. Ketika tanpa sengaja sudut matanya tertumbuk pada sepasang pedang yang tergantung di lambung mbokayunya, tanpa sadar tangan Sekar Mirah tiba-tiba saja terjulur untuk meraih tongkat baja putihnya yang tergeletak di sisi Bagus Sadewa. “Mirah?” terkejut Pandan Wangi yang menyadari di tangan kanan Sekar Mirah telah tergenggam senjata kebanggaan perguruan Kedungjati. Dengan cepat putri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa yang akan engkau perbuat dengan tongkat baja putihmu itu, Mirah?” Sekar Mirah tidak segera menjawab. Dipandangi kakak iparnya itu dengan pandangan tajam dan wajah yang tegang. Ingatannya segera melayang ke masa berpuluh tahun yang silam. “Pertama kali aku berjumpa dengan mbokayu ini, aku sudah dapat menangkap perasaan apa yang sedang berkembang di hatinya terhadap kakang Agung Sedayu,” berkata Sekar Mirah dalam hati mengenang masa lalu. “Kehadiranku di Menoreh dan kenyataan yang telah terjadi antara aku dan kakang Agung Sedayu agaknya tidak meredupkan cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu. Itu terbukti ketika keluarga mbokayu sedang mendapat cobaan. Ketika kakang Swandaru tergoda dengan perempuan lain, seharusnya orang pertama yang dijadikan tempat berkeluh kesah adalah ayahnya, Ki Argapati. Akan tetapi mengapa mbokayu justru telah berkunjung ke rumah kami terlebih dahulu, bukan ke rumahnya sendiri? Menyampaikan segala keluh kesahnya kepada kakang Agung Sedayu, bukan kepada ayahnya Ki Argapati?” “Bukankah kakang Agung Sedayu adalah saudara tua seperguruan kakang Swandaru dan sekaligus sebagai pengganti gurunya yang telah tiada?” jawab suara hatinya yang lain, “Sudah sewajarnya jika kejadian yang menyangkut kakang Swandaru harus dilaporkan kepada kakak seperguruannya.” “Tetapi bukankah kejadian itu tidak ada sangkut pautnya dengan paugeran atau pun wewaler sebuah perguruan? Mengapa mesti kepada kakang Agung Sedayu?” kembali suara hatinya yang lain menjawab. “Mungkin ada juga sangkut pautnya dengan paugeran atau wewaler dari perguruan orang bercambuk itu. Setiap perguruan tentu mempunyai paugeran atau wewaler yang khusus.” terdengar jawaban dari sudut hatinya yang dalam walaupun ada sedikit keraguan. Angan-angan Sekar Mirah tiba-tiba terputus ketika terdengar Pandan Wangi mengulangi pertanyaannya, “Untuk apa tongkat baja putih itu, Mirah?” Namun jawaban yang diterima Pandan Wangi justru sebuah pertanyaan yang membuat sekujur tubuhnya bagaikan disiram banyu sewindu sehingga membekukan seluruh aliran darahnya. “Mbokayu,” bertanya Sekar Mirah kemudian, “Untuk apakah mbokayu malam-malam begini memakai pakaian khusus lengkap dengan sepasang pedang di lambung?” Tersirap darah Pandan Wangi sampai ke ubun-ubun. Untuk beberapa saat kakak ipar Sekar Mirah itu bagaikan membeku. Ternyata pertanyaan Sekar Mirah itu telah membuat jantungnya bedegup semakin kencang. Namun akhirnya Pandan Wangi segera mampu menguasai diri. Jawabnya kemudian, “Mirah, aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari arah bilikmu, dan juga suara dinding yang berderak-derak telah membuat aku harus waspada dengan apa yang sedang terjadi. Sungguh, Mirah. Aku tidak ada maksud apa-apa dengan pakaian khusus dan sepasang pedang ini. Aku hanya berjaga-jaga jika sesuatu berkembang semakin buruk, aku sudah siap.” “Apakah mbokayu sudah mengetahui atau setidaknya menduga apa yang akan terjadi antara aku dan Anjani?” kejar Sekar Mirah kemudian. “O, tidak tidak,” jawab Pandan Wangi dengan serta merta dengan raut wajah sedikit memerah, “Aku memang sempat menangkap kata-kata Anjani sebelum meninggalkan bilik ini yang ..” “Dan di pihak manakah mbokayu akan berdiri ..?” potong Sekar Mirah dengan cepat sambil memandang tajam ke arah mbokayunya. Seakan-akan ingin dijenguknya isi dada Pandan Wangi. Kali ini jantung Pandan Wangi benar-benar bagaikan tersulut bara api dari tempurung kelapa. Dia tidak menduga bahwa adik iparnya itu akan berpikir sampai sejauh itu dalam menanggapi dirinya yang telah siap dengan pakaian khususnya dan sepasang pedang di lambung. “Mirah,” berkata Pandan Wangi kemudian setelah gemuruh di dalam dadanya sedikit mereda, “Mengapa engkau begitu mudahnya berburuk sangka kepadaku? Apa salahnya jika memang aku mengenakan pakaian khusus ini? Seperti telah aku katakan sebelumnya, aku tidak tahu keadaan sebenarnya yang telah terjadi dalam bilik ini. Tidak ada salahnya jika aku berjaga-jaga dan selalu siap dalam menghadapi keadaan yang tidak menentu,” Pandan Wangi berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja bagaikan tercekik. Lanjutnya kemudian, “Dalam hal Anjani, aku tidak berhak mencampuri urusan keluargamu. Berbicaralah dengan kakang Agung Sedayu. Aku tahu suamimu adalah seorang laki-laki sejati yang selalu memegang janji.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kedua sorot matanya memandang tajam ke arah Pandan Wangi seolah-olah ingin ditembusnya dada putri satu-satu Ki Gede Menoreh itu untuk melihat apa warna jantungnya. “Mbokayu,” terdengar lirih suara Sekar Mirah namun penuh dengan getaran perasaan, “Aku ingin mbokayu berkata jujur. Sebenarnya masih adakah rasa cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu?” Jika ada petir yang menyambar sejengkal di atas kepalanya, Pandan Wangi tentu tidak akan sekaget mendengar pertanyaan dari adik iparnya itu. Untuk beberapa saat pandangan Pandan Wangi menjadi berkunang-kunang dan nafasnya pun bagaikan tersumbat. “Mbokayu..?” desis Sekar Mirah perlahan begitu melihat Pandan Wangi tiba-tiba saja mengeluh pendek sambil menunduk dan memegangi kepalanya dengan kedua belah tangannya. Namun Pandan Wangi adalah perempuan yang sudah terbiasa dengan kehidupan yang sarat dengan duka lara, walaupun dia pada kenyataannya adalah putri satu-satunya kepala Tanah Perdikan Menoreh. Hatinya telah ditempa untuk menderita sejak kanak-kanak. Sejak ibu yang mengandung dan melahirkannya pergi dari sisinya untuk selama-lamanya. Kemudian ketika dia menginjak remaja, Sidanti saudara laki-laki satu-satunya kemudian juga telah pergi untuk menuntut ilmu ke tempat yang jauh bersama gururnya. Kebahagian sebagai keluarga yang berkumpul kembali hampir saja diraihnya ketika kakaknya Sidanti dan gurunya datang ke Menoreh, walaupun kesan pertama atas pertemuan mereka itu dirasakannya agak janggal. Dan ternyata kedatangan Sidanti memang tidak untuk membawakan setangkai bunga mawar yang indah untuk adik satu-satunya itu. Yang dibawa adalah seonggok bara yang kemudian membara dan membakar seluruh tanah Perdikan Menoreh menjadi abu. “Mirah,” pelan Pandan Wangi berkata sambil mengangkat wajahnya. Wajah yang terlihat sangat letih dan kosong. Perempuan kelahiran Menoreh ini memang luar biasa. Segala perasaan dan tekanan yang sedahsyat apapun telah mampu diendapkan didasar hatinya, walaupun untuk semua itu dia harus mengabaikan perasaannya. Lanjutnya kemudian, “Itu semua adalah masa lalu. Mengapa mesti diungkap kembali? Biarlah menjadi kenangan manis atau pun pahit dalam kehidupan kita masing-masing. Yang ada di dalam kehidupanku sekarang adalah kakang Swandaru, betapapun dia telah berkali-kali menyakiti hatiku. Namun bagiku, kakang Swandaru adalah tetap sebagai suamiku dan ayah dari anakku.” Kalimat terakhir dari mbokayunya itu bagaikan seribu jarum yang menghujam ke jantung Sekar Mirah. Betapa dia tahu kakak iparnya itu di masa gadisnya pernah menaruh harapan kepada Gupita, seorang anak gembala yang ternyata bernama Agung Sedayu. Namun biduk cinta yang baru berlayar untuk pertama kalinya itu pun akhirnya harus pecah berkeping keping dan kemudian karam di kedalaman laut kehidupan yang tak terukur, setelah Pandan Wangi mengetahui hubungan yang telah terjalin antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. “Sudahlah Mirah,” berkata Pandan Wangi selanjutnya begitu melihat Sekar Mirah hanya diam membeku, “Aku tidak ingin memperkeruh suasana. Tidak ada niat sebiji sawi pun di dalam hatiku untuk membiarkan rumah tanggamu menjadi goyah. Lebih baik engkau tanyakan sendiri persoalan keluargamu ini nantinya langsung kepada suamimu, sehingga apa yang akan engkau dengar nanti benar-benar sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi.” Sekar Mirah masih diam membisu, namun wajahnya sudah tidak setegang tadi. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat baja putihnya tampak terkulai lemah di atas pembaringan. “Aku akan ke sanggar, menengok keadaan Anjani,” berkata Pandan Wangi selanjutnya sambil bangkit dari duduknya, “Aku tidak ingin kalian mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit hanya karena persoalan seorang laki-laki. Betapa pun hebat dan sempurnanya laki-laki yang kalian perebutkan itu, semua itu tidak sepadan dengan harkat dan martabat kita sebagai perempuan.” Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan Sekar Mirah, Pandan wangi pun segera melangkah menuju ke pintu bilik. “Mbokayu..,” tiba-tiba terdengar suara sendat Sekar Mirah ketika langkah Pandan Wangi hampir mencapai pintu bilik. Ketika Pandan Wangi kemudian memutar tubuhnya, tampak Sekar Mirah telah bangkit dari duduknya dan berdiri termangu-mangu di tepi pembaringan. Senjata andalannya yang nggegirisi itu tampak tergolek di tepi pembaringan. “Ada apa Mirah?” terdengar sareh suara Pandan Wangi. Sejenak Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang mbokayunya dengan sepasang mata yang basah, terdengar suaranya lirih dan sendat, “Terima kasih mbokayu dan maafkan atas keterlanjuranku.” Pandan Wangi tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil melangkah kembali menuju pintu bilik, “Renungkanlah terlebih dahulu apa yang akan engkau perbuat. Dengan nalar yang dingin dan hati yang pasrah, berdoalah kepada Yang Maha Agung agar engkau diberi petunjuk.” Sekar Mirah hanya dapat menganggukkan kepalanya ketika bayangan mbokayunya itu telah hilang di balik pintu. Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirah tampak menjadi sedikit ragu-ragu. Namun ketika terpandang olehnya tongkat baja putih berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu, semangatnya seakan tumbuh lagi. “Apa boleh buat. Seperti mbokayu Pandan Wangi, aku pun harus siap menghadapi segala kemungkinan,” desis Sekar Mirah sambil berjalan menuju geledek dari kayu jati yang terletak di pojok bilik tempat pakaian khususnya tersimpan. Dalam pada itu, sebelum para peronda di gardu-gardu menabuh kentongan dengan nada dara muluk, rombongan Ki Tumenggung Purbarana telah mendekati tikungan Kaliasat. Beberapa saat yang lalu, dengan bantuan pengawal Sangkal Putung yang ikut di dalam rombongan itu, dengan mudah mereka telah melewati Kademangan yang subur itu tanpa hambatan sama sekali. Dengan seijin Ki Tumenggung Purbarana, pengawal yang berasal dari Sangkal Putung itu pun kemudian diperbolehkan untuk tinggal dan tidak ikut meneruskan perjalanan. “Mohon ijin Ki Tumenggung,” berkata salah satu Lurah prajurit yang menyertainya, “Apakah rombongan ini akan belok ke kiri menuju Hutan Macanan atau kah mengambil jalan lurus yang menuju padang rumput Lemah Cengkar sebelum memasuki Jati Anom?” Sejenak Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Menilik isyarat panah berapi yang kita lihat sebelum memasuki kademangan Sangkal Putung tadi, rombongan ini tentu sedang dalam pengamatan orang-orang yang sengaja akan membuat permasalahan dengan kita,” Ki Tumenggung berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pasukan berkuda ini cukup banyak dan memerlukan medan yang luas jika memang akan terjadi pertempuran. Aku lebih cenderung memilih lewat padang rumput Lemah Cengkar. Di padang rumput yang luas itu, nanti kita akan melintas dalam gelar yang luas dan bergerak dengan kecepatan yang tinggi agar sulit untuk disergap.” Lurah prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala. Dengan sebuah hentakan kecil pada perut kudanya, dia melaju ke depan untuk memberi aba-aba agar pasukan berkuda itu mengambil jalan lurus menuju Lemah Cengkar. Ketika pasukan berkuda itu kemudian berderap dengan kecepatan sedang meninggalkan tikungan Kaliasat dan menyusuri sebuah bulak kecil yang langsung menuju lemah Cengkar, mereka pun kembali dikejutkan oleh lontaran panah berapi ke udara tiga kali berturut-turut. Semua orang yang berada di dalam pasukan berkuda itu ternyata sudah tidak terkejut lagi. Justru isyarat itu telah membuat mereka segera mempersiapkan diri. “Begitu kita memasuki padang rumput lemah Cengkar, atur jarak kalian,” perintah Ki Tumenggung kepada Lurah prajurit pengapitnya, “Usahakan kalian jangan berjajar dalam satu garis lurus agar memudahkan untuk saling membantu jika sewaktu-waktu terjadi penyergapan. Kita akan bergerak dalam Gelar Glathik Neba.” Para prajurit yang berkuda di sekitar Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar mendengar rencana Ki Tumenggung untuk menggunakan Gelar Glathik Neba selama melintasi padang rumput lemah Cengkar. “Sebuah gelar yang berbahaya,” hampir semua prajurit yang mendengar kata-kata Ki Tumenggung itu berkata dalam hati. Tak terkecuali Lurah pengapitnya tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mohon maaf Ki Tumenggung. Kita sedang membawa tawanan yang sangat penting dan perlu mendapat perlindungan. Apakah tidak sebaiknya kita menggunakan gelar Cakrabyuha?” Ki Tumenggung tersenyum sambil menjawab, “Engkau benar. Gelar Cakrabyuha memang bertujuan untuk melindungi seseorang atau sesuatu yang sangat penting di pusat gelar, sedangkan gelar Glathik Neba justru akan memberi kesempatan kepada lawan untuk menyusup sampai ke pusat gelar.” Lurah pengapit itu kembali mengerutkan keningnya. Dengan agak ragu-ragu dia kembali bertanya, “Bagaimana dengan keselamatan Pangeran Jayaraga, Ki Tumenggung?” Kembali Ki Tumenggung tersenyum, bahkan kali ini agak lebar. Jawabnya kemudian, “Bukankah Pangeran Jayaraga juga berpakaian seperti prajurit kebanyakan? Mungkin hanya orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu yang masih dapat mengenalinya dalam pakaian prajurit kebanyakan serta dalam keremangan malam.” “Apakah Ki Tumenggung memang dengan sengaja memancing orang yang mengaku trah Mataram itu untuk memasuki pusat gelar?” bertanya Lurah itu selanjutnya. “Ya,” jawab Ki Tumenggung cepat, “Aku memang sengaja ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu,” Ki Tumenggung berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Setelah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, kita segera mengubah gelar menjadi Cakrabyuha.” “Mengapa tidak sekalian saja kita memakai gelar gedhong minep atau jurang grawah pada awal pertempuran sehingga kita tidak perlu mengubah gelar?” bertanya Lurah itu kemudian. Kembali Ki tumenggung tersenyum sambil berpaling ke arah Lurah pengapit yang berkuda di sampingnya, jawabnya kemudian, “Penggunaan gelar gedhong minep atau jurang grawah akan sangat mudah ditebak tujuannya oleh lawan. Mereka tidak akan dengan sukarela memasuki gelar dan terjebak di dalam pusat gelar. Mereka tentu akan menggunakan gelar yang lebar, garuda nglayang atau capit urang misalnya. Sehingga mereka tidak akan langsung menyerbu ke dalam pusat gelar. Sebagai gantinya mereka akan menggunakan kedua sayap atau capit gelar itu untuk menusuk dan menghancurkan dinding gelar gedhong minep atau jurang grawah dari kanan dan kiri. Setelah dinding gelar jebol, barulah mereka akan memasuki gelar dan sekaligus menghancurkannya.” Lurah pengapit itu tampak masih ragu-ragu. Tanyanya kemudian, “Perubahan gelar dalam sebuah pertempuran yang kisruh akan sangat sulit dan tidak jarang membawa korban. Apakah kita mampu melakukannya, Ki Tumenggung?” Senyum Ki Tumenggung semakin lebar menanggapi pertanyaan Lurah prajurit yang masih cukup muda itu. Jawabnya kemudian, “Kita tidak menunggu sampai pertempuran benar-benar pecah. Begitu orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, aku akan menyambutnya dan kalian segera bergerak membentuk gelar Cakrabyuha.” “Apakah para prajurit tidak akan mengalami kesulitan, Ki Tumenggung?” Ki Tumenggung tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Tentu saja tidak. Bukankah kita sudah sering melakukannya pada saat gladhen? Untuk itulah aku menyuruh kalian jangan sampai berjajar dalam satu garis lurus, sehingga pada saat perubahan gelar terjadi, kalian tinggal menyesuaikan dengan cara bergeser beberapa langkah untuk membentuk lingkaran yang berlapis-lapis.” Lurah pengapit itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Maaf Ki Tumenggung. Aku memang sering mengikuti gladhen itu, tapi itu sudah lama sekali terjadi sebelum aku dipindah tugaskan ke Pajang. Dua pekan sebelum keberangkatan pasukan Mataram ke Panaraga, aku diperbantukan ke Mataram dan bergabung dengan pasukan yang melawat ke Panaraga ini.” “O..,” desis Ki Tumenggung sambil mengangguk-angguk. Bertanya Ki Tumenggung kemudian, “Di manakah tempat tugasmu di Pajang?” “Di bagian Pelayan Dalam, Ki Tumenggung.” “O..,” kembali Ki Tumenggung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Itu tidak akan menjadi masalah yang berarti. Tugasmu dalam pasukan ini sebagai senapati pengapit. Engkau tinggal menyesuaikan diri karena engkau akan selalu berada di sampingku.” “Siapakah yang akan memberi aba-aba untuk pergantian gelar?” bertanya Lurah itu kemudian. “Lurah prajurit yang berada di depan dan belakang gelar yang akan menyampaikan setiap perintahku ke seluruh pasukan melalui prajurit penghubung.” Lurah prajurit pengapit itu mengangguk-anggukan kepalanya. Memang sudah sekian lama dia tidak ditugaskan di pasukan yang langsung berhubungan dengan medan perang. Namun pendidikan dasar yang pernah diperolehnya ketika dia mulai menapakkan kakinya di dunia keprajuritan tidak akan pernah hilang dari ingatannya. Tak terasa perjalanan mereka telah mencapai ujung bulak yang pendek itu. Sekarang di hadapan mereka telah terhampar sebuah padang rumput yang luas, padang rumput lemah cengkar. Hampir setiap dada bergetar melihat padang rumput yang luas itu di dalam keremangan malam. Pohon beringin raksasa yang tumbuh di tengah-tengah padang itu terlihat bagaikan seorang raksasa yang sedang berdiri menunggu setiap mangsa yang akan lewat. “Bagaimana kalau cerita tentang siluman harimau putih itu benar-benar ada?” tiba-tiba seorang prajurit yang bertubuh kurus berbisik ke prajurit yang berkuda di sampingnya. “Siluman harimau putih itu memang ada,” sahut kawannya juga dengan berbisik. “Omong kosong!” seru prajurit kurus itu tanpa sadar sehingga beberapa orang telah berpaling ke arah mereka. “Engkau tidak usah berteriak,” desis kawannya, “Ada atau pun tidak ada itu bukan urusan kita. Dengar! Ki Lurah sudah memberi aba-aba untuk membuka gelar.” Dalam pada itu, Lurah prajurit yang berada di depan pasukan telah memberi isyarat untuk membuka gelar, sebuah gelar yang menurut perhitungan nalar memang sangat berbahaya jika diperuntukkan mengawal seseorang yang sangat penting. Namun bukan berarti gelar Glathik neba bukan sebuah pilihan yang tepat dalam sebuah pertempuran. Gelar Glathik neba akan digunakan dengan sadar oleh seorang Panglima perang jika kemampuan setiap prajurit orang-perorang di atas rata-rata. Demikianlah, sejenak kemudian ketika gelar itu telah terbentuk secara utuh, kembali terengar isyarat untuk segera memacu kuda-kuda itu dalam kecepatan tinggi melintasi padang rumput. Namun baru saja pasukan itu mulai memacu kuda-kuda mereka beberapa langkah, terdengar teriakan yang menggelegar memecah kesunyian malam di lemah cengkar. “Berhenti..!” teriakan yang disertai dengan tenaga cadangan yang mumpuni itu ternyata telah menggoncang setiap dada. Kuda-kuda yang sudah mulai melaju itu pun kemudian dikekang dengan tiba-tiba. Beberapa ekor kuda tampak mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil meringkik keras-keras. Untunglah para prajurit itu sudah terlatih menggendalikan kuda, sehingga dengan segera mereka mampu menguasai kuda-kuda itu tanpa kesulitan yang berarti. Ki Tumenggung yang belum sempat memacu kudanya kencang-kencang itu untuk sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Walaupun malam cukup gelap, namun pandangan matanya yang tajam melebihi orang kebanyakan segera tahu siapakah yang telah berteriak untuk menghentikan laju kuda-kuda itu. “Maaf Pangeran,” desis Ki Tumenggung kemudian sambil merapatkan kudanya di sisi kuda Pangeran Jayaraga, “Apakah ada suatu kepentingan yang mendesak sehingga Pangeran telah menghentikan laju kuda-kuda kami?” Pangeran Jayaraga tidak segera menjawab. Diedarkan pandangan matanya ke segenap sudut-sudut padang rumput Lemah Cengkar yang tampak sunyi namun mendebarkan. Jawabnya sejenak kemudian, “Engkau terlalu ceroboh dengan memerintahkan pasukanmu berpacu dengan kecepatan tinggi untuk melintasi padang rumput ini. Apakah engkau sudah yakin dengan siasatmu itu, Ki Tumenggung?” Kembali Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Betapapun hatinya sedikit kesal dengan pertanyaan itu, namun pertanyaan Pangeran Jayaraga itu pun kemudian dijawabnya juga, “Kita adalah sepasukan berkuda yang terlatih. Dengan menggunakan gelar Glathik Neba dan berpacu dalam kecepatan tinggi, lawan yang hanya berdiri di atas kedua kaki mereka, tidak akan mampu menahan gerak pasukan ini.” Pangeran Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Engkau melupakan sesuatu, Ki Tumenggung. Orang-orang itu akan menggunakan akal yang licik untuk menjebak pasukan ini. Mereka tidak akan merasa bersalah atau pun malu untuk menggunakan cara-cara licik dalam menghancurkan lawan,” Pangeran Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah pernah terlintas dalam benakmu bahwa mereka mungkin saja telah menaruh jebakan di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh hampir setinggi pinggang itu? Aku tadi sempat melihat gerakan yang mencurigakan di antara rumput-rumput ilalang jauh di depan sana. Agaknya mereka sedang menunggu kita dengan senjata terhunus. Begitu kuda-kuda kita terjatuh karena melanggar jebakan yang telah mereka buat, dengan mudahnya ujung-ujung pedang mereka akan menembus dada para prajurit Mataram yang sedang dalam keadaan tidak berdaya.” Berdesir dada Ki Tumenggung Purbarana mendengar penjelasan Pangeran Mataram itu. Dengan cepat dia menghentak kudanya maju ke depan. Ketika kuda Ki Tumenggung kemudian maju beberapa tombak ke depan, jantung Ki Tumenggung pun bagaikan meledak. Pandangannya yang tajam segera melihat apa yang dimaksud oleh Pangeran Jayaraga. Di antara rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar hampir setinggi pinggang, tampak tali-tali yang terjulur silang melintang yang diikatkan pada pathok-pathok kayu setinggi setengah lutut orang dewasa. “Gila! Licik! Pengecut!” geram Ki Tumenggung sambil membungkuk dan mengayunkan pedang dari atas punggung kudanya. Tali-tali yang melintang di hadapannya pun terbabat putus. Ketika dia kemudian mencoba menghela kudanya dengan perlahan maju beberapa langkah lagi, tali-tali yang terikat silang melintang pada pathok-pathok kayu itu pun tampak semakin tak terhitung jumlahnya dan tersebar hampir di seluruh medan yang akan mereka lewati. “Maju..!” teriak Ki Tumenggung tiba-tiba sambil mengangkat senjatanya tinggi-tinggi dan kemudian diputar dua kali di udara sebelum akhirnya senjata itu menunjuk lurus ke depan. Serentak pasukan berkuda itu pun bergerak maju dengan tertib dan teratur dalam gelar sapit urang. Dengan perlahan pasukan itu bergerak. Dengan tetap dari atas punggung kuda masing-masing, senjata para prajurit itu pun terayun-ayun menebas tali-tali yang silang menyilang di hadapan mereka. Dalam pada itu, di tengah-tengah padang rumput lemah cengkar, para pengikut Pangeran Ranapati tampak menunggu dengan gelisah. Mereka bersembunyi di antara lebatnya rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar hampir setinggi pinggang. Sudah sekian lama mereka menunggu sambil berjongkok bahkan ada yang bertiarap. Kegelisahan mereka semakin memuncak ketika mereka melihat dalam keremangan malam pasukan berkuda Mataram itu mulai bergerak memasuki padang rumput. Namun alangkah kecewanya para pengikut Pangeran Ranapati itu. Begitu pasukan berkuda itu mulai berpacu memasuki padang rumput, terdengar teriakan menggelegar memekakkan telinga yang menyuruh pasukan berkuda itu untuk berhenti. “Gila!” geram salah satu pengikut Pangeran Ranapati yang berkumis tebal, “Mengapa mereka berhenti justru pada saat kuda-kuda itu baru saja dipacu? Apakah mereka melihat tali-tali yang telah kita pasang?” “Tentu tidak,” jawab kawan di sebelahnya, “Kita telah memasang pathok-pathok kayu itu agak ke tengah agar tidak mudah untuk dilihat. Namun agaknya salah seorang dari mereka mempunyai panggraita yang sangat tajam sehingga telah mencegah kuda-kuda itu memasuki padang.” Orang berkumis tebal itu hanya dapat mengumpat berkali-kali. Dalam perhitungannya, alangkah mudahnya menghancurkan pasukan berkuda Mataram itu. Begitu kuda-kuda itu berjatuhan dan melemparkan penunggangnya jatuh bergulingan di atas rumput, dengan mudahnya senjata mereka akan menghabisi para prajurit yang sedang tidak berdaya itu. Namun pada kenyataannya seseorang telah mencegah pasukan berkuda itu memasuki padang rumput Lemah Cengkar. Dalam pada itu, Pangeran Ranapati yang berdiri di bawah naungan rimbunnya pohon beringin tua dan terpisah agak jauh dari para pengikutnya, ternyata mempunyai perhitungan yang sama. “Tentu Adimas Pangeran Jayaraga yang telah mencegah pasukan berkuda itu memasuki padang rumput,” geram Pangeran yang mengaku telah terbuang dari lingkungan istana semenjak kanak-kanak, “Seharusnya Adimas Jayaraga menyadari bahwa aku dan para pengikutku justru sedang berupaya untuk membebaskannya dari hukuman.” Namun ternyata Pangeran Jayaraga telah menyadari dosa-dosanya dan berupaya untuk meluruskan kembali jalan hidupnya dengan mengikuti paugeran yang berlaku. Baik paugeran dalam tata pemerintahan Mataram, maupun paugeran dalam kehidupan kesehariannya yang berhubungan dengan bebrayan agung. Untuk sejenak suasana sangat mencekam. Pasukan berkuda itu bergerak dengan derap perlahan namun pasti. Ketika pasukan itu sudah hampir mencapai tengah-tengah padang, agaknya Pangeran Ranapati sudah tidak dapat menunggu lagi. Sejenak kemudian terdengar suara burung kedasih yang ngelangut dan menggetarkan jantung tiga kali berturut-turut. Agaknya suara burung kedasih itu sebagai isyarat bagi para pengikutnya untuk bergerak. Ki Tumenggung Purbarana pun ternyata juga mendengar suara burung kedasih itu. Sebagai seorang prajurit yang telah kenyang makan asam garamnya pertempuran, isyarat itu telah memberinya peringatan bahwa sebentar lagi lawan akan menyerang. Demikianlah akhirnya, para pengikut Pangeran Ranapati pun telah bermunculan dari tempat persembunyian mereka. Bagaikan hantu-hantu yang bangkit dari kuburnya, mereka segera meloncat keluar dan berlari berhamburan sambil berteriak-teriak dan mengumpat-umpat. Senjata-senjata mereka tampak teracu-acu mendebarkan dan berkilat-kilat tertimpa siraman sinar bulan tua. Jumlah mereka ternyata cukup banyak bahkan sepintas melebihi jumlah pasukan berkuda Mataram. “Maaf Ki Tumenggung,” berkata Lurah prajurit pengapit kepada Ki Tumenggung Purbarana yang tampak membeku di atas punggung kudanya, “Apakah kita akan bertempur dari atas punggung kuda?” “Ya,” jawab Ki Tumenggung dengan serta merta, “Namun kita jangan terpancing untuk maju ke depan lagi. Kita bertahan di sini saja. Masih banyak jebakan yang mereka pasang di depan. Kuda-kuda kita akan mengalami kesulitan.” “Baik Ki Tumenggung,” jawab Lurah pengapit itu sambil menggeser kudanya agak ke samping. Sementara Ki Tumenggung segera memberi isyarat kepada seorang Lurah prajurit yang berada beberapa langkah di depannya untuk memberi aba-aba. Sejenak kemudian terdengar aba-aba dari Lurah prajurit itu. Pasukan berkuda itu pun dengan cepat segera bergerak mundur beberapa langkah. Senjata-senjata pun mulai merunduk siap menyambut serangan lawan. Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar perhitungan Ki Tumenggung Purbarana. Ketika para pengikut Pangeran Ranapati yang berlari-larian itu telah menjadi semakin dekat dengan tempat pasukan berkuda Mataram bertahan, tiba-tiba beberapa orang yang berada di barisan paling depan justru telah berhenti dan mengambil sikap. Dengan cekatan dan terampil mereka segera mempersiapkan busur dan anak panah. Pada awalnya pasukan berkuda Mataram mengira bahwa lawan akan menyerang dengan mempergunakan senjata jarak jauh. Namun pandangan tajam Ki Tumenggung Purbarana segera mengenali jenis anak panah yang digunakan oleh lawan. Anak panah itu bukan seperti anak panah biasanya yang tajam ujungnya. Ujung anak panah itu tampak tumpul dan dibebat dengan secarik kain. Sebelum pasukan Mataram menyadari apa yang akan dilakukan oleh para pengikut Pangeran Ranapati itu, tampak beberapa orang yang membawa busur dan anak panah itu telah mencelupkan ujung-ujung anak panah itu pada bumbung-bumbung kecil yang berada di ikat pinggang mereka. Ternyata bumbung-bumbung itu berisi minyak jarak. Sejenak kemudian batu-batu titikan telah dinyalakan pada sejumput gelugut aren. Segera saja ujung-ujung panah itu pun dinyalakan dan api pun berkobar di setiap ujung anak panah. “Gila!” teriak Lurah prajurit yang berada di paling depan, “Mereka akan menakut-nakuti kuda-kuda kita dengan panah berapi!” Namun ternyata dugaan Lurah prajurit itu meleset. Panah-panah berapi itu justru telah terlontar ke atas melewati pasukan berkuda itu dan jatuh di atas rumput-rumput ilalang di belakang mereka. Yang terjadi kemudian adalah sangat mendebarkan. Rumput-rumput ilalang itu pun dengan mudah segera terbakar dan menjalar dengan cepat. Kobaran api yang semakin membesar dan meluas itu ternyata telah membuat kuda-kuda pasukan Mataram menjadi gelisah dan ketakutan. Sebenarnya lah para prajurit Mataram itu sudah terbiasa dalam berlatih mengendalikan kuda. Namun api yang berkobar-kobar dengan dahsyatnya itu telah membuat kuda-kuda menjadi sangat liar dan sulit dikendalikan. Di saat keadaan pasukan Mataram sedang dilanda kesulitan itu lah, Ki Tumenggung Purbarana segera mengambil sebuah keputusan yang berani. “Turun dari kuda-kuda kalian!” teriak Ki Tumenggung kemudian, “Kita akan bertempur di atas tanah. Sekalian lecut kuda-kuda kalian!” Perintah itu tidak perlu diulangi sekali lagi karena para prajurit sudah tanggap akan maksud pemimpin mereka. Dengan tangkas para prajurit segera berloncatan turun dari kuda masing-masing. Begitu kaki mereka menjejak tanah, dengan sebuah sentuhan yang cukup keras pada bagian belakangnya, kuda-kuda itu pun menjadi semakin liar dan meloncat berlari sekencang-kencangnya ke arah depan dan menerjang apa saja yang menghalanginya. Sekarang giliran para pengikut Pangeran Ranapati yang dibuat terkejut bukan alang kepalang. Mereka tidak mengira kuda-kuda itu justru telah berlari kencang ke arah mereka. Namun agaknya tali-tali jebakan yang mereka buat di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar setinggi pinggang telah membuat beberapa ekor kuda jatuh terjerembab sebelum sempat melanggar para pengikut pangeran Ranapati. Walaupun dengan cepat kuda-kuda yang terjerembap itu kemudian bangkit berdiri dan kembali berlari. Sejenak medan di padang rumput lemah cengkar itu pun menjadi semakin kisruh. Beberapa pengikut Pangeran Ranapati sebagian telah berloncatan menghindari terjangan kuda-kuda yang luput dari tali jebakan. Namun tidak urung ada juga satu dua orang yang tidak sempat mengindar dan terjatuh terkena terjangan kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dalam pada itu, api yang membakar rumput ilalang di belakang pasukan Mataram menjadi semakin membesar dan meluas. Ki Tumenggung yang melihat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh api itu segera memerintahkan prajurit yang berada di barisan paling belakang untuk memadamkan api. Dengan cepat beberapa prajurit segera berpencar dan mencari apa saja yang dapat dijadikan alat untuk memadamkan api. Namun padang rumput lemah cengkar itu sangat luas dan diperlukan waktu untuk mencapai pepeohonan dan semak belukar yang tumbur di pinggir padang. Sementara para prajurit tidak berani meninggalkan pasukannya terlalu jauh. Lawan setiap saat dapat menyerbu. Betapapun para prajurit itu telah berusaha dengan alat seadanya, tombak-tombak panjang, perisai-perisai maupun pedang untuk mencegah agar api tidak menjalar semakin luas, namun kebakaran yang sudah terlanjur membesar dan meluas itu ternyata sangat sulit untuk dipadamkan. Di saat para prajurit itu hampir putus asa, tiba-tiba terdengar lamat-lamat sebuah tembang dandanggula yang ngelangut memecah udara malam di sela-sela hiruk pikuk yang terjadi di padang rumput lemah cengkar. Ketika mereka yang berada di padang rumput lemah cengkar itu sedang terpesona oleh tembang dandanggula yang ngelangut itu, tiba-tiba saja udara di atas lemah cengkar dengan cepat berubah menjadi dingin, sedingin banyu sewindu bahkan lebih dingin lagi. Sejenak kemudian, orang-orang yang berada di lemah cengkar itu pun harus berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan jantung mereka agar tetap berdenyut sehingga darah tetap mengalir di sepanjang urat nadi. Hawa dingin yang mencengkam itu benar-benar telah membekukan aliran darah mereka. Namun ternyata kejadian itu hanya berlangsung sekejap. Beberapa saat kemudian udara di atas lemah cengkar itu pun kembali seperti biasa. “Seorang yang sakti telah membantu memadamkan kebakaran itu,” berkata Pangeran Jayaraga dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk menghangatkan dadanya yang hampir saja membeku. Sambil melemparkan pandangan matanya ke tempat api yang telah padam, Pangeran Jayaraga kembali berkata dalam hati, “Berdiri di pihak manakah orang sakti ini? Semoga saja dia hanya menjadi penonton yang baik.” Sementara Pangeran Ranapati yang masih berlindung di bawah bayangan pohon beringin raksasa di tengah-tengah lemah cengkar itu telah mengumpat beberapa kali. “Gila!” geram Pangeran yang lebih di kenal di padukuhan Cepaga dengan nama Teja Wulung, “Aku tahu ini pasti permainan Guru. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Guru?” Namun sebenarnyalah putra laki-laki satu-satunya Rara Ambarasari itu dapat memaklumi apa yang telah dilakukan oleh gurunya. “Sejak muda Guru memang telah bergaul erat dengan alam,” kembali Pangeran Ranapati berangan-angan, “Sudah sewajarnya jika guru tidak rela pada setiap perbuatan yang dapat merusak keseimbangan alam.” Demikianlah akhirnya, padang rumput lemah cengkar itu telah kembali menjadi seperti sediakala. Kedua pasukan itu pun segera menyusun gelar masing-masing dan bersiap untuk saling berbenturan. ***** Dalam pada itu di Tanah Perdikan Menoreh, sebelum para peronda memukul kentongan dengan nada dara muluk, Ki Rangga Agung Sedayu tampak sedang duduk terpekur di hadapan Kanjeng Sunan. Berdua mereka sedang berada di dalam sanggar selepas mendapat jamuan makan malam oleh Ki Gede Menoreh tadi sore. “Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Aku tahu Ki Rangga sebenarnya sudah tidak mempunyai masalah dengan kesehatan Ki Rangga. Bersyukurlah bahwa Yang Maha Agung telah memberikan anugrah berupa kekuatan wadag yang luar biasa kepada Ki Rangga.” “Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil menyembah, “Namun hamba masih memerlukan banyak petunjuk dari Kanjeng Sunan untuk menyempurnakan bekal hamba dalam mengemban tugas sebagai prajurit dan sekaligus sebagai kawula Mataram dalam hubungannya dengan bebrayan agung.” Kanjeng Sunan tersenyum sareh. Katanya kemudian, “Ki Rangga, sebenarnya apakah tujuanmu dengan menempa diri mempelajari semua ilmu jaya kawijayan guna kasantikan itu? Apakah engkau belum merasa cukup dan puas dengan keadaanmu sekarang ini? Apakah engkau ingin menjadi orang yang tak terkalahkan di atas bumi ini? Atau sebenarnya jauh di dalam lubuk hatimu telah terbesit sebuah keinginan untuk meraih mukti wibawa dengan berlandaskan ilmu yang telah engkau kuasai? Engkau ingin menjadi penguasa, Raja misalnya?” Tertegun Ki Rangga mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari Kanjeng Sunan. Seolah olah kini dirinya dihadapkan pada sebuah belanga yang berisi air yang jernih dan tenang. Betapa seluruh noda-noda di wajahnya kini nampak sangat jelas. Apakah yang selama ini dicarinya dengan segala macam ilmu jaya kawijayan guna kasantikan itu? Apakah dengan mempelajari segala macam ilmu itu dirinya dijamin akan selamat jika musuh-musuhnya ingin membalas dendam? bersambung ke bagian 3 Pages 1 2 3 API DI BUKIT MENOREH Judul Buku Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja Gambar Kulit Herry Wibowo Illustrasi Suparto Jilid 396 Jilid Format A5 Halaman 80 halaman Penerbit Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Jilid 1 dicetak tahun 1968, jilid terakhir 396 dicetak tahun 396. SINOPSIS Sudah lupa detil cerita yang sangat panjang ini menyebabkan agak sulit membuat sinopsis tentang Api Di Bukit Menoreh ini Korek sana-sini menemukan sinopsis yang cukup lumayan, saya sunting sebagian untuk blogi ini. Agung Sedayu … Diceritakan sebagai adik dari Untara, tokoh utama Pasukan Pajang yang berjuang melawan sisa pengikut Arya Penangsang yang bergerilya. Ayahnya adalah salah seorang Tokoh Olah Kanuragan yang sepuh, masih dikenal baik Gurunya Kiai Gringsing dan dari aliran baik-baik. Ilmu ayahnya diwarisi tidak matang oleh Pamannya Widura Adik ibunya dan oleh Untara, dan Ilmu lengkap ayahnya justru ditemukannya secara tidak sengaja ketika untuk pertama kalinya Pati Geni memperdalam ilmunya di gua dekat kampungnya, Jati Anom. Agung Sedayu … digambarkan sebagai seorang pemuda yang sangat penakut, bukannya pengecut. Karena bahkan melewati sebuah pohon raksasa di malam haripun dia tidak berani. Karena terlalu dimanjakan ibunya, Sedayu berubah menjadi penakut, apalagi dia selalu berlindung di bawah ketiak kakaknya yang sangat kuat dan jantan serta berilmu. Kepenakutan Sedayu diceritakan hampir selama 30 jilid pertama. Boleh dikata, pembaca jadi sangat mengenal bahkan dari dekat tokoh bernama Agung Sedayu ini, karena moment kepenakutannya diceritakan detail lengkap dengan persaingannya dengan Sidanti, baik dalam Olah Kanuragan terminologi lokal yang cocok pengganti ilmu silat maupun kelak dalam cinta. Meskipun penakut, Agung Sedayu memiliki kemampuan lain yang diatas rata-rata Membidik tepat, baik melalui lemparan maupun memanah yang tidak pernah gagal, serta mampu mengukirkan apa yang dia baca dalam hatinya hingga tidak terlupakannya. Saking detailnya, dibutuhkan puluhan jilid yang mengalir bersama rentetan sejarah dari Demak-Pajang dan berdirinya Mataram. Proses Agung Sedayu menemukan dirinya, mengatasi kepenakutannya diceritakan sangat detail dan lama, sehingga terkesan bertele-tele. Demikian juga prosesnya menempa diri, dari mulai diambil sebagai guru oleh Kiai Gringsing, tokoh utama lain cerita ini, sampai memasuki penempaan mendalam, membutuhkan panjang hingga 100 jilid pertama. Bahkan, dibutuhkan lebih dari 200 jilid baru Kiai Gringsing mempercayakan Kitab Rahasianya untuk didalami oleh Agung Sedayu dan Swandaru adik seperguruannya. Itupun setelah Agung Sedayu memperdalam diri dengan menyempurnakan ilmu ayahnya dan mendalami Kitab Rahasia gurunya yang kedua Jilid 100-200. Dari hanya mampu memainkan ilmu gerak yang biasa nyaris sepanjang 50 jilid pertama, hingga kemudian mampu memainkan cambuk sebagai senjata utama 51-100, sungguh banyak episode yang dilewati dengan menggunakan ilmu-ilmu itu. dALAM mana, penjahat-penjahat sakti semacam Tambak Wedi menjadi lawan guru mereka. Baru pada jilid 100-200, nampaknya Kiai Gringsing mulai memberi kesempatan Agung Sedayu untuk mulai menggantikan tempatnya, dan puncaknya ketika dalam akhir jilid 200, bentrok dengan sesama tokoh sepuh yang sudah dinyatakan punah melalui benturan ilmu-ilmu ampuh yang dinyatakan lenyap, milik Eyang Windunata yang merupakan garis vertikal keturunan prabu terakhir Majapahit. Eyang tersebut adalah kakek langsung Kiai Gringsing yang bersahaja, bahkan salah satu gurunya yang mewariskan ilmu-ilmu ampuh dan menyeramkan. Agung Sedayu Ilmu Kesaktian – Kanuragan SH Mintardja dengan cerdik menggunakan terminologi “Olah Kanuragan” atau Ilmu Kanuragan sebagai ganti Ilmu SIlat. Bahkan dia tidak menyebutnya Pencak atau Pencak SIlat. Tenaga dalampun dinamainya TENAGA CADANGAN, dan semedi dinamakannya MESU DIRI atau PATI GENI. Dalam proses ini, Agung Sedayu memulai Olah Kanuragan dengan diajak dan dipermainkan gurunya. Dia dilatih untuk menghilangkan rasa penakutnya yang meskipun hilang akhirnya, tetapi kelembutannya dan ketidaktegasannya menghadapi dan menghukum orang jahat tidak pernah lepas hingga akhir cerita di jilid 390-an. Tetapi, kehebatan dan bakatnya melalui kemampuan mengingat dan menanamkan dalam hati, membuatnya meski tidak banyak berlatih, ternyata menyerap semua ilmu yang juga dikuasai Untara kakaknya. Mengapa? karena ilmu ayahnya ternyata di catatnya di daun lontar, dan ketika Kiai Gringsing dan Widura melatihnya, tidak lama waktu yang dibutuhkannya untuk mematangkan dirinya. Selama 70 jilid, Agung Sedayu dan Swandaru mengikuti gurunya Kiai Gringsing untuk memperdalam ilmu dengan mengembara hingga ke Menoreh dan bahkan singgah ke Mataram yang mulai dibuka di akhir jilih 100-an. Ilmu Kanuragan Agung Sedayu masih sederhana dan belum mendalam, perbedaannya dengan Swandaru juga maih belum seberapa. Tetapi, ketika konflik mulai memuncak, pertarungan Mataram dan Pajang mulai terjadi, Kiai Gringsing menuntun Agung Sedayu dan Swandaru untuk meningkatkan Ilmu Kanuragan mereka. Agung Sedayu memilih jalur dalam sementara Swandaru memilih jalur keras atau kulit dengan mengandalkan fisik. Agung Sedayu melakukan Mesu Diri untuk mematangkan ilmunya dan memperdalam kemampuan membidiknya serta menemukan Ilmu yang bisa memusnahkan orang dan benda melalui sinar matanya. Perbedaan kemampuan Swandaru dan AGung Sedayu mulai melebar. Uniknya, Swandaru tidak menyadarinya dan selalu merasa sudah melampaui kemampuan kanuragan kakak seperguruannya, Agung Sedayu. Episode paling menarik dari kedua tokoh seperguruan ini dikisahkan dalam episode kedua, JALAN SIMPANG. Swandaru selalu menilai diri terlalu tinggi karena Agung Sedayu selalu terluka melawan tokoh-tokoh sakti yang mulai rajin bermunculan di atas jilid 100. Padahal, melawan tokoh-tokoh ini justru semakin mematangkan Agung Sedayu. Ilmunya meningkat pesat, dan memperoleh pengasihan dari Guru keduanya yang meminjamkan kitabnya dan juga petunjuk Pangeran Benawa dan Raden Sutawidjaya dalam meningkatkan Ilmu. Dari Guru keduanya, Agung Sedayu mampu mengolah dan memperoleh Ilmu Kebal yang luar biasa, mampu mengeluarkan panas membakar dalam puncak Ilmu Kebalnya itu. Mampu bergerak cepat dan melayang-layang secara tidak masuk akal ini mungkin ginkang dan mampu menghadapi ilmu sihir atau santet, bahkan belakangan mampu menemukan ilmu Kakang Pembarep Adi Wuragil dengan memecah diri menjadi 3 seperti Kiai Juru Mentani. Selebihnya, diapun melatih ilmu-ilmu mendengar dari jarak jauh, menyerap bunyi dan mempertajam panggraita atau intuisi dan perasaan. Dari Kiai Gringsing, dia memperoleh ilmu Cambuk yang luar biasa yang mampu menembus Ilmu Kebal dengan lecutan-lecutannya. Bahkan meski tidak diceritakan, sebagai murid terkasih Kiai Gringsing dia juga mewarisi Ilmu Ilmu yang nyaris punah, yakni Ilmu Melepas Awan Pekat, Gelap Ngampar dan Mempengaruhi Indra lawan melalui penciuman, Ilmu yang dimiliki Sesepuh Majapahit. Selain itu, dia juga kebal racun setelah diberi petunjuk oleh Pangeran Benawa, tokoh muda sakti selain Sutawidjaya. Keduanya, Sutawidjaya dan Benawa dianggap tokoh muda tersakti pada masa cerita ini, meskipun perkembangan Agung Sedayu juga dipantau keduanya dengan cermat. Puncak cerita dan menariknya cerita ini, ketika Swandaru yang suka meledak-ledak, emosional dan merasa dari kalangan atas, merasa sudah melampaui kehebatan kakak seperguruannya. Dalam pertarungan yang mengakhiri episode jalan simpang, Agung Sedayu mengajarkan bagaimana kematangan dan kedalaman mengalahkan Swandaru yang mengandalkan Tenaga Fisiknya. Dalam perkelahian yang disadari betul oleh adik Swandaru, Sekar Mirah dan Istri Swandaru ,Pandanwangi, bahwa Swandaru kalah jauh oleh Agung Sedayu karena berkali-kali mereka menyaksikan bagaimana Agung Sedayu berkembang menjadi raksasa Olah Kanuragan, Swandaru telak dikalahkan. Bahkan Sekar Mirah, yang akhirnya menjadi istri Agung Sedayupun, baru menyadari betapa suaminya jauh meninggalkannya dengan swandaru, ketika melihat Suaminya nyaris mati menandingi dan mengalahkan Panglima Sakti dari Pajang dalam sebuah perang tanding yang disaksikan banyak tokoh utama. Untuk membuka mata Swandaru, Agung Sedayu mempergunakan semua Ilmunya, baik Kakang Pembarep Adi Wuragil, Ilmu Kebal, Ilmu Pandang Mata, dan Lecutan Berat yang tidak terdengar telinga biasa tapi telinga batin yang menyakitkan. Semua ilmu kanuragan andalannya dikeluarkan dan membuat Swandaru akhirnya sadar dan terperangah. Episode seudahnya adalah episode pengembaraan Glagah Putih, adik sepupu AGung Sedayu sekaligus muridnya. Sementara Agung Sedayu menempah istrinya dan juga menmpa dirinya dengan kitab gurunya, Kiai Gringsing. Kanuragan Jawa Olah Kanuragan, demikian bahasa Mintardja menggambarkan silat Jawa. Sungguh diambil dari sari dan budaya Jawa sendiri. baik penamaan maupun maknanya. Hal yang menunjukkan betapa Silat Lokal, tidak kalah mutu dibandingkan silat Cina. Measkipun kisah cinta di serial ini kurang menggigit atau malah kering, tetapi kontribusi bagi Ilmu Kanuragan dan rentetan budaya jawa sungguh luar biasa. Layak dibaca dan juga layak dilanjutkan. Karena cerita ini menggantung pada bagian paling akhir. Dikutip dari CATATAN Jilid 1-19 tidak ada naskah djvu-nya sehingga tidak bisa dicek kebenarannya dengan rontal aslinya. Apalagi, jilid 1-11 rupanya beberapa bagian sudah diedit oleh editor terdahulu, sehingga sepertinya bukan karangan ADBM asli Ki SH Mintardja lagi. Mohon dimaklumi. TAUTAN HALAMAN BACA BUKU I. 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030 031 032 033 034 035 036 037 038 039 040 041 042 043 044 045 046 047 048 049 050 051 052 053 054 055 056 057 058 059 060 061 062 063 064 065 066 067 068 069 070 071 072 073 074 075 076 077 078 079 080 081 082 083 084 085 086 087 088 089 090 091 092 093 094 095 096 097 098 098 100 BUKU II. 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 198 100 ♦ 15 Juli 2010 Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka berdua telah terlibat dalam sebuah pekelahian yang semakin sengit. Pedang Sidanti berputar dengan cepatnya sedang senjata khususnya di tangan kiri dipergunakannya sebagai perisai, namun kadang-kadang senjata itulah yang mematuk dengan sangat berbahaya. Sebuah sentuhan dan goresan pada kulit lawan, maka akibatnya akan dapat berarti maut. Tetapi lawan Sidanti itu dapat mempergunakan senjatanya dengan sangat cekatan pula. Sepasang kakinya ternyata terlampau lincah. Loncatan-loncatan yang panjang telah membingungkan lawannya. Ujung tombaknya yang bernama Kiai Pasir Sewukir ternyata dapat menusuk lawannya dari segala arah. Ujung yang satu itu seolah-olah kini berubah menjadi berpuluh-puluh mata tombak yang mematuk dari segenap penjuru. Sementara itu pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Orang-orang Jipang yang berjumlah lebih dari dua kali lipat itu terpaksa menahan nafsu mereka untuk segera dapat membinasakan lawan mereka. Para prajurit Pajang ternyata mampu menguasai medan dengan derap kuda mereka. Bahkan kini orang-orang Jipang sama sekali sudah tidak mampu untuk mengepung para prajurit Pajang yang dapat bergerak lebih cepat dari mereka. Tetapi orang-orang Jipang yang seakan-akan mendapat kesempatan untuk meluapkan dendam mereka itu, bertempur dengan nafsu yang menyala-nyala. Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya adalah penyebab langsung dari kematian Adipati Jipang. Karena itu, maka apabila orang-orang Jipang itu dapat membinasakan keduanya, maka seolah-olah sebagian dari dendam mereka sudah dapat mereka lepaskan. Apalagi jumlah mereka yang jauh lebih banyak dari pada lawan-lawan mereka. Dalam kekalutan peperangan, maka satu demi satu para prajurit Pajang terpaksa berloncatan turun dari kuda-kuda mereka. Orang-orang Jipang yang menemui beberapa kesulitan atas kuda-kuda lawan mereka, ternyata telah berusaha untuk pertama-tama melumpuhkan kuda-kuda itu. Dengan demikian, maka para penunggangnya akan terpaksa turun dan bertempur di atas tanah. Para prajurit Pajang pun menyadari pula cara itu. Sebagian dari mereka yang masih berada di punggung-punggung kuda mereka, kini menyerang orang-orang Jipang dengan cara yang lain. Mereka menyambar-nyambar seperti elang. Menukik, kemudian membubung tinggi. Pedang-pedang mereka yang tajam berkilat-kilat seakan-akan memancarkan sinar yang melontar dari daerah maut. Namun bagaimanapun juga, jumlah yang jauh lebih banyak itupun banyak mempengaruhi keadaan. Apalagi yang berjumlah dua kali lipat itupun terdiri dari prajurit-prajurit yang cukup terlatih dan berpengalaman pula dalam berbagai bentuk pertempuran. Ki Gede Pemanahan melihat keadaan itu dengan hati yang berdebar-debar, tetapi ia tidak dapat melepaskan Ki Tambak Wedi. Bahkan ia harus tetap berusaha mengikat orang tua itu dalam pertempuran melawannya. Meskipun demikian Ki Gede Pemanahan berusaha supaya ia tetap berada di atas punggung kudanya. Meskipun demikian, keadaan yang menguntungkan itu masih belum memuaskan Ki Tambak Wedi. Ia ingin pekerjaan itu cepat selesai. Orang-orang Pajang itu segera dapat dibinasakan, untuk kemudian mereka akan segera menghilang. Setelah mereka berhasil meninggalkan bencana yang akan membakar tidak saja para prajurit Pajang di sangkal Putung, tetapi segenap prajurit Pajang yang tersebar di pasisir Kidul sampai ke pasisir Lor. Meskipun Ki Tambak Wedi menyadari akibatnya kemudian, namun ia telah menyiapkan dirinya untuk menghadapi kemungkinan itu. Ia akan dapat menghimpun kekuatan dengan segera di lereng Merapi ini. Kemudian memanfaatkan kekuatan yang tersimpan di seberang hutan Mentaok, di sepanjang pegunungan Menoreh, daerah yang dikuasai oleh ayah Sidanti. Seorang kepala daerah perdikan yang perkasa. Seorang sahabat yang mempercayakan anaknya kepada Ki Tambak Wedi bukan karena ia sendiri tidak mampu untuk menempa anaknya, tetapi karena pekerjaannya yang hampir merampas seluruh waktunya, maka dipercayakannya anaknya, harapan bagi masa depannya itu kepada seorang sahabatnya, Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka dalam pertempuran itu Ki Tambak Wedi sendiri telah memeras segenap kemampuannya. Namun yang dihadapi adalah Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan. Orang yang kadang-kadang disebut-sebut telah mewarisi kesaktian leluhurnya, mampu menguasai petir. Tetapi yang tampak pada Ki Gede Pemanahan adalah kedahsyatan tangannya. Telapak tangannya benar-benar seperti menyimpan tenaga petir. Apabila tubuh lawannya tersentuh oleh tangan itu, maka akibatnya akan melampaui sebuah pukulan senjata yang betapapun kerasnya. Melampaui hantaman bindi atau bahkan tidak kalah dengan tongkat baja putih Macan Kepatihan. Sedang anaknya, Sutawijaya, yang bertempur melawan Sidanti itupun ternyata memiliki kelincahan yang mengagumkan. Selincah petir yang menari-nari di langit. Sidanti, murid Ki Tambak Wedi yang perkasa itu, terpaksa memeras keringatnya menghadapi ujung tombak Sutawijaya. Berkali-kali Sidanti terpaksa meloncat surut. Berkali-kali Sidanti terpaksa mengumpat tak habis-habisnya. Ujung tombak Sutawijaya seakan-akan memiliki biji-biji mata. Kemana ia menghindar, ujung tombak itu selalu mengejarnya. Kini Sidanti terpaksa mengakui di dalam hatinya, bahwa Sutawijaya tidak hanya dapat bercerita tentang kematian Arya Penangsang yang perkasa. Kini Sidanti terpaksa mengalami kegelisahan karena anak muda itu. Sepasang kakinya seolah-olah tidak lagi terjejak di atas tanah. Berloncatan dari satu sisi ke sisi lawannya yang lain. Meskipun sebenarnya kemampuan Sutawijaya belum mengimbangi kesaktian Arya Penangsang yang sewajarnya, namun Sidanti tidak akan dapat bertahan untuk menghadapinya. Keringatnya mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya, dan bahkan dari telapak tangannya, sehingga gagang pedangnya serasa menjadi licin. “Gila” Sidanti menggeram di dalam hati. Ia tidak menyangka bahwa suatu ketika ia akan berhadapan dengan anak muda selincah itu. Ia pernah berkelahi melawan Agung Sedayu. Pernah pula berkelahi melawan Untara dan Macan Kepatihan. Namun terasa bahwa mereka belum dapat menyamai anak muda yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar ini. Ki Tambak Wedi yang bertempur melawan Ki Gede Pemanahan melihat kesulitan muridnya. Ia melihat Sidanti terus-menerus terdesak mundur. Sidanti kini seakan-akan hanya tinggal mampu mencoba menyelamatkan dirinya. Orang tua itupun mengumpat pula di dalam hatinya. la tidak rela apabila muridnya yang selalu dimanjakannya itu mendapat bencana. Karena itu, maka ia mencoba mencari jalan lain untuk menolong Sidanti. la sendiri tidak dapat meninggalkan Ki Gede Pemanahan yang pasti akan sangat berbahaya bagi orang-orangnya yang lain. Di sudut lain Ki Tambak Wedi melihat Sanakeling bertempur dengan seorang perwira Wira Tamtama. Keduanya memiliki kemampuan yang seimbang, sehingga keduanya tidak segera dapat menguasai lawannya. Tetapi di sisi yang lain lagi Ki Tambak Wedi melihat Alap-Alap Jalatunda bertempur dalam kerumuman yang ribut. Beberapa orang bertempur melawan dua orang perwira Wira Tamtama yang lain. Kedua Wira Tamtama itu ternyata mengalami banyak kesulitan, namun kawan-kawan mereka yang masih berada di atas punggung kuda selalu membantu mereka. Kuda-kuda mereka menyambar-nyambar dengan garangnya, menyerang orang-orang Jipang yang sedang bertempur itu. Ki tambak Wedi menggeram keras. Dengan serta-merta, tanpa malu-malu ia berteriak, “Alap-Alap Jalatunda. Supaya lekas selesai pakerjaan Sidanti, cepat, bantulah ia mengikat kaki dan tangan anak Pemanahan itu. Anak muda itu akan kita bawa ke lereng Merapi, supaya menjadi tontonan, betapa anak muda, yang diceritakan mampu membunuh Arya Penangsang itu, tidak dapat melepaskan diri dari tangan kalian.” Alap-Alap Jalatunda mendengar perintah itu. Segera ia meloncat mundur, melepaskan lawannya kepada kawan-kawannya yang lain. Ketika ia melihat berkeliling, ia melihat Sidanti dalam kesulitan. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat, menerobos perkelahian yang hiruk-pikuk itu, mendekati lingkaran perkelahian Sidanti. Sutawijaya yang melihat kehadiran lawannya yang lain mengerutkan keningnya. Lawannya yang baru inipun masih muda pula. Matanya memancar seperti mata burung alap-alap yang berputaran di udara mencari mangsa. Dengan demikian putera Ki Gede Pemanahan itu menyadari, bahwa pekerjaannya akan menjadi semakin berat. Demikian Alap-Alap Jalatunda menerjunkan dirinya dalam perkelahian itu, segera terasa, bahwa ketrampilannya sangat mambantu ketangkasan Sidanti. Gabungan dari kecakapan mereka masing-masing terasa benar oleh Sutawijaya. Karena itu, terdengar anak muda itu menggeretakkan giginya. Ujung tombaknyapun menjadi semakin cepat berputar dan mematuk-matuk semakin dahsyat. Sementara itu, di jalan yang menuju langsung ke Banjar Desa Sangkal Putung, Sonya masih berpacu di atas punggung kudanya. Darah yang merah segar mengalir tak henti-hentinya dari luka di kakinya, sedang bahunya serasa akan patah. Nafasnya yang sesak, satu-satu berdesakan di lubang hidungnya. Tetapi Sonya masih tetap sadar akan kewajibannya. Ia dapat membayangkan apa yang kira-kira terjadi atas sepasukan kecil prajurit Wira Tamtama yang justru di antaranya adalah panglimanya sendiri. Dengan menahan segala macam perasaan sakit, Sonya manghentak-hentakkan kendali kudanya, supaya berjalan lebih cepat. Ketika ia memasuki desa kecil yang pertama, di hadapan gardu peronda ia memperlambat kudanya. Ketika ia melihat beberapa orang turun dari gardu dan berdiri di sisi-sisi jalan seberang-menyeberang, Sonya segera berhenti. “Kakang Sonya” sapa salah seorang dari mereka dengan sangat terkejut. “Kenapa lukamu itu?” “Berapa orang di sini?” bertanya Sonya tanpa menghiraukan pertanyaan orang itu. “Yang bertugas lima orang, tetapi di sini ada sepuluh orang.” “Kenapa sepuluh?” “Lima orang baru saja datang untuk menggantikan kami yang bertugas malam.” “Bagus,” desis Sonya. “Yang delapan pergi cepat ke bulak sebelah. Di sebelah timur simpang empat telah terjadi pertempuran. Orang-orang Jipang mencegat perjalanan para prajurit yang datang dari Pajang. Di antaranya Ki Gede Pemanahan.” “He?” serentak kesepuluh orang itu menjadi kian terkejut. Hampir bersamaan pula mereka mengulang, “Ki Gede Pemanahan?” “Ya,” sahut Sonya, “jumlah orang Jipang itu jauh lebih banyak. Dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Kalian, delapan orang akan dapat membantu untuk sementara. Aku akan melaporkannya kepada Kakang Widura.” “Baik” sahut para prajurit Pajang itu. Kembali Sonya memacu kudanya. Kembali ia bergulat dengan waktu dan perasaan sakitnya. Tetapi ia harus menyeIesaikan perjalanannya itu. Ia harus sampai ke banjar desa Sangkal Putung. Sepeninggal Sonya, maka delapan orang dari kesepuluh orang di gardu itu segera membenahi diriya. Mereka tidak mengenakan sepenuhnya kelengkapan untuk bertempur. Tetapi sebagai seorang prajurit, maka mereka harus dapat berbuat secepatnya. Dengan tergesa-gesa, bahkan berlari-lari kecil mereka menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Sonya. Sebelah timur simpang empat di tengah-tengah bulak di hadapan mereka. Dari kejauhan mereka segera melihat debu yang mengepul tinggi. Karena itu, maka segera mereka mempercepat perjalanan mereka, mendekati pertempuran itu. Kedatangan kedelapan orang itu segera diketahui oleh kedua belah pihak. Ki Gede Pemanahan pun melihat kedatangan mereka. Karena itu maka segera ia bertanya lantang, “Siapakah yang datang?” Pertanyaan itu sebenarya tidak penting baginya. Ia tahu bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang. Namun jawabnya dapat mempengaruhi lawan-lawannya. Meskipun orang-orang Jipang itupun sudah tahu pula bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang di Sangkal Putung, namun hati mereka berdesir juga ketika mereka mendengar jawaban, “Kami prajurit Pajang di Sangkal Putung, Ki Gede.” “Kenapa hanya beberapa orang saja?” bertanya Ki Gede Pemanahan sambil menghindari serangan Ki Tambak Wedi. “Kami adalah peronda di gardu dari desa sebelah. Kakang Sonya sedang meyampaikan berita ini langsung ke pusat kademangan Ki Gede.” “Bagus. Ayo, mulailah. Aku ingin melihat, apakah selama kalian berada di Sangkal Putung kalian masih dapat berkelahi dengan baik.” Ki Tambak Wedi menggeram keras sekali. Ia tahu benar, betapa Ki Gede Pemanahan mempergunakan percakapan itu untuk mempengaruhi perasaan orang-orang Jipang. Karena itu maka segera ia berteriak, “He orang-orang Pajang yang malang. Mari, marilah kalian datang agak terlambat. Setelah lebih dari separo kawan-kawanmu yang datang dari Pajang binasa, baru kalian datang membantu. Akibatnya, kalianpun akan tenggelam dalam arus kemarahan orang-orang Jipang. Alangkah bodohnya pimpinan-pimpinanmu di Sangkal Putung yang percaya kepada cara kami membuat Sangkal Putung hancur lebur. Kalian menyangka bahwa kami akan benar-benar menyerah. Tak ada seorang prajurit Jipang pun yang bersedia menyerah. Sebentar lagi dari arah yang lain akan datang induk pasukan di bawah pimpinan Sumangkar sendiri.” Tetapi Ki Gede Pemanahan pun segera meyahut, “Kalau benar demikian, alangkah marahnya kami. Karena itu, ayo binasakan orang-orang Jipang yang curang.” Ki Tambak Wedi tidak sempat untuk menyahut. Kedelapan orang Pajang itu kini telah terjun ke medan pertempuran yang kalut itu. Meskipun demikian, tenaga mereka yang segar itu ternyata berpengaruh juga. Orang-orang Pajang kini mendapat kesempatan untuk sedikit bernafas, meskipun jumlah mereka sama sekali masih belum seimbang, tetapi kedelapan orang itu sudah tentu akan dapat menambah daya perlawann mereka, setidak-tidaknya memperpanjang waktu. Dalam pada itu ternyata Sonya telah menggemparkan halaman banjar desa Sangkal Putung. Dengan wajah yang tegang Untara dan Widura meyambut kedatangan Sonya yang hampir kehabisan tenaga. Demikian Sonya berhenti di muka pendapa banjar desa demikian ia disambut oleh Widura, dan dibantunya turun dari kudanya, tetapi Sonya telah begitu lemah karena terlampau banyak darah yang mengalir dari lukanya. Ki Tanu Metir yang melihatnya dengan tergopoh-gopoh segera mengambil reramuan obat-obatan untuk menghentikan arus darah yang masih saja mengalir dari luka yang menganga di kaki Sonya itu, setelah Sonya dibawanya naik ke pendapa. Tetapi Sonya merasa perlu untuk segera meyampaikan berita tentang peristiwa yang dilihatnya. Karena itu, betapa perasaan sakit serasa menghunjam sampai ke pusat jantungya, namun dengan penuh kesadaran atas kewajibannya ia berkata terbata-bata di sela nafasnya yang terengah-engah. “Aku telah bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.” “Ya,” sahut Untara, “tetapi kenapa kau terluka?” “Aku membawa rombongan prajurit yang datang itu memasuki Kademangan Sangkal Putung.” “Ya.” “Semua berjumlah duapuluh orang.” Untara terkejut. “Jumlah itu terlampau sedikit. Apalagi di antaranya terdapat Panglima Wira Tamtama sendiri.” “Dengan jumlah yang sedikit itu Ki Gede Pemanahan ingin membuat kesan bahwa Sangkal Putung telah benar-benar menjadi aman seperti laporan yang diterimanya,” berkata Sonya seterusnya. Dada Untara berdesir. Ia sendiri yang membuat Iaporan itu. Menurut tanggapannya, Sangkal Putung pasti akan segera menjadi aman. Apabila kelak terjadi benturan-benturan berikutnya, maka pusat kegiatan orang-orang Jipang dan Sidanti pasti akan berpindah ke lereng Merapi. Sebab menurut Kiai Gringsing, Sanakeling dan orang-orangnya telah pergi mengikuti Ki Tambak Wedi ke padepokannya. Tetapi menilik keadaan, pasti terjadi sesuatu dengan Ki Gede Pemanahan dengan rombongannya. Dalam pada itu Sonya berkata dengan terputus-putus. Badannya menjadi bertambah lemah. Namun kata-katanya masih terdengar jelas, “Rombongan kami ternyata dicegat oleh orang-orang Jipang. Kali ini dipimpin oleh Ki Tambak Wedi, Sanakeling, Sidanti dan aku tidak tahu siapa lagi. Aku hanya melihat mereka sepintas lalu memotong jalanku. Untunglah aku dapat melepaskan diri dari mereka meskipun aku terluka. Luka pedang ini tidak begitu sakit selain darah yang terlampau banyak megalir, tetapi bahuku serasa remuk oleh gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kalau demikian, maka ia harus segera merawat luka dalam yang dialami oleh Sonya di bahunya. Tetapi dibiarkannya Sonya berkata terus. “Seterusnya aku barpacu kemari. Jumlah orang Jipang itu agaknya terlampau banyak.” Dada Untara serasa akan pecah. Dengan wajah tegang ia memandang Kiai Gringsing yang keningnya semakin berkerut-kerut. Seolah-olah Untara ingin menuntut suatu pertanggungan jawab dari orang tua itu. Kenapa orang-orang Jipang itu tiba-tiba saja berada di perjalanan Ki Gede Pemanahan, sedang menurut keterangan Kiai Gringsing dan kemudian diperkuat oleh Sumangkar, orang-orang Jipang itu telah berada di padepokan Ki Tambak Wedi. Pancaran mata Untara itu benar-benar terasa menusuk dada Kiai Gringsing. Ia segera merasa, bahwa pertanggungan jawab atas peristiwa ini seolah-olah ada padanya, meskipun Untara telah dipertemukannya sendiri dengan Sumangkar. Tetapi perasaan Kiai Gringsing telah cukup mengendap karena perbendaharaan pengalamannya, sehingga dengan segera ia dapat mengurai keadaan. Ketajaman pandangan dan kecepatan menemukan hubungan antara persoalan-persoalan yang diamatinya, telah membawa Kiai Gringsing ke dalam persoalan yang sewajarnya. Orang tua itupun kemudian mengangguk-anggukan kepalanya. Dengan tenang ia berkata, “Ini adalah pokal Ki Tambak Wedi. Aku tidak tahu, apakah ia dengan sengaja dan sadar mencegat perjalanan Ki Gede Pemanahan, atau suatu kebetulan. Tetapi adalah maksud Ki Tambak Wedi datang ke Sangkal Putung tepat pada hari yang dijanjikan oleh Sumangkar, untuk mengacau keadaan. Kegagalan yang terjadi akan memberinya peluang untuk bertindak. Ia mengharap, baik orang-orang Jipang yang tidak sependirian dengan mereka, maupun orang Pajang akan terlibat dalam pertentangan perasaan yang akan dapat meledak. Ki Tambak Wedi kini sedang meletakkan api pada minyak yang sedang tergenang. Kalau kita kurang berhati-hati, maka kita akan dapat terbakar karenanya.” Untara menggeretakkan giginya. Sebagian besar dari keterangan itu dapat dimengerti, tetapi kemarahanya telah membakar ubun-ubunnya. Apalagi ketika kemudian Sonya berkata, “Ki Gede Pemanahan dan para pengawalnya kini pasti telah terlibat dalam pertempuran.” Wajah Untara segera menjadi merah membara. Dengan serta-merta ia berteriak nyaring kepada seorang penghubung yang berdiri di ujung pendapa, “Cepat siapkan kudaku!” Orang itu terkejut. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Segera ia berlari untuk mempersiapkan kudanya. “Apakah kau akan pergi seorang diri Untara?” bertanya pamannya. Untara menggigit bibirnya. Kemudian ia bertanya, “Berapakah jumlah orang-orang Jipang?” Sonya yang sedang meyeringai menahan sakit berdesah, “Aku tidak tahu pasti, tetapi mereka tidak akan lebih dari tujuh puluh orang.” Darah Untara tersirap mendengar jumlah itu. Ki Gede Pemanahan hanya membawa duapuluh orang ditambah dengan penghubungnya yang hanya tinggal empat orang. Karena itu, maka dengan degup jantung yang semakin cepat ia berkata kepada Widura, sebagai seorang senapati kepada bawahannya, “Paman Widura, siapkan dua puIuh lima orang prajurit berkuda.” Meskipun demikian pertanggungan jawabnya sebagai seorang pemimpin masih memberinya kesadaran untuk berkata, “Biarlah Hudaya pergi bersama aku. Paman tinggal di sini supaya orang-orang Jipang yang terluka di dalam banjar ini tidak menjadi korban kemarahan para prajurit yang kemudian pasti mendengar apa yang telah terjiadi atas Sonya dan Panglima Wira Tamtama. Tetapi apabila kemudian benar-benar orang-orang Jipang itu berbuat curang, maka aku sendiri yang akan memenggal leher mereka di alun-alun di depan banjar ini.” Widura tidak menjawab. Diserahkannya Sonya yang luka itu kepada Kiai Gringsing dan beberapa orang yang sedang bertugas di halaman itu, yang berdatangan kemudian setelah mereka melihat Sonya terluka. Namun Untara sempat berkata, “Sonya, cobalah merahasiakan apa yang telah terjadi atasmu untuk menjaga ketenangan keadaan.” Sonya mengangguk lemah. Tetapi ia tidak dapat mengerti kenapa hal itu mesti harus dirahasiakan. Beberapa orang yang berada di alun-alun melihat Sonya berpacu seperti dikejar hantu. Tetapi karena jarak yang tidak terlampau dekat, serta banyak peristiwa-peristiwa yang tak dapat mereka mengerti yang terjadi pagi itu maka orang-orang di alun-alunpun tidak bayak memperhatikanya lagi. Sementara itu, orang-orang yang bertugas di halaman dan mengerumuni Sonya, telah memapah Sonya ke gandok wetan. Dibaringkannya Sonya di sudut gandok itu untuk segera mendapat pengobatan dari Kiai Gringsing. Namun segera setelah Kiai Gringsing memberikan pertolongan pertama, ditinggalkannya Sonya dan dengan tergesa-gesa orang tua itu kembali mendekat Untara yang dengan gelisah menunggu kudanya. Tetapi sudah tentu Widura tidak segera dapat mengumpulkan dua puluh lima ekor kuda di banjar desa itu. Ia harus mengumpulkan segenap kuda prajurit Pajang yang tersebar di seluruh kademangan, pada gardu-gardu peronda yang penting. Di dalam banjar desa itu, yang segera dapat dikumpulkan adalah baru sepuluh ekor kuda, tetapi segera Untara berkata, “Biarlah kami bersepuluh berangkat dahulu. Yang lain segera meyusul. Dua tiga, empat atau lima. Tidak perlu menunggu sampai limabelas sekaligus sepeninggalku.” Widura pun segera menjadi sibuk. Beberapa orang yang melihatnya menjadi heran. Apakah yang sebenarnya telah terjadi. Hanya orang-orang di dalam halaman sajalah yang melihat, bahwa sebenarnya Sonya telah terluka dan Widura menjadi sedemikian sibuknya mengumpulkan beberapa ekor kuda. Para petugas yang harus meyediakan kuda-kuda itupun menjadi sibuk pula. Dengan tergesa-gesa mereka menyiapkan kuda-kuda itu di muka pendapa. Setelah kuda yang sepuluh itu siap, maka segera Widura memerintahkan memanggil Hudaya dan beberapa orang untuk ikut serta bersama Untara ke tempat pertempuran itu terjadi. Agung Sedayu yang datang kemudianpun menjadi terheran-heran. Ia melihat betapa wajah kakaknya menjadi tegang dan sepuluh ekor kuda telah siap di halaman. Dengan hati-hati ia kemudian bertanya kepada gurunya, “Apakah yang telah terjadi Kiai?” Dengan singkat Kiai Gringsing mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan apa yang didengarnya itu telah menggetarkan dadanya pula. Karena itu ketika tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya memanggil, dengan tergopoh-gopoh ia mendekatinya. “Kau ikut bersamaku” perintah kakaknya. “Baik Kakang” sahut Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu telah mendengar apa yang terjadi maka segera iapun menyiapkan pedangnya dan membenahi pakaiannya. Sesaat kemudian berkumpulah sepuluh orang di halaman. Wajah mereka memancarkan berbagai pertanyaan yang tersimpan di dalam hati mereka. Di antara mereka itu adalah Hudaya yang dipanggil dari alun-alun di muka banjar desa itu. Dengan singkat dan tergesa-gesa Untara berkata kepada mereka, “Kalian ikut dengan aku. Bawa senjatamu. Mungkin kita akan berhadapan dengan bahaya.” Hudaya mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat bertanya, Untara berkata pula, “Tak ada kesempatan untuk membicarakan masalah ini. Siap di atas punggung kuda. Kita berangkat. Hanya ada sepuluh ekor kuda. Dua di antaranya untuk aku dan Agung Sedayu.” Para prajurit Pajang itu benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk bertanya. Untara segera meloncat ke atas punggung kudanya diikuti oleh Agung Sedayu. Meskipun berbagai pertanyaan bergelut di dalam hati masing-masing, namun kedelapan ekor kuda yang lainpun segera berpenumpang di punggungnya. “Aku akan berangkat sekarang Paman. Aku serahkan segala kebijaksanaan di sini kepada Paman dan Kiai Gringsing” berkata Untara. “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi tak akan dapat melampaui kesaktian Ki Gede. Kalau demikian, mungkin salah seorang dari kami akan datang kembali menjemput Kiai.” “Baik” jawab Widura singkat. Untara tidak berkata apapun lagi. Segera ia menggerakkan kendali kudanya, dan kuda itupun segera meloncat diikuti oleh kuda-kuda yang lain. Meskipun demikian, perkataan Untara yang terakhir itupun menambah pertanyaan yang meIingkar-lingkar di dalam hati para prajurit Pajang yang lain. Kesepuluh ekor kuda itupun kemudian berpacu seperti angin meninggalkan halaman banjar desa, menghambur-hamburkan debu yang putih mengepul tinggi ke udara. Kembali para prajurit Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung bertambah heran. Bahkan Ki Demang dan Swandaru yang kemudian berada di antara anak-anak muda Sangkal Putung di lapangan di muka banjar desa itupun melihat kuda yang berpacu itu sambil bersungut-sungut. Tetapi mereka tidak ingin menanyakannya kepada Widura. Sebab terasa bahwa ada sesuatu yang memang dirahasiakan. Sehingga apa yang terjadi itupun mereka sangka, adalah rangkaian dari persoalan-persoalan yang memang dirahasiakan dan telah direncanakan. Tetapi Untara sendiri berpacu dengan hati yang gelisah. Kudanya serasa berlari terlampau lamban. Kalau ia terlambat sampai di tempat pertempuran itu, dan para prajurit Wira Tamtama yang dipimpin sendiri oleh Gede Pemanahan mengalami bencana, maka lehernya akan menjadi taruhan, bukan soal yang menyedihkannya, tetapi seluruh Wira Tamtama akan kehilangan panglimanya karena kesalahannya. Memang dalam laporan yang disampaikan ke Pajang, seakan-akan Sangkal Putung telah menjadi aman. Ternyata yang terjadi adalah benar-benar memalukannya. Karena itu, maka dipacunya kudanya secepat-cepatnya, supaya ia dan kawan-kawannya tidak terlampau lambat sampai. Hudaya dan kawan-kawannya berpacu sambil saling berpandangan. Namun firasat keprajuritan mereka telah mengatakan, bahwa mereka sedang berhadapan dengan bahaya. Ternyata Untara tidak membiarkan mereka berteka-teki sepanjang jalan. Ketika kuda-kuda itu telah meninggalkan induk kademangan, maka berkatalah Untara tanpa berpaling, “Kita akan bertempur melawan pecahan orang Jipang yang hari ini tidak ingin melihat kawan-kawannya kami terima dengan baik.” Hudaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, “Kenapa kita hanya bersepuluh?” “Orang-orang Jipang itu tidak terlampau banyak. Mereka telah terlibat dalam pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang yang hari ini datang ke Sangkal Putung untuk mengawal Ki Gede Pemanahan.” “Ki Gede Pemanahan?” Hudaya mengulangi. “Ya.” Hati para prajurit itu berdesir. Ki Gede Pemanahan adalah panglima mereka, meskipun satu dua di antara mereka ada yang belum pernah melihatnya. Namun namanya telah menjadi buah bibir segenap prajurit Wira Tamtama. Kuda mereka berpacu terus. Sementara itu Hudaya berkata, “Aku sudah menyangka, orang orang Jipang tidak dapat dipercaya. Mereka membiarkan sebagian dari mereka untuk berpura-pura menyerah. Kemudian mereka menyerang pada hari yang sebenarnya ditentukan untuk menerima mereka. Namun orang-orang Jipang yang lain akan berdatangan pula, tidak untuk menyerah, tetapi untuk menjadikan Sangkal Putung ini karang abang.” “Marilah kita lihat apa yang sebenarnya terjadi” berkata Untara kemudian. “Tetapi jangan terlampau terburu nafsu.” Hudaya tidak menjawab. Tetapi kebenciannya kepada orang-orang Jipang semakin melonjak. Karena itulah maka tiba-tiba ia menggeretakkan giginya. Dan tanpa sadarnya tangan kirinya membelai hulu pedangnya. Kini mereka menyusup ke dalam sebuah desa kecil. Mereka melihat sebuah gardu di pinggir jalan. Beberapa orang penjaganya telah turun dan berdiri di sisi jalan. Namun Untara tidak memperlambat kudanya. Tetapi sekali ia berteriak lantang, “Hati-hati, awasi keadaan baik-baik.” Para penjaga di gardu itu melihat kuda-kuda itu berpacu dengan mulut ternganga. Belum lama berselang ia melihat Sonya yang luka berpacu ke arah yang berlawanan. Sebelumnya, di pagi pagi buta Sonya menempuh jalan ini pula berlima. Para penjaga itu merasa bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Ketika mereka memandangi kuda-kuda yang berpacu maka yang tampak kemudian adalah debu yang putih mengepul tinggi ke udara. Kuda-kuda itu masih harus berlari melampaui sebuah desa lagi, barulah kemudian mereka sampai ke bulak yang agak panjang. Di bulak itulah pertempuran antara orang-orang Jipang dan para prajurit Pajang terjadi. Di ujung desa itupun ada sebuah gardu pula. Tetapi yang berada di dalamnya tinggal dua orang. Yang lain telah mendahului membantu para prajurit Pajang yang bertempur di tengah-tengah bulak itu. Berkali-kali Untara mencoba mempercepat lari kudanya, yang seakan-akan terlampau malas. Di belakangnya berurutan sembilan orang yang lain. Di antaranya Agung Sedayu. Dengan dahi yang berkerut-kerut Agung Sedayu sekali-sekali mengusap debu yang melekat di wajahnya yang berkeringat, meskipun matahari belum terlampau tinggi. Di tengah-tengah bulak itu pertempuran kian lama menjadi kian seru. Kedua belah pihak telah mengerahkan tenaga sejauh-jauh mungkin. Pakaian mereka telah basah oleh keringat, dan wajah-wajah mereka telah menjadi merah hitam. Di antara mereka, para prajurit Pajang dan orang-orang Jipang itu telah menjadi waringuten. Tetapi karena jumlah orang-orang Jipang itu terlampau banyak bagi para prajurit Pajang, maka betapapun juga, ternyata para prajurit Pajang mengalami beberapa kesulitan. Mas Ngabehi Loring Pasar, yang harus bertempur melawan Sidanti berdua dengan Alap-Alap Jalatunda ternyata mampu mengimbanginya. Meskipun anak yang masih sangat muda itu sekali-sekali mengalami kesulitan, tetapi kelincahannya telah melepaskannya dari setiap usaha lawannya untuk membinasakannya. Namun dengan demikian berkali-kali Sutawijaya harus bergeser mundur. Berkali-kali ia harus meloncat menghindar jauh-jauh untuk mendapat jarak yang wajar dari kedua lawannya. Meskipun Alap-Alap Jalatunda tidak dapat berbuat selincah Sidanti, tetapi beberapa kali Alap-Alap yang muda itu berhasil menjebaknya untuk memberi kesempatan pada Sidanti menyerangnya dengan serangan-serangan maut. Anak muda yang mengagumkan itupun telah bermandi keringat. Berkali-kali terdengar ia menggeram. Betapa kemarahannya membakar darahnya, tetapi ia masih bertempur dengan segenap perhitungan. Apalagi menghadapi sepasang anak-anak muda yang cukup memiliki bekal untuk melawannya. Sementara itu Ki Gede Pemanahan pun kini telah bertempur dengan sengitnya melawan Ki Tambak Wedi. Kalau semula Ki Gede Pemanahan masih mencoba bertahan sambil memperhatikan setiap prajuritnya, maka kini ia berpendirian lain. Ia harus segera mengalahkan lawannya. Kemudian ia akan banyak mendapat kesempatan, meskipun ia tidak akan melepaskan sama sekali perhatiannya terhadap pertempuran itu dalam keseluruhannya. Dengan demikian, maka pertempuran antara keduanya, antara ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi menjadi semakin seru. Masing-masing adalah orang-orang sakti pilih tanding. Namun, bagaimanapun juga Ki Gede Pemanahan tidak dapat melepaskan pengaruh keadaan di sekitarnya. Untunglah bahwa ia masih tetap di atas punggung kudanya, sehingga kesempatan masih lebih banyak baginya daripada lawannya. Demikianlah peperangan itu menjadi bertambah seru. Namun ternyata bahwa para prajurit Pajang kini telah benar-benar terdesak. Beberapa kali mereka terpaksa berkisar mendekati Sangkal Putung, sedang kawan-kawan mereka yang masih berada di atas punggung kuda mencoba melindungi mereka. Sekali-sekali kuda-kuda yang menyambar-nyambar itupun masih juga mampu untuk membuat orang-orang Jipang menjadi bingung. Ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi menyadari keadaan itu. Karena itu Ki Tambak Wedi sempat tertawa sambil berkata, “Jangan menyesal Ki Gede Pemanahan, perwira tertinggi Wira Tamtama. Aku sudah kehilangan kesabaran, sehingga kesempatan yang aku berikan telah aku cabut kembali. Yang akan terjadi adalah, Untara akan datang dan akan menemukan mayatmu dan mayat orang-orangmu. Sedang anakmu akan aku bawa ke padepokanku akan aku jadikan tontonan bagi para prajurit Jipang. Inilah orangnya yang langsung menghujamkan tombak ke lambung Arya Penangsang dengan akal yang sangat curang.” Tetapi alangkah kecewanya Ki Tambak Wedi. Ia mengharap Ki Gede Pamanahan menjadi tegang dan mengumpat-umpat. Tetapi ternyata Ki Gede Pemanahan itu tersenyum sambil menjawab, “Aku akan mengucapkan selamat Ki Tambak Wedi seandainya kau mampu berbuat begitu.” “Kau masih mencoba mengingkari kenyataan ini?” Ki Tambak Wedilah yang membentak-bentak. Sementara itu kuda Ki Gede Pemanahan menyambarnya. Ujung Keris Kiai Naga Kemala hampir-hampir saja menyentuh tengkuknya. “Setan!” teriaknya. Ki Gede Pemanahan tertawa. Katanya, “Kenapa kau mengumpat Ki Tambak Wedi. Apakah anak buahmu hampir binasa?” Ki Tambak Wedi meloncat maju menyerang Ki Gede Pemanahan. Tetapi Ki Gede Pemanahan benar-benar tangkas, sehingga usahanya sia-sia. Ki Tambak Wedi benar-benar menjadi sangat marah menghadapi Panglima Wira Tamtama ini. Ia benar-benar hampir tak berdaya. Apalagi Ki Gede Pemanahan masih saja berada di punggung kudanya, sehingga tiba-tiba hantu lereng Merapi itu berteriak, “Ayo, kalau kau jantan, turun dari kudamu!” “Ki Tambak Wedi,” sahut Pemanahan, “apakah kau juga akan bersikap jantan?” “Tentu!” teriak Ki Tambak Wedi. “Apakah kau bersedia menjadi penentu dari pertempuran ini bersama aku. Ayo, aku akan turun dari kuda, dan aku akan tetap mempergunakan kerisku ini untuk melawanmu. Tetapi akibat dari perkelahian itu akan menentukan keadaan kita semuanya. Meskipun kemudian Untara datang, tetapi keadaan tidak akan berubah, kau dan aku, pertempuran itu akan barlangsung sampai tuntas. Salah seorang dari kita akan mati, atau menyerah. Kau setuju?” “Kau benar-benar licik seperti anak demit. Ketika kau melihat anak buahmu akan binasa, kau mengajukan syarat itu,” sahut Ki Tambak Wedi, “kita bertemu dalam keadaan ini. Aku dengan orang-orangku dan kau dengan orang-orangmu. Biarlah kita semuanya yang menentukan keadaan ini.” “Bagus. Kita bertemu dalam keadaan ini. Kau di atas kedua kakimu, aku di atas punggung kuda. Biarlah keadaan ini menentukan akhir dari pertempuran.” Ki Tambak Wedi menggeram sambil mengumpat habis-habisan. Namun betapa ia mengerahkan tenaganya, tetapi Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu, bukanlah Widura, Untara, atau Agung Sedayu yang dapat dipijitnya semudah memijit ranti. Bahkan terasa bahwa semakin lama tandang Ki Gede Pemanahan itupun menjadi semakin garang. Namun keseluruhan dari pertempuran itu benar-benar tidak menguntungkannya. Berkali-kali anak panglima itu, Sutawijaja, terpaksa berloncatan surut. Orang-orang Jipang yang datang seakan-akan sengaja mengurungnya dan menahan setiap prajurit Pajang yang datang di atas punggung kuda. Tetapi Mas Ngabehi Loring Pasar, betapa kemarahan mencengkam dirinya, ia masih tetap mempergunakan perhitungan yang baik dalam melawan sepasang musuhnya itu. Namun keadaan para prajurit yang lain ternyata agak lebih sulit. Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok untuk menghindarkan diri dari sergapan dari arah yang tak dikehendaki. Namun lawan mereka telah mencoba menekan mereka sekuat-kuatnya. Kedua pihak adalah prajurit-prajurit pilihan dari dua kadipaten yang saling bermusuhan, sehingga dendam dan kebencian ikut pula berbicara dalam pertempuran itu. Matahari di langit merayap semakin tinggi. Sinarnya yang cerah memancar berserakan di atas wajah bumi. Di atas dedaunan dan batang-batang jagung muda. Namun di sekitar pertempuran itu batang jagung telah rusak ditebas oleh kaki-kaki kuda dan kaki-kaki para prajurit yang sedang bertempur. Semakin lama semakin luas, berkisar dari satu titik ke titik yang lain. Sedang kuda-kuda para prajurit Pajang kadang-kadang berlari-lari melingkari daerah yang lebih luas lagi untuk mengambil ancang-ancang. Kuda-kuda itu seolah-olah burung rajawali yang melayang di udara, yang kemudian menukik dengan garangnya menyambar mangsanya. Tetapi orang-orang Jipang menyongsongnya dengan pedang di tangan. Dalam pertempuran yang hiruk-pikuk itu, Ki Tambak Wedi telah mencoba untuk mempercepat penyelesaian. Berkali-kali ia berteriak memberikan aba-aba kepada Sanakeling dan orang-orang lain supaya mempercepat pekerjaan mereka. Tetapi pekerjaan itu bukan pekerjaan yang dapat ditentukan oleh sepihak, sehingga Ki Tambak Wedi itu seolah-olah tidak lagi dapat bersabar menunggu. Namun demikian pekerjaannya sendiri tidak dapat juga segera dapat diselesaikan. Demikianlah, pertempuran itu berjalan terus. Bagaimanapun juga Ki Gede Pamanahan tidak dapat mengingkari kenyataan. Keadaan anak buahnya memang terlampau sulit. Bahkan ada di antaranya yang telah terluka dan jatuh menjadi korban. Dalam keadaan yang demikian itulah Untara memacu kudanya bersama beberapa orang prajurit Pajang yang berada di Sangkal Putung. Setiap kali Untara selalu melecut kudanya, supaya berlari lebih cepat. Kini ia telah memasuki bulak jagung. Sebentar lagi ia akan sampai di tempat yang ditunjuk oleh Sonya. Tetapi kudanya serasa berlari terlampau lamban, seolah-olah sengaja memperlambat agar ia tidak datang tepat pada waktunya. Karena itu kegelisahan di dada Untara semakin lama menjadi semakin menyala. Seolah-olah ia ingin meloncat mendahului derap kaki kudanya. Tetapi hal itu sudah tentu tidak dapat dilakukannya. Ia harus bersabar dan tetap di atas punggung kuda yang dirasanya sangat malas itu. Meskipun demikian, meskipun kudanya dirasanya terlampau lamban, namun akhirnya Untara itu melihat debu yang berhamburan di balik pohon-pohon jagung muda. Ketika jalan yang ditempuhnya sedikit menanjak, maka dadanya seolah-olah berdentangan. Kini ia melihat, meskipun tidak seluruhnya karena tertutup oleh batang-batang jagung, betapa riuhnya pertempuran yang telah terjadi antara para prajurit Pajang yang dipimpin sendiri oleh Ki Gede Pemanahan dan orang-orang Jipang yang dipimpin oleh ki Tambak Wedi. Tanpa sesadarnya, Untara mencambuk kudanya sejadi-jadinya. Kuda itupun terkejut dan meloncat sambil meringkik kecil. Larinya menjadi semakin bertambah cepat sehingga Untara meninggalkan kawan-kawannya beberapa langkah di belakang. Agung Sedayu pun mencambuk kudanya pula. Demikian juga kawan-kawannya. Mereka seolah-olah menjadi tidak bersabar lagi menunggu langkah kaki-kaki kuda itu. Demikian bernafsunya Untara sehingga sebelum mencapai tempat pertempuran itu, tangannya telah menggenggam pedang. Diacung-acungkannya pedangnya seperti sedang menghalau burung di sawah. Ki Tambak Wadi yang bertempur dengan serunya melawan Ki Gede Pemanahan terkejut melihat kilatan pedang di kejauhan. Kemudian tampak sebuah kepala muncul di atas batang-batang jagung. Disusul oleh yang lain, yang lain lagi seperti berkejar kejaran. Dada orang tua itu berdesir. Orang yang datang itu tidak terlampau banyak. Tetapi yang tidak terlampau banyak itu pasti segera akan merubah keseimbangan. Karena itu tiba-tiba ia menggeram. Betapa kemarahan membakar dadanya. Orang-orang Jipang benar-benar tidak memberinya kepuasan. Mereka bertempur seperti mengejar-ngejar tupai saja, tidak cekatan dan tidak bertenaga. Ketika musuh-musuh mereka masih terlampau lemah mereka tidak segera dapat mengalahkan dan membinasakan. Apalagi kini datang lagi beberapa orang berkuda. Maka keadaan orang-orang Jipang pasti tidak akan sebaik semula. Kemarahan Ki Tambak Wedi itu semakin memuncak ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan tertawa sambil berkata, “Kau sedang menghitung pedang yang datang itu, bukan, Ki Tambak Wedi?” “Persetan!” geram Ki Tambak Wedi. “Kalau aku menjadi Hadiwijaya dari Pajang, aku malu mempunyai Panglima semacam kau ini. Panglima yang hanya dapat mengharap orang lain datang memberi bantuan. Kenapa kau tidak berusaha memenangkan pertempuran dengan kekuatan yang ada padamu? Kenapa kau menggantungkan dirimu dari bantuan yang bakal datang dengan memperpanjang waktu?” Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu, sehingga sekali lagi ia mengulangi tantangannya, “Ki Tambak Wadi, kalau kau tidak mau melihat prajurit-prajurit Pajang yang jumlahnya jauh lebih kecil dari orang-orangmu ini mendapatkan kemenangan, maka marilah, kita berhadapan langsung di dalam arena. Biarlah aku layani seandainya kau ingin melihat Pemanahan lepas dari kedudukannya, yang dapat memanggil tidak saja prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung, tetapi seluruh Prajurit di segenap sudut Pajang untuk menangkap dan menggantungmu di alun-alun Pajang. Kalau kau ingin melihat Pemanahan sendiri yang terpisah dari prajurit-prajuritnya, marilah, biarlah para prajurit dari kedua belah pihak melihat, siapa di antara kita orang tua-tua ini yang masih cukup mampu bermain loncat-loncatan.” Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram, tantangan itu benar-benar menusuk pusat jantungnya. Betapa ia ingin melayaninya seandainya ia tidak sedang dalam keadaan yang sulit. Ia harus cepat melihat keadaan dalam keseluruhannya. Karena itu maka, tiba-tiba ia bersuit panjang. Sebelum Untara sampai ke tempat pertempuran itu, anak buahnya harus sudah mengundurkan diri dan mencoba menghilang di antara tanaman-tanaman jagung muda. Seterusnya mereka akan menyusup ke dalam sebuah tegalan dan segera mereka akan sampai ke rumpun-rumpun bambu liar. Ki Gede Pemanahan, meskipun tidak tahu arti daripada siutan itu menurut persetujuan orang-orang Jipang, tetapi ia sudah dapat menduga. Ada dua kemungkiman yang bakal terjadi. Ki Tambak Wedi memanggil pasukan cadangannya, atau orang-orangnya yang telah bertempur di arena itu harus mengundurkan diri. Namun dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata lantang, “Tunggu sampai matahari mencapai puncaknya, Sangkal Putung akan dilanda arus induk pasukan Jipang yang akan datang dari barat. Mereka akan dipimpin oleh Adi Sumangkar, saudara muda seperguruan Patih Mantahun. Bukankah kau telah mengenalnya pula Pemanahan? Aku akan datang kembali bersama-sama dengan mereka.” Belum lagi kata-kata itu habis diucapkannya, maka Ki Gede Pemanahan telah melihat orang-orang Jipang itu berkisar surut begitu cepat, sehingga ia tidak mendapat kesempatan untuk memberikan perintah lain. Orang-orang Jipang itu bertempur sambil mengambil ancang-ancang. Namun dalam pada itu, seperti jengkerik yang lenyap ke dalam liangnya, mereka menyusup satu-satu ke dalam lindungan batang-batang jagung. Orang-orang Pajang yang telah melihat kehadiran sepasukan kecil dari Sangkal Putung menjadi berbesar hati, sehingga dengan demikian mencoba mengejar orang-orang Jipang itu. Namun orang-orang Jipang berlari berpencaran. Kadang-kadang satu dua di antara mereka masih juga menyergap dengan tiba-tiba di dalam rimbunnya daun jagung yang hijau, namun kemudian mereka kembali menghilang. Sehingga dengan demikian amat sulitlah untuk dapat mengejar mereka dengan sebaik-baiknya. Sehingga karena itu, maka akhirnya mereka terpaksa melepaskan orang-orang Jipang itu menghilang. Untara datang terlambat. Pertempuran di bulak jagung itu telah selesai. Yang dilihatnya tinggalah bekas-bekasnya. Darah dan beberapa sosok mayat dari kedua belah pihak. Darah Untara serasa membeku ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan duduk di atas punggung kudanya. Tangannya masih menggenggam keris Kiai Naga Kemala, sedang peluhnya seperti terperas dari tubuh membasahi segenap pakaiannya. Apalagi ketika kemudian dilihat oleh Untara, seorang anak muda yang menggenggam tombak di tangannya. Tombak yang sama sekali masih belum membekas darah, tetapi pakaian anak muda itu sendiri telah diwarnai oleh darahnya sendiri. Ternyata lengan Sutawijaya telah terluka justru oleh Alap-Alap Jalatunda, bukan oleh Sidanti. Pedang Alap-Alap muda itu berhasil menyentuh lengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Agaknya perhatian Sutawijaya lebih banyak ditujukan kepada Sidanti, sehingga Alap-Alap Jalatunda mendapat kesempatan lebih banyak. Tetapi anak muda itu tersenyum dan menyapa, “Kau baru datang Kakang Untara, kami baru saja bujana andrawina. Sayang, kau tidak dapat ikut serta.” Untara tidak menjawab, tetapi segera ia meloncat dari kudanya dan menghadap Ki Gede Pemanahan sambil membungkuk dalam-dalam. “Aku mohon maaf Ki Gede.” Ki Gede Pemanahan tersenyum. Senyum yang kecut sekali. Dilihatnya kawan-kawan Untara yang kemudian berloncatan pula dari punggung kudanya dan yang kemudian menyarungkan pedang masing-masing, tetapi Untara sendiri baru menyarungkan pedang ketika ia dikejutkan oleh suara Ki Gede Pemanahan, “Sarungkan pedangmu Untara. Tak ada lagi yang akan kau ajak bermain pedang.” Untara menggigit bibirnya. Sambil menundukkan kepalanya ia menyarungkan pedangnya. Tetapi ketika ia sempat memandang tangan Ki Gede Pemanahan dengan sudut matanya, maka dilihatnya Ki Gede pun telah menyarungkan kerisnya Kiai Naga Kemala. “Sambutan yang cukup hangat Untara,” desis Ki Gede Pemanahan. “Selama aku menjadi Panglima Wira Tamtama ternyata sambutan Sangkal Putung atas kedatangan peninjauanku adalah yang paling hangat yang pernah aku alami.” Kepala Untara menjadi semakin tunduk. Hudaya, Agung Sedayu dan kawan-kawannyapun menundukkan wajah-wajah mereka pula. Namun di dalam hati, Hudaya mengumpati orang-orang Jipang itu tidak habis-habisnya. Kalau ia mendapat kesempatan, maka ia pasti akan menumpahkan segenap kemarahan, kebencian dan dendam kepada mereka. “Aku sudah menyangka bahwa mereka pasti, akan berbuat curang” katanya di dalam hati. “Penyerahan itu hanyalah sekedar cara untuk membuat kita menjadi lengah.” “Aku mohon maaf Ki Gede” desis Untara kemudian. “Mungkin ada sesuatu yang tidak berkenan di hati Ki Gede Pemanahan.” Ki Gede Pemanahan tersenyum. Senyumnya masih sebuah senyuman yang kecut. Jawabnya, “Untunglah aku masih hidup sehingga aku masih mendapat kesempatan untuk memberi maaf kepadamu. Kalau aku sudah dipenggal kepalaku oleh Ki Tambak Wedi, mungkin kau akan menyesal. Bukan karena kematianku, tetapi karena aku tidak dapat memberi maaf lagi kepadamu.” Untara tidak menjawab. Terasa tubuhnya bergetar. la merasa memanggul kesalahan di atas pundaknya. Dan Ki Gede Pemanahan telah langsung menunjuk kesalahan itu. Ki Gede itu kemudian berkata pula, “Berapa orang yang kau bawa itu?” “Sepuluh orang Ki Gede, selain yang delapan orang telah mendahului,” jawab Untara. Ki Gede Pemanahan kemudian memandangi kesepuluh orang itu satu persatu, tetapi ia tidak melihat Widura. Beberapa orang di antaranya sama sekali belum dikenalnya. Dalam pada itu, kembali mereka mendengar suara kaki kuda berderap. Dari kejauhan mereka melihat bermunculan beberapa buah kepala di atas batang-batang jagung muda. Dan sejenak kemudian tujuh orang yang sedang berpacu sampai pula di antara mereka. Ketujuh orang itupuh dengan serta merta menghentikan kuda-kuda mereka dan segera berloncatan turun. “Berapa orang yang akan datang lagi?” bertanya Ki Gede Pemanahan. “Semuanya paling sedikit duapuluh lima orang ki Gede” jawab Untara. Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukan kepalanya. Jumlah yang disebutkan Untara itu telah mengurangi kekecewaannya. Ternyata perhitungan Untara cukup baik. Ia tidak mempercayakan diri dengan jumlah yang hanya sepuluh orang itu. Dengan duapuluh lima orang Untara dapat menarik suatu kepastian, bukan sekedar untung-untungan. Dalam peperangan maka diperlukan suatu perhitungan yang mantap meskipun kadang-kadang keadaan yang khusus dan tiba-tiba dapat merubah keadaan yang telah diperhitungkan itu, namun itu adalah akibat dari kekhususannya. Ternyata apa yang dikatakan Untara bukanlah sekedar untuk mengurangi kesalahannya. Kembali dari arah yang sama datang orang-orang berkuda. Kali ini serombongan kecil sebanyak lima orang. Meskipun jumlah mereka seluruhnya belum mencapai duapuluh lima orang, namun jumlah itu telah mendekati, dan bahkan melampaui apabila yang delapan orang diperhitungkan pula. “Jumlah orang-orangmu cukup untuk menyambut kedatanganku Untara” berkata Ki Gede Pemanahan. “Ternyata kau cukup berprihatin mendengar laporan Sonya. Bukan begitu?” Untara mengangguk. “Ya Ki Gede.” “Kenapa hal ini dapat terjadi?” Untara menunduk semakin dalam. Ki Gede Pemanahan agaknya benar-benar menjadi kecewa atas kejadian ini. Dan Untara tidak akan mengingkari, bahwa di pundaknyalah terletak segala kesalahan. “Aku percaya pada setiap laporanmu. Aku percaya sebab menurut penglihatanku, pada saat-saat lampau kau hampir tidak pernah berbuat kesalahan. Apalagi kesalahan sebodoh kali ini. Namun ternyata kau hampir-hampir saja menyeret aku ke dalam suatu kesulitan.” Untara tidak menjawab. la berdiri tegak seperti patung dengan kepala menunduk. Bukan saja Untara yang merasa hatinya bergetar, tetapi semua prajurit Pajang yang berada di tempat itu. Mereka mengenal Untara sebagai seorang senapati yang baik. Tetapi betapapun baiknya, seseorang suatu ketika memang dapat membuat kesalahan. Sesaat kemudian berkata Ki Gede Pemanahan itu pula, “Untara. Aku datang kemari karena aku memenuhi undanganmu. Aku sependapat dengan semua usulmu. Sekarang, terserah kepadamu, apa yang harus aku lakukan.” Dada Untara menjadi semakin berdebar-debar. Apa yang harus dilakukan dalam keadaan seperti sekarang ini? Apalagi ketika Ki Gede Pemanahan kemudian berkata, “Menurut Ki Tambak Wedi, segera akan datang induk pasukan dari arah barat yang dipimpin oleh Sumangkar. Tetapi sesuai dengan laporanmu, bahwa Sanakeling dan Sumangkar berbeda pendirian, maka ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi. Kalau Sumangkar barhasil mengelabui kau Untara, maka perbedaan pendirian itu adalah semata-mata suatu cara untuk menjebakmu. Tetapi kalau Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka Ki Tambak Wedilah yang licin seperti belut. Darimana Ki Tambak Wedi tahu bahwa aku akan datang?” Dengan hati-hati Untara menjawab, “Tak seorangpun yang tahu, bahwa Ki Gede akan datang kecuali beberapa orang penghubung, beberapa orang pemimpin kelompok dan Paman Widura sendiri. Sebagian besar dari orang-orang yang datang inipun baru tahu bahwa Ki Gede berada dalam perjalanan, setelah kami berangkat dari halaman banjar desa Sangkal Putung.” Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi pikirannya masih juga meraba-raba, apakah sebenarnya yang akan dihadapi oleh Sangkal Putung. Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing mencoba untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang sulit itu. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Mas Ngabehi Loring Pasar berkata, “Mari kita teruskan perjalanan ini Ayah. Aku ingin melihat Sangkal Putung.” Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia melihat darah yang membasahi pakaian anaknya. Tetapi anaknya seolah-olah tidak merasakan sesuatu pada lengannya yang terluka itu. “Coba, tahanlah darah yang mengalir itu dengan sepotong kain, Jebeng” perintah ayahnya. Sutawijaya berpaling. Dipandanginya kudanya. Namun ia berkata, “Tidak apa-apa Ayah.” “Tetapi jangan terlampau banyak darah mengalir.” Sutawijaya menarik lengan bajunya dan mencoba mengusap lukanya dengan lengan baju itu. Tetapi darahnya masih juga menetes satu-satu. Karena itu, maka terpaksa ia memegangi lukanya dengan tangan kanannya, sedang tangan yang luka itu menggenggam landean tombaknya. Tetapi luka itu seolah-olah memang tidak terasa. Bahkan ia berkata, “Kakang Untara, besok aku akan meneruskan perjalanan ke barat. Aku ingin melihat hutan Mentaok yang menurut Ayah, apabila Ramanda Hadiwijaya berkenan, akan dirampas menjadi sebuah perkampungan.” “Ah,” potong ayahnya, “sekarang kita sedang berbicara tentang Sangkal Putung dan orang-orang Jipang. Kau berbicara menurut seleramu sendiri.” Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Bukankah yang lain-lain dapat juga dibicarakan di Sangkal Putung? Tidak di tengah-tengah bulak ini. Dengan demikian, orang-orang yang terlukapun segera dapat ditolong dengan cara yang lebih baik.” Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Pendapatmu baik.” Kepada Untara Ki Gede Pemanahan berkata, “Untara. Aku akan berjalan terus ke Sangkal Putung. Kalau benar ada orang-orang Jipang yang berada di banjar desa, maka sebaiknya apa yang terjadi ini sementara dirahasiakan supaya keadaan banjar desa Sangkal Putung tidak menjadi tegang karena prajurit-prajurit Pajang yang terbakar perasaannya karena peristiwa ini.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menyahut, “Ya Ki Gede, ada beberapa orang-orang Jipang yang luka-luka di sana.” “Apakah persiapanmu untuk menyambut orang-orang Jipang cukup baik? Menyerah atau seandainya mereka menyerang?” bertanya Ki Gede Pemanahan. “Menurut perhitungan kami di Sangkal Putung, persiapan itu cukup baik Ki Gede.” “Aku masih cukup percaya kepadamu. Peristiwa yang terjadi ini mungkin sama sekali di luar dugaanmu.” Untara tidak menjawab. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya. “Suruh orang-orangmu melayani orang-orang yang terluka dan membawa para korban. Bagaimana menurut pertimbanganmu supaya para korban dan mereka yang terluka tidak menggemparkan banjar desa?” Untara berpikir sejenak, kemudian jawabnya, “Mereka akan kami tinggalkan di pedukuhan sebelah Ki Gede. Beberapa orang akan mengawalnya. Apabila terjadi sesuatu, mereka harus membunyikan tanda bahaya.” Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baik. Kita akan berangkat.” Ki Gede Pemanahanpun kemudian meneruskan perjalanannya. Kuda-kuda yang masih berkeliaran segera ditangkap kembali. Dan mereka yang sudah kehilangan kudanya segera naik bersama-sama dua orang di atas satu punggung kuda. Sedang para peronda yang datang berjalan kaki harus kembali ke gardunya sambil membawa orang-orang yang terluka dan beberapa mayat korban pertempuran itu, dibantu oleh beberapa orang prajurit berkuda yang datang dari Sangkal Putung. Di sepanjang perjalanan yang sudah tidak terlampau jauh itu, hampir-hampir tidak ada yang mengucapkan sepatah katapun. Semuanya terdiam oleh angan-angan mereka yang berputaran. Baru ketika mereka hampir memasuki induk kademangan, Untara berkata “Apakah beberapa orang dari kami diperkenankan mendahului, Ki Gede. Kami ingin membuat beberapa persiapan.” Ki Gede menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Pergilah.” Kemudian kepada seorang perwira pengiringnya Ki Gede berkata, “Kibarkan panji-panji. Pakailah tombak sebagai tunggulnya.” Sebelum Untara mendahului rombongan itu bersama beberapa orang untuk mengatur penyambutan, maka ia masih sempat melihat panji-panji Wira Tamtama berkibar pada sebuah landean tombak. Panji-panji Wira Tamtama yang mengatakan bahwa dalam rombongan itu ada seorang perwira tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama. Kepada Untara dan orang-orangnya sekali lagi Ki Gede Pemanahan berpesan, “Untara, kalau kau masih mengharap bahwa Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka sekali lagi aku pesankan rahasiakan dahulu apa yang telah terjadi.” Untara mengangguk sambil menjawab, “Ya Ki Gede. Akan kami lakukan.” Untara itupun kemudian mendorong kudanya berjalan lebih cepat untuk mendahului rombongan Ki Gede Pemanahan. Baberapa saat kemudian mereka berpacu memasuki lorong-lorong di dalam induk Kademangan Sangkal Putung menuju ke banjar desa. Beberapa orang melihat Untara dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Para prajurit yang berada di alun-alun, beserta anak-anak muda Sangkal Putung, memalingkan kepala mereka sejenak. Tetapi ketika yang mereka lihat Untara sedang berpacu, maka kembali mereka bercakap-cakap di antara mereka. Orang-orang yang berada di alun-alun itu sama sekali tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Mereka menyangka bahwa Untara memang sedang bermain-main sendiri. Permainan yang masih dirahasiakan bagi mereka. Melihat kedatangan Untara tanpa Ki Gede Pemanahan hati Widura berdesir. Apakah Untara telah terlambat sehingga Ki Gede Pemanahan menemui bencana? Dengan tergesa-gesa ia segera menyongsong kedatangan Untara. Demikian Untara meloncat dari punggung kudanya di muka pendapa banjar desa, terdengar Widura bertanya perlahan-lahan, “Apakah kau terlambat Untara?” Untara mengerutkan keningnya. Jawabnya dengan nada rendah, “Ya Paman.” “He?” darah Widura serasa membeku, “lalu bagaimana dengan Ki Gede Pemanahan?” “Sebentar lagi Ki Gede akan datang.” “Oh” Widura menghela nafas. “Jadi Ki Gede Pemanahan tidak apa-apa?” Baru Untara kini menyadari, bahwa jawabannya telah mengejutkan Widura. Maka katanya, “Tidak Paman, Ki Gede Pemanahan tidak mengalami cidera. Tetapi aku sebenarnya datang terlambat. Orang-orang Jipang telah terusir.” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa dadanya menjadi lapang. Dengan mengelus dada ia berkata, “Dadaku selama ini serasa akan meledak. Sukurlah kalau Ki Gede Pemanahan tidak mendapat cidera apapun. Apakah Ki Gede akan segera memasuki banjar desa?” “Ya. Ki Gede akan memasuki banjar desa. Ki Gede menghendaki apa yang terjadi tetap dirahasiakan,” sahut Untara sambil memandang berkeliling kepada para petugas yang berdiri agak jauh dari padanya yang memancarkan pertanyaan lewat sorot mata mereka. Tetapi mereka tidak mendengar percakapan itu. Akhirnya Untara itupun berkata, “Kita sekarang harus segera menyiapkan penyambutan Paman.” Widura menyadari bahwa waktu telah menjadi sangat sempit. Karena itu, maka kemudian ia memanggil salah seorang dari para petugas yang berdiri di muka pendapa itu. Ketika orang itu telah menghadap di depannya maka katanya, “Bunyikan tanda bagi para prajurit di alun-alun.” Orang itu memandang Widura dengan herannya. Tanda apakah yang harus dibunyikan? Karena itu maka ia bertanya, “Ki Wídura, tanda apakah yang harus aku bunyikan. Tanda untuk berperang? Atau tanda untuk bubar dan kembali ke pondok masing-masing.” Widura mengerutkan keningnya. Kemudian baru disadarinya bahwa perintahnya kurang lengkap. “Tanda bahwa akan datang tamu agung di banjar desa ini.” “Tamu agung?” “Ya.” “Siapa?” “Cepat, kau akan melihat nanti.” Orang itu tidak bertanya lagi. Segera ia berlari-lari kecil ke sisi halaman di samping gandok. Dengan serta merta diraihnya pemukul kentongan sebesar lengannya. Dan dengan sekuat-kuat tenaganya dipukulnya kentongan itu dalam irama tiga-dua. Para prajurit yang berada di alun-alun beserta para anak-anak muda Sangkal Putung dan setiap orang yang berdiri mengitari alun-alun itu terkejut. Mereka telah mengenal tanda itu. Tanda bahwa akan ada tamu yang datang di kademangan mereka. Sesaat mereka saling berpandangan. Kemudian terdengar bisik di antara mereka, “Siapakah yang bakal datang?” Semua orang saling menggelengkan kepala mereka. Mereka sama sekali belum mendengar siapa yang bakal datang ke kademangan itu. Hanya satu dua orang kepala kelompok yang sudah mendengar berita kedatangan Ki Pemanahan, namun mereka pun berpura-pura menggelengkan kepala mereka pula. Namun tanda itu masih bergema terus. Karena itu, maka segera para prajurit dan anak-anak muda Sangkal Putung mengatur diri dalam barisan yang teratur menurut susunan masing-masing, sedang orang-orang yang berdiri menonton di sekitar alun-alun itupun segera mendesak maju. Untara dan Widura beserta beberapa orang pun kini telah berada di regol halaman. Mereka menanti kedatangan Ki Gede Pemanahan beserta rombongannya dengan berdebar-debar. Apalagi Untara, yang mengetahui bahwa rombongan yang datang dari Pajang itu telah tidak utuh seperti semula. Ada di antara mereka yang kini terpaksa ditinggalkan karena luka-luka mereka, bahkan ada di antara mereka yang terbunuh. Bukan hanya itu yang menggelisahkan Untara. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah terlampau tinggi. Kalau matahari itu mencapai puncaknya, maka Sumangkar dan sebagian orang-orang Jipang harus diterimanya. Tetapi sudah tentu Untara tidak dapat meninggalkan halaman itu sebelum Ki Gede Pemanahan datang. Ia hanya dapat mengharap mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan segera datang dan orang-orang Jipang tidak mendahului waktu yang telah ditentukan. Apalagi kalau orang-orang Jipang itu curang dan seperti apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, mereka datang untuk menghancurkan Sangkal Putung, tidak untuk menyerah. Orang-orang di gardu-gardu akan dapat dikelabuinya. Mereka datang untuk berpura-pura menyerah sebelum mereka mencekik leher para peronda, sehingga mereka tidak sempat memukul tanda bahaya. Untara itu seakan-akan berdiri di atas bara api. Sekali ia melangkah ke tengah-tengah jalan melihat apakah Ki Gede Pemanahan telah tampak, sekali ia melangkah ke regol halaman sambil berkomat-kamit. Ia beserta pasukannya harus segera ke Benda. Melihat kehadiran orang-orang Jipang dengan senjata di tangan. Menyaksikan mereka mengumpulkan senjata-senjata mereka dan kemudian menerima mereka secara resmi yang seharusnya disaksikan oleh Ki Gede Pemanahan. Kemudian orang-orang Pajang harus menyingkirkan senjata-senjata itu. Selanjutnya orang-orang Jipang itu besuk atau lusa harus pergi ke Pajang dengan sebuah pengawalan yang kuat bersama-sama Ki Gede Pemanahan. Tetapi melihat perkembangan terakhir, maka rencana itupun harus mendapat perubahan. Ternyata Ki Tambak Wedi sudah mulai bergerak terlampau cepat dari dugaan Untara, sehingga pada saat-saat orang Jipang nanti selama dalam perjalanan ke Demak pun harus diperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Waktu yang pendek itu terasa betapa panjangnya. Untara hampir-hampir menjadi tidak bersabar lagi dan hampir-hampir ia memerintahkan menyediakan kudanya untuk kembali menyongsong Ki Gede Pemanahan. Dalam pada itu, para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung yang berada di alun-alun kecil di muka banjar desa itupun mulai menebak-nebak. Siapakah tamu agung yang bakal datang? Dalam keragu-raguan itu terdengar seseorang berbisik, “Apakah orang-orang Jipang yang menyerah itu kita terima sebagai tamu agung?” Kawannya berbicara mengerinyitkan alisnya. Gumamnya, “Tentu tidak.” “Siapa tahu. Anak-anak yang selama ini menjadi liar dan gila itu, kini mendapatkan perlakuan yang berlebih-lebihan, mereka dimanjakan dan dihormati seperti tamu agung.” “Kalau demikian, aku akan memaki mereka di depan orang banyak ini” sahut orang yang diajak berbicara. “Tidak hanya memaki” sela yang lain, yang mendengar pembicaraan itu. “Aku akan melempar mereka dengan tombakku ini.” Pembicaraan itu segera terhenti, ketika mereka mendengar sebuah teriakan melengking dari salah seorang pemimpin penghubung, “Tamu kita telah datang.” “Setan” desis salah seorang prajurit. “Apakah benar mereka orang-orang Jipang.” “Tetapi mereka datang dari arah yang lain. Lihat, para pemimpin kita menyongsong para tamu yang datang dari arah timur.” Merekapun kemudian terdiam. Tetapi beberapa orang yang sudah melihat kedatangan serombongan prajurit Pajang dengan sebuah panji-panji yang telah mereka kenal menjadi terkejut bukan kepalang. Rombongan yang semakin lama menjadi semakin dekat itu ternyata membawa panji-panji kehormatan Wira Tamtama, bukan sekedar panji-panji pasukan Wira Tamtama. Panji-panji yang mengabarkan bahwa di dalam rombongan itu ikut serta Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan. Tiba-tiba dengan serta-merta mereka pun bersorak. Semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berdiri di belakang yang tidak dapat melihat arah kedatangan para tamu, karena terhalang pepohonan di samping lapangan itu, semakin ingin tahu, siapakah sebenarnya yang datang. Orang-orang yang berdiri di muka, yang dapat melihat agak jauh sepanjang jalan, di muka banjar desa itupun berteriak, “Ki Gede Pemanahan, Ki Gede Pemanahan.” “Kau dengar kata-kata itu?” bertanya salah seorang prajurit yang berdiri di belakang. “Apakah betul mereka menyebut nama Ki Gede Pemanahan?” Mereka pun terdiam. Kembali mereka mendengar sorak itu, sehingga akhirnya orang-orang yang berdiri di belakang tidak dapat mengendalikan diri lagi. Segera mereka mendesak maju, sementara rombongan dari Pajang pun sudah semakin dekat. Yang pertama-tama mereka lihat adalah panji-panji itu. Dan dengan serta-merta pula mulut mereka berdesis, “Panji-panji itu adalah panji-panji kehormatan, bukan panji-panji pasukan Wira Tamtama. Yang datang bukanlah sepasukan prajurit dalam siaga tempur, yang datang adalah Panglima Wira Tamtama.” Sejenak para prajurit itu terpesona. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa panglima mereka yang namanya selalu tergores di dalam dada mereka, setiap prajurit Wira Tamtama, datang mengunjungi desa terpencil ini. Karena itu, maka hati mereka pun menjadi menggelegak oleh suatu kebanggaan. “Tetapi kenapa kedatangan Ki Gede Pemanahan tidak dalam suatu sikap kebesaran? Dengan pengawal segelar sepapan dan segala macam tanda-tanda yang lain?” Kawannya menggelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba ketika Ki Gede Pemanahan sudah semakin dekat, tanpa mereka sengaja, mulut-mulut mereka itu pun telah berteriak, “Ki Gede Pemanahan.” Ki Gede Pemanahan tersenyum di atas punggung kudanya. Ditatapnya gairah yang menyala dalam penyambutan yang sederhana itu. Justru karena kedatangannya tidak diduga-duga, maka sambutan para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung meledak seperti ledakan gunung berapi. Mereka berteriak-teriak mbata rubuh. Mereka melambaikan tangan-tangan mereka, bahkan senjata-senjata mereka. Ki Demang Sangkal Putung bahkan menjadi seolah-olah membeku. Kedatangan Panglima Wira Tamtama di Sangkal Putung, adalah suatu kehormatan yang tidak terkira. Karena itu, karena kebanggaan orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang atas kunjungan Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama, maka sambutan mereka pun meledak tanpa terkendali. Sorak yang gemuruh, pekik yang seolah-olah memecahkan selaput kuping. Sejenak kemudian maka banjar desa itu pun segera menjadi ribut. Para petugas menjadi terlampau sulit untuk menahan arus orang-orang Sangkal Putung yang akan menerobos masuk ke halaman. Bahkan kemudian para prajurit Pajang terpaksa berdiri berjajar rapat di pintu regol untuk mencegah orang-orang yang tanpa terkendali memasuki halaman yang tidak terlampau luas. Tetapi dalam pada itu, Ki Demang Sangkal Putung mempunyai kesibukan yang lain. Ia belum siap sama sekali, bagaimana ia nanti akan memberikan hidangan yang pantas kepada Panglima Wira Tamtama itu, sehingga dengan agak kisruh ia dengan tergesa-gesa bertanya kepada Widura, “Adi Widura, apakah yang harus kami hidangkan nanti kepada tamu agung kita?” Widura mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya, “Ki Gede Pemanahan adalah orang yang tidak banyak memperhatikan masalah-masalah yang demikian. Hidangkan saja apa yang akan Kakang Demang hidangkan kepada kita hari ini. Nasi seperti biasa kita makan, dan minum seperti yang biasa kita minum.” “Ah,” desah Ki demang, “itu terlampau sederhana bagi seseorang Panglima Wira Tamtama.” “Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit” sahut Widura. “Ia bukan prajurit di dalam bilik perang di Pajang untuk mengatur gerak prajuritnya sambil duduk memintal kumis. Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit medan. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan tidak akan pernah menilai hidangan yang dihidangkan kepadanya.” Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, namun keningnya kemudian dibasahi oleh keringat dingin yang mengalir tak henti-hentinja. Dengan serta merta dipanggilnya Swandaru sambil berkata, “Swandaru, pulanglah ke kademangan sejenak. Berkatalah kepada ibumu dan adikmu Sekar Mirah. Buatlah hidangan yang agak pantas untuk Ki Gede Pemanahan dengan rombongan dari Pajang.” “Hidangan apa Ayah?” “Makanan, makan siang dan minuman.” “Rujak degan.” “Jangan mengigau. Itu hanya kesukaanmu sendiri.” Ki Demang terkejut bukan buatan ketika seorang anak muda yang ternyata memisahkan diri dari rombongannya dan berjalan di halaman itu menyahut, “Ayah senang sekali rujak degan.” Ki Demang memandangi anak muda itu dengan mata hampir tak berkedip. Ia melihat lengan baju anak muda itu membekas darah dan bahkan kainnya pun terkena percikannya pula. Tetapi wajahnya masih juga memancarkan sebuah senyuman yang segar. Ketika dengan ragu-ragu Ki Demang ingin menanyakan siapakah anak muda itu, maka terdengar pula suara yang lain di belakangnya. “Ki Demang, anak muda inilah yang bernama Sutawijaya dan bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.” “Oh” Ki Demang itu berdiri sejenak dengan mulut ternganga. Inilah anak muda yang telah herhasil menyobek perut Pengeran Arya Penangsang, Adipati Jipang. Swandaru yang mendengar nama itu, dadanya bergetar. Tiba-tiba ia meloncat maju sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan hormatnya ia berkata, “Aku mengagumi Tuan melampaui segala-galanya.” “Ah” anak muda itu berdesah. Katanya kemudian, “Bagaimana dengan rujak degan itu?” Swandaru menjadi tersipu-sipu. Tetapi ternyata Sutawijaya mendesaknya, “Kami terlampau haus. Apakah di sini ada kelapa muda? Aku juga bisa memanjat untuk memetiknya.” “Jangan, jangan” cegah Swandaru. “Aku anak kademangan ini. Aku sudah terlalu biasa memanjat batang kelapa.” Swandaru tidak berkata-kata lagi. Segera ia berlari-lari ke halaman belakang banjar desa. Kepada beberapa orang dimintanya untuk segera menurunkan beberapa kelapa muda seperti yang diminta oleh Sutawijaya. Dalam pada itu, Sutawijaya yang masih berada di halaman, memandangi anak muda yang telah memperkenalkannya kepada Ki Demang Sangkal Putung. Anak muda itu dilihatnya datang bersama-sama dengan Untara ke bulak tempat mereka bertempur melawan orang-orang Jipang. Tetapi anak muda itu belum dikenalnya, dan anak muda itu tidak berpakaian atau bertanda apapun sebagai seorang prajurit. Karena itu, maka dengan serta-merta ia bertanya, “Bukankah kau yang datang bersama Kakang Untara?” Anak muda itu menganggukkan kepalanya. “Ya, Tuan.” “Siapakah namamu?” “Agung Sedayu.” “Apakah kau bukan seorang prajurit meskipun di lambungmu tergantung sehelai pedang?” “Ya, Tuan. Aku bukan seorang prajurit Wira Tamtama.” “Apakah kau termasuk laskar Sangkal Putung?” “Ya, Tuan, meskipun aku bukan anak Sangkal Putung.” Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia bertanya, “Dari manakah kau?” “Jati Anom.” “Oh, jadi apakah kau mempunyai hubungan khusus dengan Kakang Untara?” “Aku adiknya.” Sutawijaya tertawa. “Pantas” katanya. Tetapi ia tidak meneruskannya. Ternyata Agung Sedayu menarik perhatiannya. Kecuali umurnya yang sebaya, juga ketangkasannya. Sutawijaya melihat anak muda itu meloncat dari punggung kudanya, langkahnya dan pedang di lambungnya. Tetapi anak muda ini tampaknya agak berbeda dengan orang-orang yang berada di halaman itu. Bahkan dengan Untara dan Widura sekali pun. Agung Sedayu bersikap lain dari pada para prajurit. Anak muda itu tidak sekeras kakaknya. Sikapnya agak lebih lunak meskipun dari sepasang matanya memancar pula sifat-sifat yang membayangkan betapa anak muda itu memandang hari depan dengan penuh gairah. “Apakah kau sudah lama berada di tempat ini?” bertanya Sutawijaya. “Belum, Tuan.” “Sejak Paman Widura di sini?” Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. “Tidak. Belum lama. Aku datang bersama-sama dengan Kakang Untara.” “Oh” Sutawijaya mengerutkan keningnya. “Ya!” serunya. Tiba-tiba putera Panglima Wira Tamtama itu teringat sesuatu. Katanya, “Aku pernah mendengar laporan yang disampaikan oleh seorang penghubung tentang dirimu. Tentang Agung Sedayu. Bukankah kau yang menyampaikan berita pertama kali ke Sangkal Putung tentang gerakan Tohpati?” Wajah Agung Sedayu menjadi tertunduk karenanya. “Bukankah begitu?” Agung Sedayu menggigit bibirnya. Yang menjawab kemudian adalah pamannya yang masih berdiri di sampingnya, “Ya, Angger Agung Sedayulah yang telah membawa berita itu. Berita yang seolah-olah telah melepaskan kami dari bencana.” “Luar biasa. Kau benar-benar mengagumkan.” Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin rikuh. Terasa wajahnya menjadi tebal, seakan-akan kulit di mukanya menjadi bengkak. Yang mengucapkan pujian itu adalah anak muda sebayanya yang pernah bertempur melawan Arya Penangsang, apa lagi kalau dikenangnya apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Tetapi pembicaraan itupun segera terhenti. Widura dengan tergesa-gesa harus naik ke pendapa. Para tamu dan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung telah duduk di pendapa banjar desa. Ki Demang pun segera dipanggil pula duduk di antara mereka. Alangkah tegang sikap Demang Sangkal Putung itu. Menghadap seorang Panglima Wira Tamtama adalah kesempatan yang baru pertama kali ini didapatnya. Dahulu, seorang tumenggung dari Demak pernah datang pula ke kademangan ini. Pada saat itu, ia dan para pamong kademangan harus duduk beberapa langkah dari para tamu itu sambil menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Dengan sikap yang garang tumenggung itu memberikan beberapa perintah dan petuah. Tetapi hampir tak seorangpun yang mendapat kesempatan untuk mengucapkan sepatah pertanyaan pun, dan bahkan hampir tak ada kesempatan untuk menatap wajah tumenggung yang dikawal oleh beberapa orang prajurit dengan segala macam tanda-tanda kebesaran. Tetapi kini, yang datang adalah orang tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama, justru begitu sederhana dan ramah. Semua orang mendapat kesempatan duduk dalam lingkaran bersama-sama, berbicara dengan ramah dan berbincang dengan terbuka. Namun dengan demikian, maka Ki Demang itu menjadi semakin hormat kepada Panglima yang sederhana ini. Namun dalam pada itu, Untaralah yang seolah-olah dibakar oleh kegelisahannya. Meskipun Ki Gede Pemanahan selalu mendengarkan pendapat orang lain, namun ia tidak berani mengemukakan persoalan orang-orang Jipang itu terlampau segera. Ki Gede Pemanahan baru saja duduk di pendapa itu. Belum lagi minuman dihidangkan, setelah Ki Gede dan para prajurit yang mengawalnya bertempur dengan orang-orang Jipang yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Sekali-kali Untara itu memandangi Ki Demang Sangkal Putung dan Widura berganti-ganti. Seakan-akan terpancarlah pertanyaan dari sorot matanya, “Apakah tidak segera dihidangkan minumam untuk para tamu yang pasti kehausan setelah bertempur ini?” Tetapi pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Salahmu. Kau tidak memberitahukan bahwa akan datang tamu agung dari Pajang dan tidak kau katakan bahwa mereka habis bertempur di ladang jagung.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia terkejut ketika kemudian beberapa orang naik ke pendapa untuk menghidangkan minuman yang tidak disangka-sangkanya. Rujak degan. Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia menarik nafas dalam ketika Widura berkata, “Ki Gede, Puteranda mengatakan bahwa Ki Gede sangat gemar minum rujak degan.” Ki Gede Pemanahan tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Sutawijaya berkata sebenarnya.” Maka beredarlah mangkuk-mangkuk berisi rujak degan yang digulai dengan cairan legen mentah. Alangkah segarnya. Namun Untara sama sekali tidak merasakan kasegaran itu. Sekali-kali ia memandang bayangan matahari yang memanjat semakin tinggi. Apakah jadinya kalau orang-orang Jipang itu datang dengan tiba-tiba menyergap beberapa gardu perondan. Meskipun ia yakin bahwa penjagaan induk kademangan Sangkal Putung ini tidak akan dapat dengan mudah ditembus. Namun kesempatan mereka mendekati induk kademangan adalah kesempatan yang amat merugikan bagi Sangkal Putung. Sifat dan sikap Sanakeling agak berbeda dengan Macan Kepatihan. Apalagi kini di antara mereka ada orang-orang seperti Tambak Wedi dan Sidanti yang tamak. Dalam pada itu, Sutawijaya masih saja berada di halaman. Sehingga karena itu Agung Sedayu bertanya, “Apakah Tuan tidak duduk di antara para tamu dan pemimpin-pemimpin Sangkal Putung?” “Terlampau panas. Lebih sejuk di halaman ini” sahut Sutawijaya. “Kenapa kau juga tidak naik?” Agung Sedayu tersenyum, katanya, “Aku bukan salah seorang dari para pemimpin.” Sutawijaya tertawa mendengar jawaban itu. Bahkan segera ia berkata, “Apakah bedanya, pemimpin dan bukan pemimpin?” Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Tetapi justru karena itu, maka ia pun tertawa pula. Beberapa orang yang mendengar mereka tertawa, mengernyitkan alisnya. Tetapi mereka kemudian bertanya-tanya di dalam hati kenapa putera Ki Gede Pemanahan itu tidak duduk di antara para tamu yang datang dari Pajang. Dalam pada itu, agaknya Agung Sedayu telah menemukan jawaban atas pertanyaan Sutawijaya. Katanya, “Tuan apabila pemimpin dan bukan pemimpin tidak dibedakan, maka pendapa itu pasti tidak akan muat.” “Ya, bedanya apa?” desak Sutawijaya. “Bedanya, pemimpin boleh memilih. Duduk di atas atau berjalan di halaman. Sedang yang bukan pemimpin hanya ada satu pilihan. Tidak ada pilihan ke dua. Karena itu, aku tetap di sini.” Sekali lagi Sutawijaya tertawa. Bahkan kali ini lebih keras, sehingga orang-orang yang berada di pendapa pun berpaling kepadanya. Tetapi suara tertawa itu telah memberikan isyarat tanpa disengaja kepada Ki Gede Pemanahan. Tiba-tiba Panglima Wira Tamtama itu melihat bahwa bayangan matahari telah hampir tegak di bawah kaki. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan itu pun segera berpaling kepada Untara. Panglima Wira Tamtama itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dahi Untara telah dibasahi oleh keringat dinginnya. Dari wajahnya membayang kegelisahan yang amat sangat. Ki Gede Pemanahan tersenyum. Ia menangkap apa yang bergolak di dalam dada anak muda itu. Katanya, “Apakah kau gelisah karena matahari telah cukup tinggi?” Untara membungkukkan badannya dalam-dalam. “Ya, Ki Gede.” Namun pertanyaan itu terasa seperti embun yang menetes di jantungnya yang seakan-akan terbakar. “Maaf Untara” berkata Ki Gede Pemanahan itu pula. “Mungkin aku datang terlampau siang. Aku terlambat dari waktu yang telah aku tetapkan sendiri.” Jantung Untara terasa berdentang keras sekali. Sekali lagi ia merasa betapa ia telah berbuat bodoh sekali. Laporannya ternyata jauh meleset dari apa yang terjadi. Sangkal Putung sama sekali belum menjadi aman seperti yang disampaikannya kepada Panglima Wira Tamtama itu. Sejenak Untara terbungkam. Ia tidak dapat menjawab sama sekali, selain hanya menundukkan kepalanya saja. Karena Untara tidak menjawab maka Ki Gede Pemanahan berkata pula, “Untara, kalau kau masih mempunyai kewajiban yang lain lakukanlah. Kalau aku akan kau bawa pula, marilah aku sudah bersedia.” Untara mengigit bibirnya. Tapi ia tidak dapat menjawab lain dari pada, “Ya Ki Gede. Saat penyerahan hampir tiba.” “Baik. Siapkan orang-orangmu. Aku akan pergi bersamamu.” Untara pun kemudian berdiri dan turun dari pendapa. Diberikanya beberapa perintah kepada Widura menyiapkan pasukan yang segera akan pergi ke Benda. Beberapa orang berkuda akan lebih dahulu pergi. Melihat apa yang terjadi di desa kecil itu. Mereka harus membawa alat-alat tanda bahaya apabila keadaan memaksa. Namun dalam pada itu, Untara menjadi heran sejak ia kembali dari bulak tegalan jagung, ia belum melihat Ki Tanu Metir. Sehingga karena itu maka ia bertanya kepada Widura, “Paman, di manakah Kiai Gringsing ?” Widura mengerutkan keningnya. Demikian sibuknya ia mengurusi berbagai soal sehingga tidak diingatnya Kiai Gringsing itu lagi. Karena itu maka jawabnya, “Aku tidak melihatnya Untara.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Gringsing adalah orang yang aneh. Orang yang hanya menuruti kehendak sendiri, meskipun kadang-kadang bahkan sering menguntungkannya. Karena itu Untara tidak lagi mencarinya. Widura yang kemudian pergi ke lapangan di muka banjar desa itu pun segera mempersiapkan orang-orangnya. Kepada beberapa orang pemimpin kelompok diperintahkannya menyiapkan para prajurit Panjang dan anak-anak muda Sangkal Putung dalam kesiagaan penuh. Mereka akan menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. Namun segala kemungkinan dapat terjadi. “Kami tidak percaya kepada mereka” tiba-tiba terdengar Hudaya yang sudah berdiri di belakangnya berkata. Widura berpaling. Ditatapnya wajah Hudaya yang tegang. “Jangan merusak rencana, Hudaya. Rencana ini sudah menjadi masak.” “Apakah yang terjadi di bulak tegalan jagung itu tidak mendapat pertimbangan? Aku mendengar dari para tamu, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi.” “Kau harus tahu, bahwa Ki Tambak Wedi dan Sumangkar tidak sependapat.” “Bukankah mereka dapat berpura-pura berbuat begitu?” “Karena itu marilah kita berada dalam kesiapsiagaan yang penuh.” “Belum cukup. Kalau kita biarkan mereka mendekati barisan kita, sedang kita hanya menunggu saja di Padukuhan Benda, maka kita akan kehilangan kesempatan. Harus kita perhitungkan pula orang-orang Tambak Wedi yang dapat saja datang dari jurusan yang berbeda-beda. Kalau kita sedang terlibat dalam bentrokan yang kacau, kemudian kita dengar tanda bahaya dari sudut lain, maka kita akan kehilangan waktu dan perhitungan.” “Jangan terlampau berprasangka. Marilah kita lakukan perintah yang telah disetujui oleh Panglima Wira Tamtama dengan tidak meninggalkan kewaspadaan.” Hudaya tidak dapat membantah lagi. Perintah ini, harus dijalankan, apalagi telah disetujui oleh Panglima Wira Tamtama. Tetapi tiba-tiba kembali mereka menjadi tegang ketika seorang kepala kelompok yang lain bertanya, “Apakah yang kau katakan itu ada hubungannya dengan luka Kakang Sonya yang baru saja mengigau tentang orang-orang Jipang di bulak jagung?” Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu, sehingga iapun bertanya pula, “Apa kata Sonya?” “Pertempuran di tegal jagung. Menurut Sonya, orang-orang Jipang telah mencegat Ki Gede Pemanahan beserta rombongannya” sahut orang itu. Kini dada Widura benar-benar menjadi berdebar-debar. Ia telah minta agar Sonya merahasiakan peristiwa itu untuk menjaga ketenteraman hati para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung. Tetapi agaknya seseorang, bahkan lebih, telah mendengar peristiwa itu. “Apakah Sonya telah menceritakan kepadamu apa yang terjadi?” bertanya Widura. Orang itu menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Hudaya seakan-akan ia ingin mendapat penjelasan, apa yang sedang dipercakapkannya dengan Widura. Tetapi karena Hudaya seolah-olah membisu, maka iapun menjawab, “Sonya telah terluka. Mula-mula ia tidak mau mengatakan apa sebabnya ia terluka. Bahkan orang yang memapahnya dari pendapa ke gandok pun tidak diberitakukannya. Tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi sangat panas, sehingga ia mengigau. Dalam igauannya itulah ia mengatakan bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang Jipang. Bahkan sekali-sekali ia berteriak-teriak memanggil nama Untara.” Widura mengerutkan keningnya. la tidak mendapat laporan tentang keadaan Sonya itu. Bahkan oleh beberapa kesibukan yang lain, ia tidak sempat menunggui orang yang terluka itu. “Apakah Ki Tanu Metir tidak memberinya obat?” “Ya,” sahut orang itu, “tetapi kemudian orang tua itu pergi sampai sekarang tidak kembali lagi.” Debar di dada Widura menjadi semakin keras. Sekali-sekali ditatapnya wajah Hudaya yang seolah-olah memancarkan tuntutan kepadanya. Namun Widura itu kemudian menjawab, “Sonya hanya mengigau. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan perjalanannya, tetapi sebaiknya kita mendengarkan laporannya besok apabila ia sudah tidak mengigau lagi, sehingga kata-katanya dapat dipertanggung-jawabkan.” Pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjadi curiga ketika ia melihat Hudaya tersenyum. Senyum yang aneh. Dan senyum itu sama sekali tidak menyenangkan hati Widura. Katanya kemudian, “Sekarang, lakukan perintah yang diberikan oleh Untara dan telah disetujui oleh Ki Gede Pemanahan. Bersiaplah. Sebentar lagi kita akan pergi ke Padukuhan Benda. Mudah-mudahan kita datang lebih dahulu daripada orang-orang Jipang, sehingga kita dapat membangun pertahanan-pertahanan yang perlu apabila keadaan berkembang tidak seperti yang diharapkan.” Hudaya menggeleng lemah. Desisnya, “Aku tidak dapat mengerti apa yang harus aku lakukan. Tetapi perintah ini akan aku jalankan. Mudah-mudahan kita tidak masuk ke dalam api neraka.” Widura memandang Hudaya dengan penuh curiga. Tetapi dibiarkannya Hudaya berjalan ke kelompoknya. Di belakangnya berjalan para pemimpin kelompok yang lain. Tetapi Hudaya itu tertegun dan berpaling ketika ia mendengar Widura memanggilnya, “Hudaya. Aku minta bantuanmu.” Hudaya mengerti sepenuhnya arti kata-kata itu. Widura minta kepadanya supaya ia tetap merahasiakan apa yang diketahuinya di tegal jagung. Tetapi apabila kemudian berita tentang tegal jagung itu tersebar, adalah bukan salahnya. Ia patuh pada perintah itu, betapa hatinya sendiri meronta. Maka jawabnya, “Aku telah mencoba. Tetapi aku tidak dapat mencegah Sonya mengigau terus.” Widura menarik nafas panjang. Ia pun tahu sepenuhnya bahwa bukan Hudaya sumber dari cerita tentang tegal jagung itu seandainya cerita itu menjalar. Karena Sonya telah mengigau, maka peristiwa itu tentu akan menjadi bahan pembicaraan. Sebagian dari prajurit Pajang pasti percaya pada igauan itu. Bahkan mungkin telah membakar hati mereka pula. Apalagi apabila laskar Sangkal Putung sampai mendengarnya. Tetapi Widura tidak dapat berbuat apa-apa. Satu dua orang telah terlanjur mendengar Sonya mengigau. Agaknya satu dua orang itu telah bercerita kepada orang-orang lain lagi, sehingga dalam saat yang pendek, cerita itu pasti sudah akan tersebar di seluruh Sangkal Putung. Sudah tentu cerita itu menggelisahkan para pemimpin Sangkal Putung. Ketika Widura melaporkan kesiagaan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, maka kemudian cerita tentang Sonya itu dibisikkannya kepada Untara. “Celaka,” Untara berdesis, “bagaimana dugaan Paman?” “Mereka dibakar oleh dendam yang meluap-luap. Cerita itu seperti minyak yang disiramkan ke dalam api.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kepalanya benar-benar menjadi pening. Kalau benar orang-orang Jipang itu curang, maka sekali lagi ia akan dibebani oleh sebuah kesalahan yang besar setelah kebodohannya yang hampir-hampir menyiderai Ki Gede Pemanahan. Tetapi apabila laskar Sangkal Putung dan para prajurit Pajang yang mendahului menyergap orang-orang Jipang yang datang untuk menyerah, maka iapun akan membuat kesalahan yang lain. Ternyata prajurit Pajang di Sangkal Putung telah kehilangan ikatan kepemimpinan sehingga mereka dapat berbuat sesuka hatinya. Tetapi Untara belum mendapat kesempatan untuk memecahkan persoalan yang telah membuat kepalanya seperti berputar-putar. Kini ia terpaksa mendampingi Ki Gede Pemanahan turun dari pendapa dan berjalan ke halaman. Namun ia sempat berbisik kepada pamannya, “Paman, kita harus berusaha sebaik-baiknya.” Pamannya mengangguk. la terpaksa memisahkan diri untuk mengawasi langsung keadaan para prajurit dan laskar Sangkal Putung. Sementara itu, Sutawijaya yang masih saja duduk bersama Agung Sedayu berkata, “Aku akan ikut ayah melihat orang-orang Jipang yang menyerah. Apakah kau tidak akan ikut?” “Ya. Aku akan ikut pula” sahut Agung Sedayu. Sutawijaya tersenyum. Ia senang pergi bersama-sama dengan kawan yang sebaya umurnya. Apalagi kemudian Swandaru datang kepada mereka. Dan menyatakan keinginannya untuk pergi bersama pula. “Bagaimana dengan anak-anak muda Sangkal Putung?” bertanya Agung Sedayu. “Ayah akan memimpin mereka” sahut Swandaru. “Marilah kita pergi bersama-sama” ajak Sutawijaya. Tetapi Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya akan mengijinkannya, bahkan seandainya ia harus pergi sekalipun, mungkin telah disediakan tugas khusus kepadanya. Tetapi Sutawijaya itu berkata, “Biarlah aku mintakan ijinmu kepada Kakang Untara.” Agung Sedayu membiarkannya pergi kepada Untara sambil berkata, “Kakang Untara, apakah adikmu Agung Sedayu akan kau bawa?” “Tidak, Tuan” jawab Untara. “Kenapa?” “Aku dan Paman Widura harus pergi ke Padukuhan Benda. Agung Sedayu biarlah tinggal di banjar desa ini untuk mengawasi orang-orang yang terluka, terutama orang-orang Jipang supaya tidak terjadi sesuatu pada mereka.” “Serahkan pekerjaan itu kepada seorang prajurit Pajang, bukankah Agung Sedayu bukan seorang prajurit?” Untara menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu maksud Sutawijaya. Bahkan Ki Gede Pemanahan bertanya, “Apakah maksudmu Sutawijaya? Meskipun Agung Sedayu bukan seorang prajurit, tetapi kalau Untara telah memberinya kepercayaan?” “Agung Sedayu dan Swandaru akan aku ajak pergi bersama-sama melihat orang-orang Jipang itu Ayah.” Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Kau hanya memikirkan kesenanganmu sendiri. Agung Sedayu mempunyai tugas di sini, tidak ada kesempatan bagi setiap orang di Sangkal Putung yang jumlahnya sedikit untuk melihat-lihat seperti kau.” “Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru akan aku bawa serta.” Ki Gede pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya wajah Untara yang dipenuhi oleh kebimbangan. Ia tidak tahu, apakah sebaiknya adiknya diijinkannya seperti yang dikehendaki oleh Sutawijaya atau justru harus tetap diberinya tugas seperti yang disebut-sebut oleh Ki Gede Pemanahan. Agung Sedayu sendiri menjadi sangat kecewa mendengar tugas yang akan diserahkan kepadanya. Menunggui orang sakit dan mungkin harus bertengkar dengan orang-orang Pajang atau Sangkal Putung sendiri, karena mereka akan berbuat sesuatu atas orang-orang Jipang itu. Tetapi ia menjadi senang sekali ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan berkata, “Biarlah Agung Sedayu dan kawannya itu pergi pula. Serahkan pekerjaan itu kepada orang lain.” Untara menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baik Ki Gede.” Demikianlah akhirnya Agung Sedayu dan Swandaru ikut pula pergi ke Benda, untuk menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. “Kita pergi berkuda” ajak Sutawijaya. “Tetapi yang lain berjalan kaki” sahut Agung Sedayu. “Biar sajalah, kita pergi berkuda.” Agung Sedayu tidak membantah. Tetapi sekali lagi ia menjadi ragu-ragu, apakah kakaknya akan mengijinkannya? Katanya, “Aku akan minta ijin Kakang Untara.” “O” desah Sutawijaya, “kau selalu saja ragu-ragu. Biar sajalah. Kakang Untara tidak akan marah.” “Ayolah” desak Swandaru pula. Anak itupun sama sekali tidak membuat pertimbangan lagi. Bahkan ia menjadi sangat bergembira pergi bersama dengan Sutawijaya, apalagi berkuda. Agung Sedayu masih saja ragu-ragu. Sehingga Sutawijaya itu berkata, “Baiklah, mintalah ijin Kakang Untara.” Sekali lagi Agung Sedayu menemui Untara untuk minta ijin kepadanya, bahwa ia akan pergi bersama Sutawijaya berkuda. Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat melarang adiknya. Meskipun demikian ia berpesan, “Agung Sedayu. Seandainya kau pergi dahulu, jangan berbuat sesuatu yang dapat merusak rencana kita. Meskipun Adi Sutawijaya sekalipun yang akan berbuat, tetapi kalau menurut pertimbanganmu akan dapat merusak suasana, maka kaupun wajib memperingatkannya.” “Baik, Kakang” sahut Agung Sedayu, yang kemudian menyiapkan kudanya untuk pergi bersama dengan Sutawijaya dan Swandaru Geni. Sementara itu, pasukan yang berada di alun-alun pun telah siap sepenuhnya. Setelah Ki Gede Pemanahan dan Untara selesai dengan semua persiapan, maka merekapun segera keluar dari halaman dan sekali lagi sambutan yang gemuruh telah menyongsongnya. Ki Gede Pemanahan melambaikan tangannya kepada para prajurit Pajang, orang-orang Sangkal Putung yang berada dalam barisan dan kepada rakyat yang berada di sekitarnya. Kepada Untara, Ki Gede Pemanahan minta agar para pemimpin kelompok dikumpulkannya. Ki Gede Pemanahan sendiri ingin bercakap-cakap langsung dengan mereka. “Baik Ki Gede” sahut Untara. Namun keringat dinginnya masih saja mengalir. Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya memandang matahari yang seolah-olah terlampau cepat menanjak ke puncak langit. “Hanya sebentar” desis Ki Gede Pemanahan. Untara menggigit bibirnya. Ternyata Ki Gede Pemamahan dapat membaca hatinya. Setelah para pemimpin kelompok dari seluruh pasukan berkumpul maka Ki Gede Pemanahan pun memberi mereka beberapa petuah dan petunjuk. Kepada mereka akhirnya Ki Gede Pemanahan berkata, “Kalian tidak berbuat untuk kepentingan kalian masing-masing sesuai dengan kesenangan kalian. Tetapi kalian berbuat untuk Pajang dalam satu rangkuman dengan segenap perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang lain untuk kepentingan yang serupa.” Kata-kata Ki Gede Pemanahan itu meresap satu-satu, seakan-akan langsung menghunjam ke pusat jantung. Para pemimpin kelompok itu menyadari, apakah yang telah dikatakan oleh Panglimanya itu dengan sebaik-baiknya. Hubungan langsung dengan berhadapan wajah dengan wajah telah menumbuhkan kecintaan dan keseganan yang bertambah-tambah atas panglimanya. “Nah,” berkata Ki Gede Pemanahan, “sekarang kita berangkat. Kita harus merasa bahwa Wira Tamtama seluruhnya seakan-akan memiliki satu otak, sehingga apa yang kita lakukan akan merupakan sebagian dari anggota badan. Seperti juga kaki dan tangan. Meskipun melakukan gerak yang berbeda-beda tetapi keduanya dalam satu pusat kehendak. Bukan sebaliknya apabila kaki kita berlari menjauhi sesuatu tetapi tangan kita berpegang sesuatu yang hendak kita jauhi.” Sekali lagi para pemimpin kelompok itu menganggukkan kepala mereka. Kesadaran kesatuan di antara mereka meresap semakin dalam. Sejenak kemudian, maka segala sesuatu telah diserahkan kembali oleh Ki Gede Pemanahan kepada Untara sambil berkata, “Untara, sebelum dadamu meledak karena kegelisahan, maka aku serahkan kembali pimpinan ini. Marilah kita berangkat.” Untara menganggukkan kepalanya. Ia masih melihat Ki Gede menahan tersenyum. Sesaat kemudian, maka seluruh pasukan yang berada di halaman dan di lapangan kecil di muka banjar desa itupun telah bergerak menuju ke Desa Benda. Dengan hati yang berdebar-debar Untara memimpin pasukannya menyongsong laskar Jipang yang akan menyerah. Namun betapa para pemimpin kelompok menyadari, bahwa mereka tidak sewajarnya melakukan perbuatan menurut kehendak sendiri, tetapi mereka akan berhasil mengendalikan kemarahan yang tersimpan di dalam hati para prajuritnya dan laskar Sangkal Putung. Laskar Sangkal Putunglah yang justru akan lebih sulit dikendalikan. “Mudah-mudahan kehadiran Ki Gede Pemanahan mempunyai banyak pengaruh atas mereka.” Namun sekali lagi Widura mendengar percakapan di antara prajurit Pajang, tentang Sonya yang terluka. Igauan Sonya ternyata telah menjalar dari mulut ke mulut, sehingga seluruh pasukan telah mendengarnya. Baik para prajurit Pajang maupun laskar Sangkal Putung. “Kenapa kita masih juga percaya kepada orang-orang Jipang itu?” desis salah seorang prajurit Pajang. Pemimpin kelompoknya yang mendengar segera berkata, “Jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri tentang peristiwa yang telah dan bakal terjadi. Ki Gede Pemanahan akan menentukan segala macam sikap yang harus dilakukan oleh semua prajurit Wira Tamtama.” “Tetapi Ki Gede tidak menghadapinya sehari-hari. Mungkin pengetahuannya tentang orang-orang Jipang tidak terlampau banyak. Ternyata orang-orang Jipang berhasil mencegatnya di tegal jagung pagi tadi.” “Ki Gede Pemanahan bukannya seorang malaekat yang tahu apa yang akan terjadi. Juga kita semua. Karena itu, kita jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri. Kita lihat apa yang akan terjadi. Kemudian kita serahkan semuanya pada kebijaksanaan pimpinan kita. Apalagi pimpinan tertinggi kita ada di sini.” Prajurit itu terdiam. Tetapi pemimpin kelompoknya tahu benar bahwa kediaman itu, bukanlah suatu pernyataan bahwa apa yang dilakukan itu benar-benar diyakininya. Widura yang mendengar percakapan itu tanpa diketahui oleh prajurit yang berkepentingan, menarik nafas dalam-dalam. Bukan hanya satu dua orang prajurit yang berpendapat seperti itu, seolah-olah apa yang dilakukan kini adalah perbuatan yang sangat bodoh, setelah mereka mendengar cerita tentang Sonya. Luka-luka Sonya yang berat, seakan-akan meyakinkan mereka, betapa orang-orang Jipang benar-benar telah berusaha membunuhnya. Ketika kemudian Widura membisikkan apa yang didengarnya itu kepada Untara, maka Untara pun mengerutkan keningnya. Di wajahnya telah membayang kecemasan hatinya. “Kalau mereka melihat orang-orang Jipang datang dengan senjata masih di tangan mereka maka perasaan orang-orang kita pun akan menjadi sangat sulit dikendalikan. Satu langkah saja di antara kita, apakah orang-orang Pajang, apakah orang-orang Jipang, berbuat hal-hal di luar dugaan dan mencurigakan, maka akibatnya akan dapat menyulitkan sekali” sahut Untara. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, “Bagaimana pertimbanganmu Untara.” “Padahal, menurut pembicaraan kita, orang-orang Jipang itu akan datang dengan senjata masing-masing, kemudian baru setelah mereka sampai di Benda, mereka akan mengumpulkan senjata-senjata mereka untuk diserahkan. Sudah tentu mereka harus merasa diri mereka aman. Mereka setidak-tidaknya harus melihat kita berada di antara pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan penuh pertanggungan jawab.” Saat yang paling berbahaya adalah saat dimana orang-orang Jipang itu memasuki daerah pedesaan Benda. Pada saat-saat kedua pasukan berhadapan hampir tanpa jarak. Padahal di tangan masing-masing masih tergenggam senjata-senjata mereka. Sedang di dalam dada masing-masing berkobar dendam dan kebencian. Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus benar-benar dapat menguasai keadaan. Karena itu maka katanya, “Kami harus berada di tempat yang terpisah-pisah sehingga kami dapat menguasai seluruh keadaan.” “Kita hanya berdua” desah Widura. Untara menarik nafas. Agung Sedayu dilihatnya duduk di atas punggung kuda, jauh di belakang pasukan yang berjalan seperti ular menyusur jalan ke Benda. “Hem,” Untara menarik nafas, “biarlah kita coba. Kalau perlu kita akan bersikap keras terhadap orang-orang kita sendiri. Kami akan mengharap pengaruh Ki Gede Pemanahan pula apabila terpaksa.” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum yakin bahwa pasukannya akan dapat dikendalikan. Meskipun demikian ia harus berusaha. Dengan dahi yang berkerut-kerut ia berkata, “Untara. Peristiwa Sidanti, merupakan arang yang tercoreng di wajahku. Ternyata aku tidak dapat menguasai anak itu sebagai anak buahku. Bahkan ia telah mencoba membunuhmu. Aku menyadari, bahwa seandainya senapati Pajang yang ditempatkan di lereng Merapi ini bukan kemenakanku, apakah kira-kira laporan yang telah dikirim kepada Ki Gede Pemanahan tentang aku dan wibawaku di daerah kekuasaanku? Meskipun kau telah mencoba menyembunyikan beberapa hal mengenai Sidanti, namun terasa juga terutama pada diriku sendiri, kekurangan yang telah terjadi pada pimpinan di Sangkal Putung ini. Sekarang aku dihadapkan lagi pada suatu keadaan yang mendebarkan. Kalau kali ini aku gagal menguasai anak buahku, maka adalah tidak wajar aku tetap dalam kedudukanku sakarang.” “Tetapi rencana dari pada peristiwa ini akulah yang menyusunnya Paman. Setiap kesalahan tidak akan dapat dibebankan pada Paman sendiri.” “Aku adalah pimpinan langsung bagi pasukan di Sangkal Putung. Adalah kebetulan bahwa kau kemenakanku yang tidak dapat melepaskan hubungan keluarga di antara kita, sehingga banyak hal yang seharusnya tidak kau tangani sendiri terpaksa kau kerjakan. Pekerjaan yang seharusnya tinggal kau ucapkan dan akulah yang harus melakukannya.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak ingin melihat pamannya menjadi cemas. Pamannya yang tetap tenang menghadapi laskar Jipang yang betapapun kuatnya melanda Sangkal Putung, namun dicemaskan oleh goyahnya keteguhan ikatan anak buahnya sendiri karena dendam, benci dan segala macam perasaan yang bercampur baur. “Paman jangan terlalu cemas. Para pemimpin kelompok telah menyadari apa yang sedang mereka hadapi. Mudah-mudahan mereka tidak mudah menjadi goyah. Dengan demikian kita berdua tidak berdiri sendiri.” “Mudah-mudahan” sahut Widura kosong. Dalam pada itu iring-iringan itu berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin jauh dari induk kademangan, dan semakin dekat dengan desa yang seolah-olah agak terpencil di ujung kademangan itu. Pedesaan Benda yang sepi, penduduknya telah diungsikan ke desa yang lain, untuk memberi kesempatan nanti malam kepada orang-orang Jipang untuk bermalam, sebelum mereka dibawa ke Pajang menerima keputusan tentang diri mereka. Setiap kali Untara selalu menengadahkan wajahnya menatap langit. Setiap kali hatinya menjadi berdebar-debar. Matahari merayap terlampau cepat. Tetapi ketika pedesaan Benda lamat-lamat tampak di hadapan wajahnya ia bergumam, “Mudah-mudahan kita tidak terlambat. Mudah-mudahan di desa itu tidak bersembunyi orang-orang Jipang yang telah siap menyergap kita apabila kita memasukinya.” Widura mendengar gumam itu, tetapi tidak jelas, sehingga terpaksa ia bertanya, “Apa yang kau katakan?” Untara menggeleng, “Tidak apa-apa Paman. Aku hanya menyebut nama desa itu. Bukankah desa seberang bulak itu Desa Benda?” “Ya” Widura mengangguk. Kemudian merekapun terdiam. Namun hati mereka menjadi berdebar-debar. Dihadapan mereka berjalan Ki Gede Pemanahan dengan beberapa orang pengawalnya. Tetapi ketika mereka menjadi semakin dekat, maka Untara dan Widura pun berjalan pula disisi mereka. Tanpa mereka kehendaki. Tangan-tangan mereka telah meraba-raba hulu pedang mereka, apabila setiap saat diperlukan. “Desa itukah yang kau maksud dengan Desa Benda?” bertanya Ki Gede Pemanahan. “Ya, Ki Gede” jawab Untara singkat. Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berpaling memandangi barisan yang berjalan di belakangnya. Menjalar sepanjang jalan, seperti seekor ular raksasa yang merayap-rayap. Terasa oleh Untara dan Widura, bahwa sikap itupun adalah suatu sikap berhati-hati setelah hampir saja Ki Gede Pemanahan dijebak oleh orang-orang Jipang. Namun Ki Gede itu berjalan terus. Wajahnya masih saja tenang, seakan-akan tidak ada suatupun yang mencemaskannya. Tetapi Untaralah yang kemudian menjadi cemas. Ia harus yakin, bahwa kedatangan Ki Gede di Benda tidak akan mendapat bencana. Karena itu, sebelum mereka memasuki desa maka dua orang penghubung harus mendahului dan melihat keadaan. Namun hati Untara itupun kemudian berdesir ketika ia melihat Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mempercepat derap kudanya mendahului pasukan yang berjalan di sepanjang jalan persawahan. Demikian kuda-kuda itu sampai di sisinya terdengar Sutawijaya berkata, “Kakang Untara, kami bertiga akan mendahului kalian melihat-lihat desa di hadapan kita.” Dada Untara sekali lagi berdesir. Segera ia menyahut, “Jangan. Biarlah dua atau tiga orang penghubung melihat pedesaan itu dahulu sebelum kita memasukinya.” Sutawijaya tertawa, katanya, “Apakah Kakang Untara mencemaskan kami? Percayalah bahwa Tambak Wedi hanya membual. Seandainya benar orang-orang Jipang merencanakan penyerangan, maka kegagalan Tambak Wedi pasti akan membawa perubahan. Mereka tidak akan berani menjebak kami di desa itu.” “Belum tentu Adi,” sanggah Untara, “segala kemungkinan akan dapat terjadi.” Tetapi Sutawijaya tertawa terus. Katanya, “Bukankah orang-orang Jipang itu sekedar akan menyerahkan diri?” Untara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia terbungkam. Setelah menarik nafas dalam-dalam ia menjawab, “Ya. Mereka hanya sekedar akan menyerah.” “Karena itu, Kakang Untara tidak perlu mencemaskan aku, Agung sedayu dan Swandaru.” Sekali lagi Untara tidak dapat mengatasinya. Tetapi batinnya masih tetap dikuasai oleh kegelisahan dan kecemasan. Sehingga tanpa disadarinya Untara itu memandangi Ki Gede Pemanahan, seolah-olah minta kepadanya, supaya ia melarang anaknya pergi mendahului barisan. Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak menangkap maksudnya, bahkan ia sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu. Panglima Wira Tamtama itu berjalan dengan tenangnya di antara beberapa orang perwira pengawalnya. Akhirnya Untara tidak kuasa lagi mencegah Sutawijaya ketika sambil mempercepat jalan kudanya anak muda itu berkata, “Kami akan berhati-hati Kakang.” Kemudian kepada ayahnya ia berkata, “Ayah, aku ingin mendahului untuk melihat-lihat daerah Sangkal Putung yang subur ini.” Sekali lagi Untara menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Hati-hatilah Sutawijaya. Kau tidak sedang bertamasya sekarang ini.” Sekejap kemudian mereka melihat kuda anak muda itu berpacu disusul oleh kuda Swandaru. Namun Agung Sedayu masih sekali lagi berkata kepada kakaknya, “Aku mendahului Kakang.” “Hati-hatilah” sahut Untara. Ia pun tidak dapat mencegah adiknya itu, karena Sutawijaya dan Swandaru telah mendahuluinya. Agung Sedayu pun kemudian memacu kudanya. Ia membungkukkan badannya dalam-dalam hampir melekat punggung kuda ketika ia mendahului Ki Gede Pemanahan yang berjalan hampir di ujung barisan, di belakang tiga orang prajurit yang membawa panji-panji kebesaran, melekat pada landean tombak larakan yang panjang, beserta pengawalnya. Yang tampak kemudian hanyalah kepulan-kepulan debu yang putih, yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berpacu seperti angin. Sutawijaya yang membawa sebatang tombak pendek bernama Kiai Pasir Sewukir menjadi gembira sekali. Kudanya berlari dengan tegarnya, berderap di atas tanah berdebu. Di belakang berpacu Swandaru Geni yang gemuk. Ketika tampak olehnya juntai yang kuning berkilauan pada tombak Sutawijaya, maka tanpa disengajanya ia meraba hulu pedangnya. Dalam hati ia berkata, “Besok aku akan mencari tampar yang kuning emas seperti juntai pada tombak itu. Pedangku akan menjadi bertambah bagus. Hulunya terbuat dari gading gajah dengan juntai yang berwarna kuning emas. Alangkah bagusnya.” Swandaru itupun tersenyum sendiri. Namun ketika sebutir debu masuk ke matanya, ia mengumpat-umpat. Ketika ia berpaling, dilihatnya kuda Agung Sedayu agak jauh di belakang. Tetapi kuda itu meluncur seperti anak panah. Sehingga jarak di antara mereka menjadi bertambah pendek. Swandaru itu melambaikan tangannya. Ia menjadi gembira sekali seperti juga Sutawijaya. Seolah-olah mereka mendapat kesempatan untuk berpacu kuda. Sehingga dengan demikian, ketika kuda Agung Sedayu menjadi semakin dekat, Swandaru melecut kudanya. Ia tidak mau jarak itu menjadi bertambah pendek bahkan kalau mungkin menjadi semakin jauh. Tetapi Swandaru tidak dapat mendahului Sutawijaya. Anak muda itu ternyata tidak mempercepat kudanya bahkan ketika sekali ia berpaling maka agaknya ia menunggu kedua kawan-kawannya itu. Sesaat kemudian ketiga ekor kuda itu telah berlari berbareng. Tiga orang anak-anak muda yang sebaya. Yang seorang menggenggam tombak di tangan. Sedang di lambung kedua orang yang lain tergantung pedang. Bulak itu memang merupakan bulak yang agak panjang. Tetapi karena ketiga anak-anak muda itu berkuda, maka segera mereka menjadi semakin dekat. Beberapa saat lagi, mereka telah melihat mulut lorong yang dilaluinya itu memasuki Desa Benda. Ternyata sutawijaya yang jauh lebih berpengalaman dari kedua kawan-kawannya yang lain, melihat mulut lorong itu dengan sikap yang cukup masak. Dengan isyarat ia minta kedua kawan-kawannya memperlambat kuda-kuda mereka. Demikianlah semakin dekat mereka dengan desa Benda, semakin lambat pula lari kuda-kuda mereka. Bahkan kuda-kuda itu kemudian berjalan tidak lebih cepat dari langkah kaki. “Mulut lorong itu seperti mulut ular yang menganga menanti kita masuk ke dalamnya” gurau Sutawijaya. Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum. “Tetapi ular itu, ular mati” sahut Swandaru. Sutawijaya pun tertawa. Tetapi kemudian ia bertanya, “Apakah tidak ada penjagaan di desa ini?” “Ada,” sahut Swandaru, “di ujung lorong yang lain menghadap ke bulak sebelah.” “Di ujung ini?” Swandaru menggeleng, “Tidak” jawabnya. Sutawijaya mengerutkan keningnya. “Aneh,” katanya, “seharusnya ada gardu peronda di kedua sisi. Apa kalian menyangka bahwa apabila musuh datang tidak dapat mengambil jalan ini? Mereka hanya cukup menambah beberapa langkah dengan melingkar desa ini, kemudian masuk melalui mulut lorong tanpa diketahui oleh para penjaga. Bukankah dengan damikian hampir tak ada gunanya di ujung lain diberi gardu peronda?” “Desa ini adalah desa yang hampir tak berpenghuni. Desa ini memang sengaja dilepaskan. Justru karena itu maka orang-orang Jipang sering mendatangi desa ini. Mereka kadang-kadang mengambil beberapa macam perbekalan sebelum mereka menghilang. Namun dengan demikian, banyak keterangan yang kita dapatkan dari penghuni-penghuninya. Penghuni-penghuni asli dan penghuni-penghuni yang sengaja kita tanam di sini” sahut Agung Sedayu. Sutawijaya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Agung Sedayu mengenai desa itu. Ia senang mendengar sikap Untara dan Widura yang cerdik. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi dengan demikian, bagaimana dengan para penjaga itu? Apakah mereka tidak sekedar menjadi umpan hidup bagi orang-orang Jipang itu?” “Penjagaan itu baru diadakan sejak pagi ini menjelang saat-saat penyerahan orang-orang Jipang. Mereka harus mengawasi gerak-gerik orang-orang Jipang itu.” Kembali Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Mari, kita temui para penjaga itu.” “Marilah” sahut Agung Sedayu. Kini mereka bertiga telah sampai di mulut lorong yang memasuki desa Benda. Desa itu tampak terlampau sepi, seperti sebuah kuburan yang besar. Hampir tidak terasa bahwa desa itu adalah desa yang hidup dan berpenghuni. Sebelah-menyebelah lorong adalah sebuah pagar batu yang agak tinggi. Regol-regol yang sempit dan kurang terpelihara. Halaman-halaman yang tidak terlampau bersih dan di sana-sini masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang liar di antara rumpun-rumpun bambu yang lebat. “Desa ini memang sepi,” gumam Sutawijaya, “apakah dalam kehidupan sehari-hari desa ini juga sesepi ini?” “Tidak jauh berbeda,” sahut Agung Sedayu, “hanya kadang-kadang kita mendengar suara derit senggot apabila seseorang mengambil air, atau suara pekik anak-anak yang sedang bermain-main. Tetapi suara itu terlampau jarang. Anak-anak lebih senang tinggal di dalam rumah masing-masing.” “Kehidupan yang tertekan” gumam Sutawijaya. “Bukan hanya desa ini. Bukan saja Benda, tetapi banyak desa lain, yang tersebar berserak-serak antara kademangan ini dengan kademangan-kademangan di sekitarnya. Tetapi agaknya Sangkal Putunglah yang paling menarik perhatian bagi orang-orang Jipang.” “Kenapa Sangkal Putung?” “Sangkal Putung adalah kademangan yang kaya raya sejak lama. Bukankah begitu Adi Swandaru? Putera Ki Demang ini tahu benar kekayaan yang tersimpan di dalam kademangannya. Penduduknya yang rajin dan tahu menghargai kerja, maka mereka telah berhasil membangun kademangannya menjadi kademangan yang banyak menyimpan kekayaan di dalamnya. Contohnya, pedang Adi Swandaru itu. Hulunya terbuat dari gading yang mahal.” Sutawijaya tersenyum tetapi ia berpaling juga melihat hulu pedang Swandaru yang benar-benar terbuat daripada gading. “Ya,” desis Sutawijaya, “bagus benar hulu pedang itu.” “Lebih bagus lagi apabila pada hulu ini diberi juntai tampar yang berwarna kuning emas seperti pada tombak Tuan.” Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Kau senang pada tali ini?” “Ya, Tuan.” Kembali Sutawijaya mengerutkan keningnya. Hati Swandaru berdebar-debar ketika ia melihat Sutawijaya mengurai tali kuningnya, “Kau ingin ini?” ia bertanya. Mata Swandaru menjadi berkilat-kilat. Sambil tersenyum ia menjawab agak segan-segan, “Ya Tuan.” “Pakailah. Aku masih mempunyai tali semacam ini banyak sekali di rumah.” Swandaru menjadi gembira sekali menerima tali yang berwarna kuning emas itu. Tali yang akan menjadikan pedangnya bertambah cantik. Tetapi wajahnya yang gembira itu tiba-tiba menjadi tegang ketika ia melihat asap yang mengepul. Semakin lama semakin besar. Asap itu menjilat ke udara dari balik rumpun bambu agak jauh dari lorong itu. Sutawijaya dan Agung Sedayu melihat asap itu pula, sehingga wajah mereka menjadi tegang pula. “Asap apakah itu?” desis Sutawjaya. Agung Sedayu menggeleng, “Entahlah.” “Marilah kita menemui para penjaga. Mungkin mereka tahu asap apakah yang mengepul semakin besar itu?” “Marilah” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng. Sesaat kemudian mereka telah mempercepat kuda-kuda mereka menuju ke gardu penjagaan di ujung lorong. Para penjaga di gardu itu terkejut ketika mereka mendengar derap kuda mendekati. Tetapi mereka menyangka, bahwa yang datang itu adalah para penghubung. Karena itu, maka mereka tidak segera menyongsongnya. Tetapi ternyata yang datang adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan seorang anak muda yang belum mereka kenal. Pemimpin penjaga di gardu itu tersenyum sambil menyambut kedatangan mereka. “Marilah anak-anak muda. Aku kira beberapa penghubung datang untuk menanyakan keadaan di sini. Ternyata kalian bertiga. Apakah ada persoalan yang kalian bawa?” “Tidak, Paman” sahut Agung Sedayu. Orang itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia bertanya, “Jadi kenapa Angger kemari mendahului barisan?” Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia sendiri tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Yang menjawab kemudian adalah Sutawijaya. “Kami hanya bermain-main Paman.” Orang itu menjadi heran. Jawaban itu hampir tak masuk di akalnya. Bermain-main di daerah yang demikian gawatnya. Sehingga karena itu maka wajah orang itu menjadi semakin berkerut-kerut. Agaknya jawaban itu tidak menyenangkan hatinya. Agung Sedayu melihat kesan yang tergores pada kerut-merut wajah pemimpin gardu itu. Karena itu maka segera ia ingin memperbaiki suasana dengan serta-merta ia berkata, “Paman, mungkin Paman belum mengenal anak muda ini. Ia adalah putera Ki Gede Pemanahan yang bernama Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.” Wajah yang berkerut-kerut itu tiba-tiba menjadi tegang. Pemimpin penjaga itu benar-benar terkejut mendengar nama itu. Nama yang selama ini menjadi kebanggaan prajurit Pajang. Nama yang ternyata telah berhasil mengalahkan Pangeran Arya Penangsang. Bukan saja pemimpin penjaga itu yang menjadi tegang. Para prajurit yang lainpun tidak kalah terkejutnya. Hampir bersamaan mereka membungkukkan badan mereka dalam-dalam sambil berkata, “Maafkan kami Tuan. Kami ternyata terlampau bodoh sehingga kami tidak mengenal Tuan.” Sutawijaya tertawa. Tetapi ia berkata, “Jangan membongkok-bongkok. Nanti kau tidak melihat asap yang mengepul itu.” “Asap?” desis penjaga itu. “Jadi kalian belum melihat asap itu?” berkata Sutawijaya sambil menunjuk ke arah asap yang kini menjadi semakin besar. “He?” teriak kepala penjaga itu. Ia menjadi sangat terkejut. “Asap apakah itu?” Para penjaga yang lain menjadi terkejut pula. Sejenak mereka saling berpandangan, tetapi tak seorangpun dari mereka yang tahu apa yang telah terjadi. “Lihat, asap apakah itu” perintah kepala penjaga. Ketika seseorang telah siap untuk meloncat berlari ke arah asap itu, maka Sutawijaya yang cerdas dalam menanggapi setiap persoalan itu mencegahnya, “Jangan.” “Kenapa Tuan?” “Mungkin Bahu Reksa Benda sedang marah, atau ada hantu yang buas berkeliaran di desa ini. Tinggallah di sini biarlah kami yang melihatnya.” “Kenapa Tuan?” bertanya penjaga itu. Sutawijaya tidak menjawab. Segera ia meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh Swandaru dan Agung Sedayu. “Apakah kalian menyediakan kuda pula?” “Ada dua ekor kuda di sini. Apabila keadaan memaksa, dua dari kami harus segera melapor.” “Kentongan raksasa itu?” “Kalau perlu kami harus memukul tanda-tanda.” Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlengkapan gardu itu cukup baik. Sambil menyerahkan kendali kudanya ia berkata, “Biarlah kuda-kuda ini kami tinggalkan di sini. Kami akan melihat apa yang terjadi.” “Baik Tuan” sahut para penjaga sambil menerima kuda-kuda itu. Sesaat kemudian Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru telah melangkah meninggalkan gardu itu. Asap yang mengepul kehitam-hitaman itupun menjadi semakin besar. Bahkan kemudian mereka melihat lidah api menjilat ke udara. “Api” desis Sutawijaya. Anak muda itu kini tidak tersenyum lagi. “Kita ambil jalan memintas,” katanya sambil meloncati dinding halaman di hadapannya. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera mengikutinya pula meloncati dinding halaman. Tetapi sebelum mereka berlari melintasi halaman itu menuju ke arah asap yang semakin tinggi, tiba-tiba Sutawijaya teringat sesuatu. Sekali ia menjengukkan kepalanya sambil berkata, “Jangan berbuat apapun lebih dahulu sebelum aku tahu pasti apa yang terjadi.” Para penjaga masih berada di tempatnya. Pemimpin penjaga itu membungkukkan kepalanya sambil menyahut, “Ya Tuan.” Namun Sutawijaya itupun kemudian tertegun ketika mendengar di kejauhan suara tertawa terbahak-bahak. Bahkan kemudian terdengar sapa di antara derai tertawa itu, “He, siapa yang berada di gardu peronda?” Para penjaga itu tidak segera menjawab. Merekapun terkejut bukan kepalang. Ketika mereka berpaling ke arah suara itu, mereka melihat tiga orang muncul dari tikungan. “Siapakah itu?” desis Swandaru. Sutawijaya kini telah merendahkan dirinya dan menempelkan tubuhnya pada dinding halaman bagian dalam. Sambil meletakkan jari telunjuknya pada bibirnya ia berdesis. Swandaru dan Agung Sedayupun terdiam. Kini merekapun berbuat seperti Sutawijaya pula. Dengan hati-hati mereka menunggu apa yang akan terjadi, dan mencoba mengetahui suara siapakah yang menggeletar di desa Benda yang kecil ini. Sekali lagi mereka mendengar sebuah pertanyaan, “Siapakah yang berada di gardu ronda?” Sesaat tidak terdengar jawaban. Namun wajah para penjaga itupun menjadi tegang ketika mereka mengenal orang-orang yang mendekati mereka dengan senjata telanjang di tangan mereka. “Bukankah kau Wira Lele?” terdengar kembali suara itu. Swandaru hampir tidak sabar lagi. Tetapi sekali lagi Sutawijaya memberinya isyarat. Tetapi mereka bertiga yang berada di dalam halaman itupun terkejut pula ketika mereka mendengar kepala penjaga itu berdesis, “Kau, Sidanti?” “Ya, aku sudah rindu untuk menemuimu, Wira Lele. Aku rindu melihat kumismu benar-benar seperti kumis seekor lele kurus.” Wira Lele, kepala penjaga itu menggeram. Tiba-tiba terdengar gemerincing pedang. Ternyata Wira Lele dan kawan-kawannya telah menghunus pedang-pedang mereka pula. “Ha, kau mau bergurau?” bertanya Sidanti. “Berapa orang semuanya?” Wira Lele tidak menjawab. Yang terdengar adalah suara Sidanti semakin dekat. “Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima orang. Masih ada yang di dalam gardu? Takaran kami bertiga adalah tiga puluh orang sejenis kalian ini.” Wira Lele membelalakkan matanya yang memancarkan kemarahan. Tanpa dikehendakinya ia berpaling memandangi kentongannya. Tetapi kembali terdengar suara Sidanti, “Jangan mencoba menyentuh kentongan itu.” Dada Wira Lele menjadi berdebar-debar. Nafasnya serasa semakin cepat mengalir. Betapa kemarahan membakar jantungnya, tetapi ia menyadari siapakah yang berdiri di hadapannya. Ia menyadari kekuatan Sidanti. Apalagi ketika kemudian Sidanti itu berkata, “Wira Lele, mungkin kau pernah melihat sahabatku ini. Kalau belum, namanya pasti pernah kau dengar. Yang satu, yang kuning langsat ini adalah Alap-Alap Jalatunda, sedang yang lain, yang seperti arang ini adalah Sanakeling.” Jantung Wira Lele seakan-akan menjadi berhenti berdenyut. Yang datang ternyata benar-benar orang-orang seperti kata Sidanti, mempunyai takaran masing-masing sepuluh. Namun terdengar Sanakeling menggeram, “Jangan menghina Sidanti. Meskipun kulitku hitam, tetapi lebih dari dua puluh lima gadis tergila-gila kepadaku. Nah, bagaimama dengan kau? Bagaimana dengan gadis anak Ki Demang Sangkal Putung itu?” Sidanti tertawa, tetapi ia tidak menaruh perhatian akan dua puluh lima gadis yang jatuh cinta kepada Sanakeling. Yang terdengar adalah suaranya yang menggelegar, “He, Wira Lele. Sebenarnya pekerjaanku sudah selesai. Membakar rumah-rumah itu. Kau tahu maksudnya? Kalau tidak, baiklah aku beritahukan. Aku sedang memberi aba-aba kepada induk pasukan Jipang untuk menyergap. Dari jurusan induk Kademangan Sangkal Putung, telah terlihat barisan orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung. Tanda itu adalah sebuah perintah. Nah, apa katamu?” Sekali lagi terdengar Wira Lele menggeram. Tanpa disengaja maka iapun beringsut mendekati kentongannya. Namun sekali lagi terdengar Sidanti tertawa sambli berkata, “Kentongan itu tak akan berarti. Tangan kami lebih cepat dari langan-lengan kalian yang akan memukul kentongan itu.” Sidanti berhenti sebentar, kemudian katanya lebih lanjut, “Nah, aku ternyata memerlukan singgah di gardumu, untuk memberitahukan kepadamu apakah yang akan terjadi di Benda ini. Kau sangka orang-orang Jipang itu akan menyerah? Tidak, mereka akan menyergap kalian, orang-orang Pajang dan Sangkal Putung. Kalian boleh saja mendengar rencana ini, sebab sebentar lagi kalian akan mati. Begitu?” Wira Lele tidak menjawab. Mulutnya serasa menjadi bisu. Ia berdiri saja seperti tonggak kayu. “Kenapa kau berdiam diri?” bertanya Sidanti. “Kau harus marah. Mengambil sikap dan marilah kita bertempur. Waktuku hanya sedikit. Sebentar lagi orang-orang Pajang telah memasuki pedukuhan ini.” Tetapi Wira Lele tidak bergerak. “Bunuh saja mereka” terdengar desis Sanakeling dalam nada yang berat. “Buat apa mereka dibiarkan hldup? Orang-orang Pajang telah membunuh orang-orang Jipang yang dijumpainya. Adalah omong kosong kalau orang-orang Pajang akan bersedia menerima kami menyerah. Dan ternyata kami bukan orang-orang bodoh yang dapat mereka bujuk dengan akal yang licik seperti demit.” Wira Lele masih membeku. Namun digenggamnya hulu pedangnya erat-erat. Sementara itu Sanakeling berkata lagi, “Aku menyesal lewat di jalan ini. Aku terpaksa mengotori pedangku dengan darah kelinci.” “Aku tidak sabar menunggu kalian berbicara berkepanjangan. Sementara itu orang-orang Pajang menjadi semakin deka,” sela Alap-Alap Jalatunda. “Pengecut” desis Sanakeling. “Kenapa?” “Kau takut kalau orang-orang Pajang itu akan melihat hidungmu.” Alap-Alap Jalatunda mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Mungkin. Mungkin demikian, mungkin aku akan menjadi ketakutan. Apakah kalian tidak akan lari terbirit-birit apabila Ki Gede Pemanahan dan anaknya itu datang kemari?” “Persetan!” desis Sanakeling. “Nah, karena itu marilah kita selesaikan pekerjaan kita. Pekerjaan ini adalah pekerjaan tambahan yang hanya akan mengotori tangan-tangan kita.” Alap-Alap Jalatunda tidak menunnggu Sanakeling atau Sidanti menyahut. Segera ia melangkah maju sambil mengayun-ayunkan pedangnya, “Ayo, siapa yang terdahulu? Kalau masih ada orang di dalam gardu itu, marilah, kita bermain bersama-sama.” Tetapi di dalam gardu sudah tidak ada orang lagi. Yang mereka hadapi hanyalah lima orang itu. karena itu maka Alap-Alap Jalatunda berkata, “Serahkan kelima-limanya ini kepadaku.” “Jangan sombong” potong Sanakeling. “Ambilah tiga. Beri kami masing-masing seorang sekedar supaya pedang-pedang kami tidak berkarat.” Yang terdengar adalah geram Wira Lele. Kini ia sudah siaga menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi ia menyesal, bahwa ia tidak dapat memberi tanda kepada para prajurit Pajang. Bukan untuk mendapatkan pertolongan, tetapi supaya mereka menjadi lebih berhati-hati. Tetapi ketika Alap-alap Jalatanda maju semakin dekat, maka tiba-tiba langkahnya tertegun. Dari balik dinding batu di tepi jalan itu ia mendengar suara. “Siapa lagi yang masih berada di dalam gardu?” Bukan saja Alap-Alap Jalatunda, tetapi Sanakeling dan Sidanti pun terkejut. Mereka mendengar suara itu sedemikian jelasnya. Karena itu, telinga Sidanti yang tajam segera mengetahui bahwa suara itu berasal dari balik dinding batu di samping jalan itu. “Hem” Sidanti menggeram. “Ternyata yang lain tidak berada di dalam gardu, tetapi mereka bersembunyi di balik dinding halaman.” Terdengar suara dari balik dinding itu menyahut, “Ya, kami bersembunyi di sini. Tiga puluh orang semuanya, sebagai takaran yang pantas untuk melawan kalian bertiga. Alap-alap cengeng, perwira Jipang yang hitam kelam, dan anak muda yang gagal dalam bercinta menurut istilah Sanakeling.” Suara dari balik dinding itu ternyata telah menggetarkan jantung Sidanti dan kedua kawannya. Bahkan para penjaga gardu itupun terkejut pula. Orang yang berada di balik dinding itu menganggap Sidanti, Sanakeling, dan Alap-Alap Jalatunda sebagai orang-orang yang sama sekali tidak berarti. Bahkan mereka dengan sengaja telah menghinanya pula. Sidanti menggeram seperti seekor harimau kelaparan. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah membara. Sedang Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda untuk sesaat justru berdiri saja seperti patung. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang berani menghinanya sedemikian menyakitkan hati. Tiba-tiba terdengar Sidanti membentak, “He, siapa kau?” “Kami adalah satu di antara kelinci-kelinci penjaga gardu” jawab suara itu pula. “Gila!” teriak Sidanti. “Jangan bersembunyi. Ayo keluar kalau kau benar-benar jantan.” Kini yang terdengar adalah suara tertawa. Di antara derai tertawa itu terdengar kata-kata, “Jangan marah. Siapakah yang marah itu? Apakah kau yang bernama Sanakeling, Sidanti, atau Alap-Alap Jalatunda?” “Persetan!” teriak Sidanti. “Keluar dari persembunyian itu.” “Tidak sekarang.” “Kapan?” “Nanti, kalau para prajurit Pajang sudah datang. Sekarang mereka pasti sudah hampir sampai ujung bulak. Sesaat lagi mereka akan memasuki Sangkal Putung. Bukankah kalian tadi yang mencegat mereka di bulak jagung?” “He?” pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Sidanti. Orang yang bersembunyi di belakang dinding itu mengetahuinya apa yang telah dikerjakannya pagi tadi. Karena itu, Sidanti tidak sabar lagi. Tetapi ketika ia hampir meloncat, terdengar Sanakeling yang lebih tua daripadanya mencegah, “Jangan Sidanti. Mungkin di balik dinding itu, ujung-ujung tombak siap menyobek perutmu, seperti pada saat Pengeran Arya Penangsang menyeberangi sungai. Bukankah saat itu Arya Penangsang dibakar oleh kemarahan dan kehilangan kewaspadaan?” “Hem” kembali Sidanti menggeram. “Tetapi mereka tidak mau keluar dari persembunyiannya.” “Marilah kita tunggu.” “Sehari, sebulan atau sampai orang-orang Pajang datang?” Tiba-tiba Sanakeling berkata, “Biarkan mereka. Marilah para penjaga ini kita bunuh satu persatu. Kemudian kita akan mendapat beberapa ekor kuda. Kau setuju?” Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kau cerdik Sanakeling. Mari, kalau orang-orang di balik dinding itu tidak mau keluar juga dari persembunyiannya kita cincang saja para penjaga ini.” Tiba-tiba terdengar suara dari balik dinding, “Hem, kalian memang cerdik. Agaknya kalian cukup berpengalaman mencari cengkerik. Kalau kau tak berhasil menggalinya, maka cukup kau siram dengan air, maka cengkerik itu akan keluar sendiri dari lubangnya.” Kemarahan telah menghentak-hentak dada Sidanti dan kawan-kawannya. Dengan tegang mereka menunggu, siapakah yang akan keluar dari persembunyiannya itu. Tetapi setelah sejenak mereka menunggu, orang-orang dari balik dinding itu sama sekali belum menampakkan dirinya. “Hem,” kini Alap-Alap Jalatundalah yang menggeram. “Mereka sengaja mempermainkan kita Kakang. Mungkin benar juga kata mereka, supaya para prajurit Pajang itu datang sebelum kita meninggalkan tempat ini karena terikat oleh permainan yang gila ini.” Sanakeling tidak menjawab. Tetapi matanya benar-benar memancarkan kemarahan yang meluap-luap. Namun ia cukup hati-hati. Ia tidak mau meloncati pagar itu dan diterima oleh ujung tombak atau pedang pada lambung atau perutnya. Maka cara yang paling baik adalah cara yang telah dikatakannya, sehingga sekali lagi ia berteriak, “Jangan hiraukan orang-orang gila di belakang dinding itu. Bunuh para penjaga ini lebih dahulu.” Tetapi tanpa disangka-sangka, mereka kini dikejutkan oleh suara lantang, “Aku akan keluar dari persembunyian,” disusul oleh sesosok tubuh yang dengan lincahnya melayang melangkahi dinding halaman itu. Namun demikian tubuh itu tegak di atas tanah, maka tiba-tiba orang itu menggeliat sambil menguap. “Hem. Aku menunggu kalian terlampau lama sehingga aku menjadi terkantuk-kantuk karenanya.” Mata Sidanti, Sanakeling, dan Alap-Alap Jalatunda terbelalak melihat orang itu. Seorang anak muda dengan sebatang tombak di tangannya. Apalagi kemudian mereka melihat seorang anak muda yang lain yang telah mereka kenal pula. Agung Sedayu meloncat dinding itu pula, disusul oleh seorang lagi, seorang anak muda yang gemuk, sedang memanjat dinding. Kemudian tubuhnya yang bulat itupun terjun pula dari atas dinding halaman. “Agak hati-hati sedikit Swandaru” berkata Sutawijaya. “Tubuhmu akan dapat menimbulkan gempa.” Swandaru tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab kata-kata Sutawijaya. Dengan lucu dipandanginya Sidanti yang memandangnya pula dengan sinar kemarahan. “Jangan kau tampar aku kali ini Sidanti” desis Swandaru. Sidanti menggeram. Kalau tidak ada Sutawijaya di hadapannya ia pasti sudah meloncat dan menampar mulut yang gembung itu. “Kau sudah mengenalnya?” bertanya Sutawijaya kepada Swandaru. “Aku sudah kenal terlampau rapat Tuan” jawab Swandaru. “Kalau demikian, siapakah yang disebut Sanakeling, gadis anak Demang Sangkal Putung? Bukankah kau anak Demang Sangkal Putung itu?” Wajah Swandaru menjadi kemerah-merahan. Tetapi tidak semerah wajah Sidanti yang benar-benar menjadi semerah darah. Bukan saja mereka, bahkan Agung Sedayu pun merasa wajahnya menjadi panas. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Ketika kemudian Swandaru berpaling kepadanya sambil tersenyum, maka Agung Sedayu itupun segera menundukkan wajahnya. Mendengar senda gurau itu darah Sidanti benar-benar telah mendidih. la merasa bahwa seakan-akan anak-anak muda itu sengaja mempermainkannya. Apalagi Sanakeling yang garang. Betapa kemarahannya telah merayap sampai ke ubun-ubun. Dengan kasarnya berteriak, “He kau anak-anak gila. Jangan bertingkah. Apakah kalian tidak menyadari dengan siapa kalian berhadapan?” Tetapi tiba-tiba Sanakeling-lah yang menyadari dirinya sendiri dari kata-katanya. Anak muda itu adalah anak muda yang dilihatnya tadi datang bersama-sama dengan Ki Gede Pemanahan. Anak itu adalah anak Panglima Wira Tamtama Pajang. Yang menjawab pertanyaan itu adalah Sutawijaya, “Tentu Sanakeling. Aku menyadari sepenuhnya, dengan siapa aku berhadapan. Yang kuning langsat ini adalah Alap-Alap Jalatunda, yang hitam seperti arang adalah Sanakeling dan yang jatuh cinta kepada adik atau kakak perempuanmu, he Swandaru?” berkata Sutawijaya sambil berpaling ke arah Swandaru, “adalah anak muda murid Ki Tambak Wedi yang garang itu.” Karena kemarahan yang telah memuncak, maka mulut Sidanti, seakan-akan justru terkunci. la berdiri saja mematung dengan kaki bergetar. Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya beradu. Sutawijaya masih saja tersenyum. Setelah ia melihat siapakah yang membuat keonaran, membakar rumah-rumah di desa Benda, maka justru hatinya menjadi tenang. Sidanti, Sanakeling, dan Alap-Alap Jalatunda pasti tidak puas dengan pertempuran yang terjadi di bulak jagung pagi tadi. Mereka masih selalu berusaha memancing kekeruhan, sehingga karena itu, maka apa yang terjadi kini sama sekali bukanlah suatu perkembangan baru dari peristiwa orang-orang Jipang yang akan menyerah, tetapi. peristiwa ini adalah kelanjutan saja dari peristiwa pagi tadi. tanpa menghiraukan Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda, Sutawijaya berkata, “Paman Wira Lele, bukankah Sidanti menyebutmu Wira Lele?” bertanya Sutawijaya. Tanpa sesadarnya Wira Lele mengangguk, “Ya Tuan.” “Nah, ambilah kudamu. Pergilah menemui barisan yang mendatang. Mereka sekarang pasti hampir memasuki desa ini. Tetapi mereka pasti terhenti di bulak sebelah karena mereka melihat asap dan api.” Sutawijaya berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan, “Kau harus menemui Kakang Untara. Beritahukan kepadanya bahwa di desa ini tidak terjadi apa-apa. Katakan bahwa karena Sutawijaya bermain-main api, maka apinya telah menjilat gardu sehingga gardumu dan setumpuk alang-alang terbakar. Mereka harus berjalan terus, supaya orang-orang Jipang yang sungguh-sungguh berhasrat kembali, tidak mendahului mereka dan terjadi persoalan-persoalan di luar kehendak kedua belah pihak karena pokal Sidanti.” Kata-kata itu bagi Sidanti dan kawan-kawannya terdengar seperti gunung Merapi meledak dan runtuh menimpa dada mereka. Sidanti yang terbungkam, menjadi semakin tegang. Namun gemeretak giginya menjadi semakin keras. Yang terdengar kemudian adalah geram Sanakeling, “Wira Lele, kalau kau bergeser setapak saja dari tempatmu, maka saat itu adalah saat kematianmu.” Wira Lele tidak beranjak. Namun ia menjadi ragu-ragu. Ia ingin melakukan perintah Sutawijaya, tetapi ancaman Sanakeling telah mencegahnya. “Jangan takut Wira Lele” berkata Sutawijaya. “Serahkan ketiganya ini kepadaku.” Kemudian kepada Sanakeling ia berkata, “Sanakeling, jangan terlampau sombong. Hitunglah orang-orang yang berada di sini. Dari pihakmu hanya ada tiga orang, sedang dari pihak paman Wira Lele ada sedikitnya delapan orang. Dan sebentar lagi pasukan Pajang yang lain akan segera datang pula.” Kata-kata itu, meskipun diucapkan dengan serta-merta, seakan-akan sama sekali tidak dipertimbangkan sebelumnya, namun pengaruhnya sangat dalam menghunjam ke pusat jantung Sidanti dan kawan-kawannya. Meskipun Sutawijaya menyebut jumlah dari kedua belah pihak, seolah-olah ia memerlukan kedelapan orang itu untuk melawan sidanti bertiga, namun kata-kata itu adalah peringatan yang tajam bagi mereka. Lebih tajam dari sebuah tantangan untuk bertempur dalam perang tanding. Sebab Sidanti harus mengakui, bahwa berdua dengan Alap-alap Jalatunda ia tidak segera dapat mengalahkan Sutawijaya. Apalagi kini Sutawijaya itu berkawan tujuh orang, sedang dirinya sendiri hanya berkawan dua orang. Dalam keragu-raguan itu terdengar Sutawijaya berkata pula, “Cepat paman Wira Lele, sebelum Kakang Untara mengambil sikap yang dapat merusak rencana penerimaan orang-orang Jipang yang menyadari kedudukannya.” “Baik Tuan” jawab Wira Lele. Tetapi matanya memandangi Sanakeling yang membelakanginya. “Jangan mengganggu, Sanakeling” desis Sutawijaya sambil melangkah maju mendekati Wira Lele. Kemudian tanpa berkata apapun dibimbingnya orang itu ke sisi jalan di samping gardu. Di situlah kuda-kuda mereka diikat. Sedang kuda Swandaru masih belum sempat diikat di sisi gardu itu. Seseorang masih tetap memegangi kendalinya. “Pakai kudaku” teriak Swandaru dari sisi yang lain. Sutawijaya berpaling, kemudian katanya, “Ya, pakai kuda itu supaya lebih cepat.” Wira Lele pun kemudian menerima kendali kuda Swandaru. Ketika ia meloncat naik, kembali terdengar Sanakeling menggeram, “Jangan kau teruskan rencanamu. Kau akan bertemu dengan orang-orang Jipang di ujung lorong ini. Orang-orang Jipang yang telah siap menerkam pasukan Pajang yang mendatang.” Kembali Wira Lele menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Sutawijaya, seolah-olah ia ingin mendapat ketegasan daripada anak muda itu. Sutawijaya menjadi jengkel melihat kebimbangan yang mencengkam hati Wira Lele. Namun ia masih tersenyum sambil berkata, “Jangan mau diperbodoh oleh Sanakeling itu Paman. Kalau benar orang-orang Jipang akan menjebak prajurit Pajang di desa ini, maka mereka pasti tidak akan sebodoh Sanakeling. Mereka tidak perlu membakar satu atau dua rumah. Sebab dengan demikian para prajurit Pajang pasti segera akan bersiaga. Karena itu, cepat, pergilah. Sampaikan kepada Kakang Untara seperti pesanku.” Wira Lele yang ragu-ragu itu tidak segera menggerakkan kudanya, sehingga Sutawijaya yang menjadi semakin jengkel tiba-tiba memukul lambung kuda itu. Kuda itupun terkejut dan meloncat berlari. Wira Lele yang berada di punggungnyapun terkejut pula. Hampir saja ia terjatuh. Untunglah bahwa segera ia mendapatkan keseimbangannya. “Hati-hati Paman” teriak Sutawijaya. “Berpeganglah kuat-kuat. Kuda itu cukup jinak.” Kuda itu berlari terus. Derap kakinya menghentak-hentak tanah berbatu-batu seperti derap di dalam dada Wira Lele yang menderu karena kejutan loncatan kudanya. Tetapi ketika kuda itu menjadi semakin jauh, maka iapun menjadi semakin tenang. “Anak-anak itu bukan main” desisnya. “Mereka menghadapi keadaan yang demikian gawatnya seperti sedang bermain-main saja. Tetapi untunglah mereka datang. Kalau tidak, maka leherku pasti sudah dipenggal oleh Sidanti yang gila itu.” Sambil berkumat-kamit mengucap sukur atas keselamatannya, Wira Lele memacu kudanya. Ia harus segera menyampaikan berita itu kepada Untara, meskipun semula ia ragu-ragu. Berita apakah yang harus dikatakannya? Apakah ia harus berkata sebenarnya, apakah ia harus berkata menurut pesan Sutawijaya? “Aku harus berkata sebenarnya” desisnya kemudian. “Supaya Angger Untara dapat mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan keadaan.” Dalam pada itu, Sanakeitng yang berdiri terpaku di tempatnya mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Ingin ia meloncat menghalang-halangi Wira Lele, tetapi dilihatnya ujung tombak Sutawijaya yang tergetar seolah-olah menunjuk ke jantungnya. Karena itu, maka sagenap perhatiannya ditumpahkannya kepada ujung tumbak anak muda itu. “Nah, apa katamu sekarang?” tiba-tiba terdengar Sutawijaya itu bertanya. Sanakeling menggeram. Tetapi ia tidak tahu, jawaban apakah yang sebaiknya diucapkan. Sejenak mereka terpukau dalam kesenyapan. Meskipun demikian masing-masing telah berada dalam puncak kesiagaan. Sidanti, Alap-Alap Jalatunda dan Sanakeling benar-benar telah dibakar oleh kemarahan dan kegelisahan, bahwa orang-orang Pajang akan segera datang. Mereka bertiga adalah orang-orang yang cukup berpengalaman dalam medan-medan peperangan maupun perang tanding, sehingga betapapun kemarahan membakar dada mereka, namun di dalam kepala mereka telah merayap segala macam kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka. Secara naluriah mereka telah membuat perhitungan-perhitungan, bahwa tidak seharusnya mereka membiarkan diri mereka terjebak dan terkurung oleh prajurit-prajurit Pajang. Anak-anak muda yang mereka hadapi, yang seolah-olah baru mengenal bermain kucing-kucingan itu adalah anak-anak muda yang tidak dapat mereka rendahkan, bahkan Sidanti telah mengenal mereka dengan baik. Ia yakin, bahwa Agung Sedayu kini pasti akan dapat menghadapinya seorang lawan seorang. Tidak seperti pada saat mereka berkelahi di samping kandang kuda di kademangan, di mana ia mendapat kesempatan memungut sepotong kayu. Kini di tangan mereka sama-sama tergenggam senjata. Sedang seorang lagi, lebih-lebih membuat hatinya kecut. Sutawijaya mempunyai takaran mereka berdua, Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda. Selagi mereka diam menimbang-nimbang terdengarkah Sutawijaya berkata, “Nah, sekarang apa lagi yang akan kalian lakukan?” Sidanti tidak segera menjawab. Juga Sanakeling terbungkam. Sedang Alap-Alap Jalatunda menjadi semakin gelisah, karena menurut perhitungannya para prajurit Pajang sudah menjadi semakin dekat. “Sekarang, anggaplah keempat penjaga gardu itu tidak ada” berkata Sutawijaya sambil tersenyum-senyum. “Kita berhadapan tanpa kita sengaja, dalam jumlah yang sama. Tiga lawan tiga.” Kemudian kepada para penjaga gardu itu Sutawijaya berkata, “Jangan ganggu kami. Kami akan mencoba bermain-main tanpa orang lain turut campur di dalamnya. Bahkan seandainya kepalaku terpenggal, jangan kalian ributkan. Seandainya kemudian orang-orang Jipang dan murid Tambak Wedi ini akan mencincang Agung Sedayu atau Swandaru, jangan kalian mencoba mencegahnya.” Para penjaga gardu itu terpaku diam. Mereka tidak tahu bagaimana menanggapi perintah itu, sehingga mereka berdiri saja dengan mulut ternganga. “Ayo, berbuatlah sesuatu” berkata Sutawijaya. “Jangan kalian biarkan aku berbicara terus sampai mulutku meniren. Ayo, Agung Sedayu dan Swandaru. Kalian boleh memilih, manakah yang paling kalian sukai di antara mereka. Mungkin Swandaru memilih yang kuning langsat, dan Agung Sedayu memilih yang hitam gelap, begitu?” Yang terdengar adalah gemeretak gigi Sanakeling. Bagaimana ia mampu membiarkan penghinaan itu. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Ayo, siapkan pedangmu, Kita segera akan mulai.” Agung Sedayu pun kemudian bergeser mendekatinya, sementara Swandaru menarik pedangnya yang berhulu gading. “Inikah Alap-Alap Jalatunda itu?” desisnya sambil menunjuk Alap-alap itu dengan ujung pedangnya. Hati Alap-Alap muda itu menjadi sangat panas, sehingga dengan serta-merta ia memukul pedang Swandaru dengan pedangnya. Ketika kedua pedang itu berdentang, alangkah terkejut mereka masing-masing. Terasa pada tangan-tangan mereka, tenaga yang kuat beradu pada tajam kedua pedang itu. Dentang kedua pedang itupun seakan-akan merupakan pertanda bahwa perkelahian segera akan mulai. Sejenak Sutawijaya dan Agung Sedayu sempat menyaksikan Swandaru memutar pedangnya. Dengan langkah yang tangguh ia menggeser tubuhnya semakin dekat. Ayunan pedangnya terasa menyalurkan kekuatan yang dahsyat. Namun Alap-Alap Jalatunda adalah anak muda yang cukup lincah. Sekali ia meloncat surut, tetapi kemudian pedangnya terjulur lurus-lurus mematuk dada Swandaru. Dengan tangkasnya, murid Kiai Gringsing itu menggerakkan pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu beradu. Tetapi kini pedang Swandarulah yang terayun memukul pedang Alap-Alap Jalatunda. Dalam dentang kedua pedang itu, Alap-Alap Jalatunda merasakan kedahsyatan kekuatan Swandaru, sehingga Alap-Alap yang lincah itu berkata di dalam hatinya, “Hem gajah kerdil ini memang benar-benar memiliki kekuatan luar biasa.” Kini Alap-Alap Jalatunda mengetahui bahwa tangan Swandaru yang bulat pendek itu melampaui kekuatan tangannya. Ia tidak boleh setiap kali beradu kekuatan. Ia harus memanfaatkan kelincahannya untuk melawan gajah kecil yang gemuk ini. Demikianlah perkelahaian mereka menjadi bertambah seru. Bukan saja Alap-Alap Jalatunda yang menyadari kekuatan dan kelemahan diri, namun Swandaru pun mengetahui pula, bahwa anak muda lawannya itu dapat bergerak selincah burung alap-alap di udara. Sekali menukik menyambar, namun kemudian terbang melesat menjauhinya. Karena itu, maka Swandaru harus menghemat tenaganya. Ia tidak pernah dengan tergesa-gesa mengejar lawannya apabila Alap-alap itu meloncat beberapa langkah ke samping atau sengaja surut ke belakang. Ia tahu Alap-alap Jalatunda memancingnya dalam perkelahian yang kisruh. Tetapi Swandaru cukup waspada. Dibiarkannya lawannya berloncat-loncatan. Bahkan wajahnya yang lucu masih sempat tersenyum. Kalau Alap-alap itu melontar agak jauh, maka satu tangannya yang menggenggam pedang bersilang di hadapan perutnya yang besar, sedang tangannya yang lain bertolak pinggang. Alap-alap Jalatunda menggeram melihat sikap Swandaru yang tenang. Ia tahu, bahwa lawannya yang gemuk itupun menyadari dirinya, sehingga mempunyai caranya sendiri untuk menghadapinya. Sidanti dan Sanakeling masih sempat menilai lawannya. Mereka menganggap bahwa melawan Agung Sedayu masih lebih baik daripada melawan Sutawijaya. Tetapi mereka malu untuk berebut musuh. Bukan memilih yang paling kuat, tetapi memilih yang lebih ringan. Karena itu, betapapun juga, Sidanti masih sempat mencoba menyelubungi kekecilan hatinya, “Ayo, siapakah lawanku? Yang membawa tombak atau kawan lamaku yang bernama Agung Sedayu?” Tetapi Agung Sedayu telah berdiri hampir berhadapan dengan Sanakeling, sehingga Sutawijaya berkata, “Biarlah ia melawan kawanmu yang hitam-hitam manis itu, dan kau tetap di situ untuk melawan aku. Meskipun yang menggores tanganku tadi pagi adalah pedang Alap-Alap yang jinak itu, tetapi kaulah yang sebenarnya telah melukai aku. Sekarang aku ingin menebus kekalahan itu. Sedikit-dikitnya aku harus mampu melukai tanganmu atau kakimu. Aku akan mencoba untuk tidak menyentuh wajahmu yang tampan itu dengan ujung tombakku.” Kata-kata itu terasa sepanas api yang menyentuh jantung. Sidanti kemudian tidak menunggu lebih lama lagi. Pedang di tangan kanan dan nenggalanya di tangan kiri. Sekali ia meloncat maju sambil mengajunkan pedangnya. Ketika ia melihat Iawannya menghindarinya sambil merendahkan diri, secepat ilu pula ujung nenggalanya menyambar seperti tatit. Dalam satu putaran, kedua ujung senjata itu seperti bergulung-gulung melanda Sutawijaya. Terdengar Sutawijaya memekik kecil. la benar-benar terkejut melihat cara Sidanti mempergunakan senjatanya. Sidanti yang mengerahkan segenap kemampuannya pada saat-saat permulaan dari perkelahiannya. Sutawijaya terpaksa meloncat beberapa langkah surut. Sambil tersenyum ia berkata, “Dahsyat. Alangkah dahsyatnya murid Ki Tambak Wedi yang menurut cerita mampu menangkap angin. Mari anak muda yang perkasa, marilah kita mulai permainan kita yang menarik ini.” Sidanti tidak membiarkan lawannya. Begitu ia melihat lawannya meloncat mundur, maka dengan serta merta ia mengejarnya. Namun kini Sidantilah yang terkejut, ketika tiba-tiba saja ujung tombak Sutawijaya terjulur hampir menyentuh hidungnya. “Gila!” teriaknya. Pedangnya dengan tangkas menyambar tombak itu. Tetapi tombak itu telah meluncur surut, sehingga pedang Sidanti tidak sempat menyentuhnya. Perkelahian antara Sidanti dan Sutawijaya itupun segera menjadi bertambah sengit. Sidanti dengan darah yang mendidih dibakar oleh kemarahannya, telah mencoba bertempur sebaik-baiknya meskipun ia berhadapan dengan Sutawijaya yang telah dianggap mampu melawan Arya Penangsang dengan cara yang khusus. Namun sejenak kemudian ia terpaksa mengakui, bahwa Sutawijaja, meskipun umurnya masih lebih muda daripada dirinya, tetapi kecepatannya bergerak dan kemahirannya mempergunakan senjata telah benar-benar menggetarkan hati murid Ki Tambak Wedi itu. Sanakeling yang melihat kedua kawannya telah terlibat dalam perkelahian, sudah tentu tidak akan tinggal menonton seperti nonton adu cengkerik. Ketika ia melihat Agung Sedayu telah menggenggam pedang, maka segera iapun meloncat maju sambil berkata, “Kita bertemu kembali dalam kesempatan yang luas. Kita masing-masing tidak akan terganggu lagi oleh hiruk-pikuk perkelahian tikus-tikus di sekitar kita. Kini kita harus menentukan diri sendiri dalam takaran yang wajar.” Agung Sedayu tersenyum. Ternyata Sanakeling yang dijumpainya dalam peperangan yang terakhir, saat Tohpati terbunuh, kini menghadapinya dengan dendam di hatinya. Hati Sanakeling itu menjadi membara melihat senyum Agung Sedayu. Seolah-olah anak itu sama sekali tidak menghargai kemampuannya. Karena itu, maka tiba-tiba ia meloncat sambil memekik tinggi. Agung Sedayu terkejut, bukan karena kecepatan gerak Sanakeling, tetapi justru karena pekiknya yang keras itu. “Hem” desisnya. “Suaramu mirip gemuruhnya petir di langit.” Sanakeling tidak menyahut. Geraknya menjadi semakin garang. Serangannya datang membadai. Tak henti-hentinya. Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ia sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan lincahnya ia menghindari setiap serangan. Bahkan kemudian hampir setiap serangan Sanakeling telah dibalas dengan serangan pula oleh Agung Sedayu. Demikianlah maka ketiga anak-anak muda itu masing-masing telah menemukan lawannya. Swandaru Geni melawan Alap-Alap Jalatunda, Agung Sedayu melawan Sanakeling dan Sutawijaya berhadapan dengan Sidanti. Betapa murid Tambak Wedi itu berjuang, namun lawannya benar-benar gesit seperti burung sriti. Tombaknya mematuk-matuk dari segenap arah. Sekali-sekali tombak itu menyentuh pedang dan nenggala Sidanti, dan dalam setiap sentuhan itu terasa, betapa tenaga anak muda itu telah menggetarkan tangan murid dari lereng Merapi yang selama ini menghantui anak-anak muda sebayanya. Hati Sidanti benar-benar menjadi panas, ketika dalam perkelahian yang semakin seru itu masih saja dilihatnya Sutawijaya selalu tersenyum-senyum. Bahkan kemudian terdengar ia berkata, “Sidanti, aku sudah berjanji untuk menagih hutangmu. Kau telah meneteskan darah dari tubuhku, maka akupun harus berbuat serupa. Meskipun sementara ini aku belum mempunyai keinginan untuk membunuhmu. Entah nanti, apabila keringatku telah membasahi landean tombakku dan kau masih saja berkeras kepala mungkin aku mengambil keputusan lain.” Yang terdengar adalah geram Sidanti. Telinganya seperti disentuh api mendengar kata-kata Sutawijaya yang menganggapnya terlampau remeh. Dengan sepenuh tenaga ia menyerang dengan pedangnya, terayun ke lambung lawan. Namun Sutawijaya selalu mampu menghindarinya. Bahkan Sutawijaya itupun kemudian benar-benar ingin melakukan apa yang dikatakannya, sehingga serangan-serangannyapun semakin lama menjadi semakin cepat dan membingungkan. Sidanti yang pernah bertempur melawan Tohpati dan tidak dapat mengalahkan Macan yang garang itu, merasa bahwa sebenarnya Sutawijaya masih berada selapis di atas Tohpati. Karena itu, maka terbersit pula di dalam hatinya, pengakuan bahwa tidaklah mungkin baginya untuk mengalahkan Sutawijaya. Sedang kedua kawannya yang lainpun ternyata telah menemukan lawan yang seimbang. Betapa banyak pengalaman Sanakeling dalam petualangannya, namun menghadapi Agung Sedayu yang masih muda itu, ternyata masih harus memeras segenap kemampuannya untuk tetap dapat bertahan menghadapi serangan-serangan anak muda itu. Sedang di sisi yang lain, Swandaru bertempur dengan serunya pula melawan Alap-alap Jalatunda. Murid Kiai Gringsing itu ternyata telah mendapat kemajuan yang jauh sekali, dibandingkan dengan apa yang pernah dimilikinya pada saat pertama kali ia menerima pelajarannya di pinggir kali. Betapa saat itu ia mengumpat-umpat karena ia merasa bahwa waktunya hanya terbuang sia-sia. Apalagi ketika ia mendengar Kiai Gringsing mengajaknya bermain loncat-loncatan di atas batu. Kini Swandaru telah cukup lincah memainkan pedangnya. Meskipun tubuhnya gemuk, namun ia mampu menghadapi kelincahan Alap-alap Jalatunda dengan gerakan-gerakan yang mantap. Meskipun Swandaru yang gemuk itu selalu menghemat tenaganya, namun kemana Alap-Alap Jalatunda meloncat, maka Swandaru telah menghadapinya dengan pedang terjulur. Dalam pada itu, di luar desa Benda yang kecil, Ki Tambak Wedi menunggu muridnya dengan hati berdebar-debar. Ia telah melihat asap mengepul dan kemudian disusul dengan api yang menjilat tinggi seolah-olah akan menggapai awan yang terbang rendah dihanyutkan angin dari Selatan. Tetapi Sidanti sama sekali tidak segera dilihatnya. Dengan gelisah Ki Tambak Wedi itu duduk di pematang. Matanya seakan-akan tergantung di pagar batu desa Benda yang tidak seberapa jauh. “Setan kecil itu apa lagi yang dilakukannya” gumamnya. “Mungkin anak itu sempat mengambil beberapa macam barang atau barangkali ditemuinya seorang gadis.” Namun Ki Tambak Wedi tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya dengan berbagai-bagai dugaan. Sekali ia berdiri, berjalan mondar-mandir dan kemudian berjongkok lagi. Ia menyesal menyuruh muridnya pergi ke desa itu. “Lebih baik aku kerjakan sendiri” gerutunya. Ia menyuruh muridnya membakar beberapa rumah dengan pertimbangan, bahwa di desa itu pasti tidak akan ditemuinya prajurit yang mampu melawan muridnya itu bersama-sama kedua kawannya, sedang dirinya sendiri cukup mengawasi mereka dari kejauhan sambil mengawasi para prajurit Pajang yang pasti segera akan datang. Tambak Wedi itupun menggeram. la telah menyuruh orang-orangnya yang lain menyingkir. Juga penghubungnya yang terakhir, yang dari kejauhan mengintai prajurit Pajang yang telah meninggalkan induk kademangan. Berlari-lari penghubung itu memberitahukan kepadanya, sehingga dengan tergesa-gesa disuruhnya Sidanti melakukan pekerjaan itu. Tetapi agaknya Sidanti terlalu lama berada di Desa Benda yang kecil. “Anak gila” geram Tambak Wedi. Menurut perhitungannya, maka prajurit Pajang sudah menjadi semakin dekat. Sebentar lagi prajurit-prajurit itu pasti sudah akan tampak di tengah-tengah bulak yang agak panjang itu. bersambung Posted in Buku 011 - 020 ♦ Seri I Tagged Agung Sedayu, Alap-Alap Jalatunda, Ki Demang Sangkal Putung, Ki Gede Pemanahan, Ki Tambak Wedi / Paguhan, Ki Widura, Kiai Gringsing, Raden Sutawijaya / Panembahan Senapati, Sanakeling, Sidanti, Swandaru, Untara

api di bukit menoreh 415